Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 25 August 2018

Indonesia Belum Memiliki Perwakilan Dalam Kongres Filsafat se-Dunia ke-24, di China


islamindonesia.id – Indonesia Belum Memiliki Perwakilan Dalam Kongres Filsafat se-Dunia ke-24, di China

 

Dari sekian banyak even pertemuan yang terjadi di dunia tahun ini, ada satu yang tampaknya terlewat dari sorotan perhatian kita. Yaitu “The 24th World Congress of Philosophy”, yang diselenggarakan pada 13 sampai 20 Agustus 2018 lalu di Beijing, China.

Menurut informasi dari situs resmi penyelenggara kongres tersebut, Kongres Filsafat Dunia adalah pertemuan global para filosof yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali dibawah naungan International Federation Philosophical Societies (FISP). Pertama kali dibentuk pada tahun 1900, pertemuan ini baru mulai berjalan sejalan regular sejak 1948. Secara umum, fokus pembahasan mereka menyangkut pengetahuan filsafat dalam masalah global, mempromosikan pendidikan filsafat, dan mendorong pengembangan hubungan profesional antar filosof di semua Negara. (https://www.fisp.org/worldcongress)

Pada pertemuan ke 24 kali ini, satu-satunya orang Indonesia yang menghadiri pertemuan tersebut adalah Dr. Husein Heriyanto, Direktur IC-THuSI (International Center for Thoughts on Human Sciences in Islam) – Jakarta. Seusai menghadiri pertemuan tersebut, beliau kemudian menulis artikel berjudul “Laporan dari The 24th World Congress of Philosophy, Beijing, China”, sebagai oleh-oleh bagi para penggiat fisafat di Indonesia.

Beliau mengungkapkan dalam artikelnya, bahwa kapasitas beliau dalam acara itu, bukan sebagai delegasi ataupun anggota, melainkan sebagai wakil presiden CRVP (Council for Research in Values and Philosphy) sekaligus  koordinator ISIP (International Society for Islamic Philosophy). Diapun sangat menyayangkan bahwa belum ada satupun komunitas filsafat di Indonesia yang terdaftar sebagai anggota ISIP. Padahal hampir semua negara di dunia termasuk Filipina dan Singapura memiliki philosophical society (masyarakat filsafat) yang terdaftar sebagai anggota FISP sehingga mereka bisa memperkenalkan pemikiran, budaya, dan filsafat negeri mereka pada perhelatan ilmiah dunia tersebut.

Sebagaimana dikutip dari artikel Dr. Husein Heriyanto, tema yang diangkat dalam Kongres Filsafat Dunia ke-24 di Beijing, China cukup menarik, yaitu “Learning To Be Human” (Belajar Menjadi Manusia)…, dan diikuti oleh sekitar 1200 peserta dari seluruh negara di dunia. Umumnya mereka mewakili anggota FISP yang terdiri dari 105 national societies, 37 international societies, dan 3 affiliated organizations. Bisa lihat di https://www.fisp.org/international-members

Terkait dengan filsafat dalam konteks ke-Indonesia-an hari ini, dalam artikel Dr. Husein Heriyanto tersebut ada beberapa pandangan beliau yang agaknya perlu menjadi renungan kebangsaan kita. Berikut kami kutipkan pandangan beliau:

Mungkin saat ini belum begitu terasa dibutuhkan kehadirannya karena kita sebagai bangsa masih berkutat dengan masalah-masalah “struggle for survival” (ekonomi, pangan, infrastruktur, dst). Tapi dapat dipastikan cepat atau lambat kita membutuhkan identitas kultural untuk menopang kelanjutan dan memebri arah kemajuan peradaban bangsa kita. Bahkan di balik gegap gempita dunia politik yang telah menghabiskan begitu banyak energi bangsa, kita sebetulnya membutuhkan arah dan panduan visi masa depan peradaban bangsa kita.

Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia sangat potensial untuk diajukan sebagai salah satu pengisi prinsip “living together” yang diusung oleh UNESCO; tentu saja pengajuan itu memerlukan polesan kerja-kerja akademis filosofis seperti membangun kerangka kerja epistemologis, kosmologis dan antropologis. Dengan kata lain mengangkat Pancasila dari ideologi menjadi sebuah epistemologi. Begitu pula dengan posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang kedua di dunia sekaligus keanekaragaman budaya (cultural diversity) yang tegolong tinggi di dunia menempatkan Indonesia menjadi negara yang paling tinggi tingkat keanekaragaman biokultural (biocultural diversity) di dunia sebagaimana hasil riset Luisa Maffi (2007).

Jadi, masih sangat banyak pekerjaan-pekerjaan akademis dan ilmiah yang menantang kita sebagai profesor/ilmuwan/sarjana/peneliti/akademisi untuk turut mengisi, mengonstitusi dan mengonstruksi peradaban Nusantara mendatang. Jangan semua akademisi tergoda untuk masuk ke dunia praktis atau politik yang ternyata bukan hanya gagal mencerahkan –seperti yang kerap diklaim “orang baik harus terjun ke politik” – malah yang terjadi sebaliknya larut dan tenggelam dalam arus pusaran politik yang tidak mencerdaskan, penuh dendam kebencian, ikut sebar hoax dan SARA, dst.

Dalam Al-Quran Surat Taubah ayat 122 disebutkan bagaimana dalam peperangan fisik sekalipun mesti ada sekelompok orang yang tetap menekuni dan mengembangkan ilmu-ilmu (tafaqqahū fī al-dīn) yang menurut Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam tafsirnya Quranic Exegesis sebagai ilmu dan hikmah yang menyangkut realitas (memahami realitas secara obyektif entah itu reaitas metafisika, manusia, sejarah, ataupun alam). Karena dalam politik kekuasaan dan peperangan umumnya tidak ada pelaku yang tertarik menengok/memahami realitas obyektif, semuanya tenggelam dalam kuasa dunia-imajinasi subyektif masing-masing karena “kepentingan ego/kelompok mengalahkan prinsip-prinisp universal/nilai-nilai obyektif”. Di situlah peran ilmuwan/intelektual yang tetap mampu memberi pencerahan dan penerangan tentang realitas sebagaimana adanya. Karena tanpa memahami realitas apa adanya, sebuah kaum/bangsa/peradaban akan tenggelam dalam suasana yang disebut mendiang Nurcholish Madjid sebagai “ketertawanan oleh kekinian dan kedisinian”. Cak Nur pernah menyebut bagaimana bangsa Indonesia setelah kemerdekaan gamang mengonstitusi dan mengonstruksi peradabannya karena masih larut dalam peperangan ideologis yang tak berkesudahan sehingga gagap membangun kerangka kerja epistemologis bangsa. Fenomena inipun disadari betul oleh budayawan Kuntowijoyo dalam konteks tubuh umat Islam Indonesia yang menulis “Islam sebagai Epistemologi” (alih-alih sebagai ideologi melulu).

Boleh jadi, kekisruhan tiada henti dunia politik kita yang diisi oleh ekspresi sedimentasi emosional yang sering kontraproduktif –atas nama demokrasi- merupakan salah satu efek samping dari lemahnya tradisi intelektual dan budaya ilmiah masyarakat kita sehingga tokoh-tokoh yang muncul atau yang dimunculkan dan menjadi idola adalah mereka yang lihai “memainkan isu”, bukan “menjelaskan isu” secara obyektif dan ilmiah. Dengan kata lain, akademisi sering hanya menjadi baju/jaket/ logo sementara pikiran dan narasi yang dibangun persis dengan politisi comberan yang visi dan misinya tak lebih dari pilkada/pilpres 5 tahunan.

Demikian catatan DR. Husain Heryanto dalam artikelnya yang dikutip dari laman https://isipindonesia.wordpress.com/2018/08/23/194/

 

AL / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *