Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 06 February 2014

Ibrahim dan Teman-temannya


blog.adw.org

“Lihatlah bagaimana dia berpikir tentang kita, dan bagaimana kita berpikir tentang mereka”

 

Konon, di sebuah kota bernama Balkh (sekarang Suriah), hiduplah pemuda gagah nan tampan bernama Ibrahim. Di sana, ia tinggal satu atap bersama delapan teman lainnya. Mereka hidup laiknya satu saudara. Merasakan apa yang dirasakan di antara mereka. Ketika mendapat rezeki, mereka pun akan saling berbagi. Pun jika salah satu di antara mereka terkena musibah, mereka akan saling bergotong royong meringankan beban tersebut.

Ibrahim, yang juga dikenal sebagai seorang laki-laki yang berwibawa akhirnya didaulat menjadi ketua dalam rumah itu. Segala urusan menyangkut rumah sekaligus isinya diserahkan kepada tangan Ibrahim. Termasuk perihal kebutuhan masak memasak.

Hal inilah yang menyebabkan Ibrahim tak luput untuk segera pulang usai bekerja. Ia tidak ingin mengecewakan para sahabatnya itu. Hingga, pada suatu malam tampaknya kesibukan Ibrahim menyita waktunya. Terpaksa ia terlambat pulang.

Seperti biasa, mereka akan saling menunggu hanya untuk bisa makan malam bersama. Namun, kali ini teman-temannya tampaknya sudah tidak sabar lagi untuk menunggu. Kondisi lelah, tenaga terkuras akibat bekerja seharian, ditambah perut yang keroncongan membuat mereka geram terhadap tingkah Ibrahim.

Salah satu dari mereka berkata, “Ibrahim datang telat, terlalu lama kita menunggu. Mungkin dia sudah makan enak di luar sana dan menelantarkan perut kita kosong. Sebaiknya ayo kita makan rotinya dan pergi tidur. Agar itu bisa menjadi pelajaran bagi Ibrahim agar ia tidak lagi membiarkan kita menunggunya begitu lama.”

Akhirnya, mereka pun serempak mengaminkan usul temannya tersebut. Tak berselang lama makanan pun habis tak tersisa.

Ketika Ibrahim kembali, ia melihat teman-temannya itu tertidur. Ia pun merasa sedih melihat temannya itu tidur dan tidak terlihat satu potong roti pun. Ia mengira mereka belum makan apa-apa dan tertidur dalam keadaan lapar.

Ibrahim pun segera bergegas ke dapur. Menyalakan api, membawa sedikit tepung, dan membuatnya sebagai adonan roti. Ia berharap agar para temannya itu punya sesuatu untuk dimakan ketika mereka bangun.

Para sahabat Ibrahim bangun dan melihatnya dengan jenggotnya menyentuh tanah, sedang meniup api, bercucuran air mata, dan dikelilingi asap.

“Apa yang sedang kau lakukan?” mereka bertanya.

“Aku melihat kalian tertidur,” Ibrahim menjawab. “Aku berkata dalam hati, mungkin kalian tidak memiliki apa-apa untuk dimakan dan tidur dalam keadaan lapar. Maka aku pun membuatkan sesuatu untuk kalian makan setelah bangun.”

Mereka pun saling menatap. Merasa malu dengan prasangka mereka pada Ibrahim.

“Lihatlah bagaimana dia berpikir tentang kita, dan bagaimana kita berpikir tentang mereka,” ujar mereka.

—-

Fariduddin Aththar berkisah tentang Ibrahim Ibnu Fudhail. Seorang ahli sufi yang lahir di Balkh dan wafat di Byzantium pada tahun 165 H/782 M.

Konon, awalnya, Ibrahim dikenal sebagai seorang raja yang sangat dihormati. Namanya pun begitu melambung tinggi saat ia berhasil menguasai hampir seluruh belahan dunia.

Namun, perjalanan hidupnya mengantarkan Ibrahim pada pilihan untuk meninggalkan kemewahan dan mengabdi pada setiap makhluk yang ia temui, termasuk semua pendapatannya ia belanjakan untuk keperluan para sahabatnya.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *