Satu Islam Untuk Semua

Friday, 28 March 2014

Humor Sufi: Nasruddin Pergi bercukur


wijoseno.wordpress.com

Satu pipi untuk menanam kapas, dan satu pipi lagi untuk menanam gandum yang lain.

 

Pada suatu hari, Nasruddin berkaca, dan melihat jenggotnya sudah semakin panjang. Hal ini membuatnya segera bergegas menuju tukang cukur.

Sayangnya, si tukang cukur bekerja teramat lamban. Pisaunya yang tumpul merupakan penyebab pekerjaan ini berjalan begitu lama.

Nasruddin dengan sabar menunggu, menghabiskan waktunya bersama tukang cukur itu bukan hanya dalam hitungan menit, tapi jam.

Sialnya, peristiwa yang membuat dirinya sedikit jengkel itu tidak berhenti pada permasalahan waktu. Karena tumpul, pipi Nasruddin pun jadi tergores hingga berdarah.

Melihat ada bagian yang terluka, tukang cukur kemudian cepat-cepat mengambil sejumput kapas dan meletakkanya pada bagian itu.

Hal tersebut berlangsung tidak hanya satu atau dua kali, tapi hingga beberapa kali sampai wajah Nasruddin penuh dengan jumputan kapas.

Saat tukung cukur hendak melanjutkan bagian pipi yang satunya, tiba-tiba Nasruddin bangun dari kursinya dan melihat wajahnya di kaca.

Sang tukang cukur pun tak enak hati melihat pemandangan yang demikian.

Sementara itu, Nasruddin tersenyum menatap si tukang cukur dan berkata, “Sepertinya gaya seperti ini sudah cukup bagus, saudaraku! Terima kasih, aku memutuskan untuk memakai gaya seperti ini. Satu pipi untuk menanam kapas, dan satu pipi lagi untuk menanam gandum yang lain!”

———

Nasruddin Hoja merupakan salah satu guru sufi yang hidup sekitar abad ke-13 di Turki. Karena banyaknya ilmu pengetahuan yang ia kuasai, Nasruddin pun dikenal luas sebagai Mullah.

Tak hanya itu, Nasruddin juga dikenal sebagai seorang yang memiliki selera humor tinggi. Alhasil, banyak permasalahan yang dirasa sulit, dapat ia selesaikan dengan cara-cara yang santun dan sederhana melalui humornya yang membumi.

Bayangkan, berkat kebijaksanaanya, ia mampu menahan rasa sakit berjam-jam demi tidak membuat si tukang cukur itu tersinggung. Bahkan, meski terluka, ia lebih memilih pamit dengan humor daripada marah-marah atau menuntut penyembuhan atas lukanya. Lantas, bagaimana dengan kita (yang kadang sedikit saja terluka, gaungnya melampaui headline di media?)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *