Satu Islam Untuk Semua

Monday, 10 March 2014

Humanis Amerika yang Gugur untuk Palestina


foto:pflp.ps

“Biarkan aku menari, mengitari kelopak bunga Lily. Kemudian melesat bagai air mancur, terbang menyertai kata-kataku yang tak berarti ini…” 

 

RAFAH, Jalur Gaza sebelas tahun yang lalu. Senja sebentar lagi pulang, saat dua bulldoser dan satu regu tank Israel melaju kencang di jalanan Hi Salam.Mereka kemudian berhenti tepat di depan rumah keluarga Nasrallah, tempat di mana seorang gadis Amerika  sudah beberapa hari tinggal di dalamnya. Bukan sebagai turis, tapi ia dan kawan-kawannya dari ISM (International Solidarity Movement), sengaja ada di sana untuk sebuah harapan: tentara IDF tidak  menggusur kampung tersebut. 

Namun harapan tinggalah harapan. Alih-alih, merasa malu dan segan, para serdadu itu  dengan nekat malah menggeruduk kawasan sipil itu. Tanpa memiliki rasa iba sedikit pun, mereka menggerakan rantai roda-roda baja dan menyemburkan onggokan tanah kering ke barisan aktivis perdamaian yang membentengi rumah para warga. Seorang aktivis muda Amerika terlempar dari barisan, berguling-guling  lalu tersangkut di kawat berduri ketika ia berusaha akan menolong seorang kawannya dari Inggris yang tengah terjepit dinding runtuh. 

Rachel, nama gadis Amerika itu, bergegas ke arah salah satu buldoser jenis D9R. Sambil berteriak melalui megaphone yang ada di tangannya, ia menghardik para serdadu tersebut untuk tidak coba-coba  menghancurkan rumah keluarga Nasrallah. Tidak cukup menghardik, dengan gagah ia berdiri menghadang  “raksasa besi” itu laiknya seorang polantas yang akan menghentikan mobil di jalan raya. 

Tapi memang orang yang di belakang kendali buldoser itu benar-benar tak punya hati. Alih-alih berhenti, ia malah menyasar Rachel yang  tengah berupaya memanjat satu gundukan tanah yang dikeruk pisau buldoser agar posisinya lebih jelas. Dan rubuhlah tubuh Rachel. Tubuhnya kemudian terseret. Terdengar rantai-rantai baja bergemeretak melindas Rachel, setelah itu baru kendaraan itu mundur. “Rachel! Rachel! Noooo!” teriak kawan-kawanya. Sebagian menangis. 

Mereka lantas berlarian menghampiri tubuh Rachel yang berlumur darah dan tanah. Ia masih hidup ketika matanya menatap lembut kawan-kawan seperjuangannya yang terlihat panik. “Sepertinya punggungku remuk.’’ujarnya lirih.  Tak lama ambulan Palestina datang. Tubuh lunglay itu pun diangkut. Tapi Tuhan cinta Rachel dan ingin segera berjumpa dengannya: gadis berambut pirang itu akhirnya gugur dalam  perjalanan menuju rumah sakit  setempat. Siapakah sebenarnya Rachel? 

Rachel Corrie nama lengkapnya. Lahir di  Olympia, Washington, 10 April 1979. Sejak bocah, ia sudah menjadi seorang humanis. Itu  terjadi semenjak  ia terlibat dalam sebuah penelitian  kecilnya tentang kemiskinan (konon hasil penelitiannya ini masuk dalam laporan UNICEF World’s Children 1989). Saat itu, Rachel masih duduk di kelas lima sekolah dasar. 

Ketika tumbuh sebagai seorang remaja, sikap idealisnya sebagai seorang humanis semakin menjadi. Kawan-kawannya mengenang Rachel remaja sebagai  gadis manis yang ketika kawan-kawan seuasianya pergi ke pesta ia malah mengetuk hati setiap pengunjung supermarket untuk mendonasikan sebagian uang atau makanannya untuk orang miskin.

“Sekaleng makanan dari Anda, segudang manfaat bagi mereka yang kelaparan,” kata Rachel kepada setiap pengunjung supermarket. 

Begitu memasuki usia 20, Rachel menjadi seorang gadis yang memiliki pemikiran sangat dewasa dan berkarakter. Tak ada yang pernah bisa meyakinkah gadis manis ini untuk tidak memikirkan hidup dan haru biru manusia-manusia tertindas. Tak juga hedonisme gaya anak-anak muda Amerika. Ia malah menemukan Amerika kering dalam hatinya. .”Amerika tak mempesonaku lagi. Ia tak mampu memikatku lagi. Ia pudar dan terlipat di pinggiran pikiranku….”katanya seperti yang tertulis di catatan hariannya. 

Bisa jadi karena itulah, Rachel banyak pergi ke luar Amerika. Lewat ISM, organisasi perdamaian yang diaktivinya, ia melanglang buana ke berbagai ranah konflik dan bencana: mulai Rusia hingga Palestina. Justru di Palestina (yang dikunjungi pertama kali olehnya pada 1995), ia menemukan hati nurani dibeslah oleh kekuasaan menindas atas nama ras dan agama. 

Karena rasa cintanya kepada manusia-manusia tertindas di Palestina, ia memutuskan untuk kembali ke sana pada Januari 2003. Pertama kalinya Cindy, sang ibu, meradang dengan keputusan anak gadisnya itu. “Rachel, apakah pergi ke Palestina adalah kewajibanmu? Tak seorangpun akan menyalahkanmu jika kamu mengurungkan niat itu, Nak” ujar perempuan berwajah lembut itu. Namun Rachel tak bergeming. Sambil memasukan baju-bajunya ke dalam ransel, ia berkata “Barang-barang ini sudah aku kemasi. Rasa takut itu manusiawi. Tapi kupikir, melewati rasa itu tentunya bukan sesuatu  yang mustahil. Harus kucoba, Mam.” ujarnya dalam nada tenang dan pasti. 

Rafah, Jalur Gaza sebelas tahun yang lalu. Senja sebentar lagi pulang, saat  tangis para aktivis ISM dan sekelompok ibu Palestina terdengar seolah memerangi suara berisik sirene ambulan yang meraung-raung. Ya, perempuan muda pemberani itu benar-benar telah pergi hari itu: meninggalkan semua manusia yang dicintainya. Namun cinta itu sendiri, tak pernah meninggalkannya. Justru hari ini ia telah terbang, seperti ia maui dalam sebuah tulisan di catatan hariannya “Bila kata terujar mulutku tak berarti, biarkan ia mengambang sesaat di udara. Kan kujadikan itu kata-kata canda menghibur hingga kelak kucipta kalimat bermakna mengitarinya. Kumau terbang melayang untuk berkibar…. Beri aku jedah waktu, jangan komentari… Biarkan aku menari, mengitari kelopak bunga Lily. Kemudian melesat bagai air mancur, terbang menyertai kata-kataku yang tak berarti ini…” 

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *