Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 06 May 2014

Horor di Takokak (2): Kisah dari Ladang Pembantaian


foto:hendijo

Bagaimana seorang mata-mata republik menjadi saksi proses pembunuhan massal oleh militer Belanda

 

BEBERAPA hari sebelum rombongan prajurit Siliwangi dari Cianjur datang ke Takokak…

Siang baru saja menyeruak, saat Andin Soebandi tiba di Pabrik Teh Bunga Melur, tempat para petugas OW di Takokak membuat pos penjagaan. Sebagai mata-mata gerilyawan republik, lelaki yang saat itu masih berumur 10 tahun itu tengah menunaikan tugasnya dengan berperan sebagai penjaja buras (sejenis lontong yang diisi oncom) dan goreng-gorengan.

Andin bukan mata-mata resmi dari sebuah kesatuan gerilyawan republik. Ia melakukan pekerjaan beresiko berat itu semata-mata kebenciannya kepada tentara Belanda yang ia nilai selalu berlaku kejam kepada para penduduk Takokak. Lantas kepada siapa ia melaporkan hasil aksinya?

“ Saya melaporkannya kepada Obes, kakak saya yang menjadi anak buah Pak Mayor Harun Kabir. Jadi usai berkeliling pada siang hari, malamnya kakak saya akan keluar dari hutan dan datang ke rumah untuk mendengar hasil penemuan saya,” kenang Andin. Mayor Harun Kabir adalah Kepala Staf Brigade II/Surjakantjana Divisi Siliwangi. Ia adalah salah satu pimpinan gerilyawan republik yang bertanggungjawab atas daerah Sukabumi, Bogor dan Cianjur.

Tawanan Singgah di Pos OW

Siang itu ia mendapat tugas untuk memata-matai sepak terjang para petugas OW di Bunga Melur. Dan ketika baru saja bocah Andin menurunkan nyiru (sejenis nampan yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi buras dan goreng-gorengan, sebuah truk militer tertutup yang disopiri dan dikawal beberapa tentara Belanda (sebagian berwajah pribumi) melintas di hadapan bocah itu. Truk itu lantas memasuki Pabrik Teh Bunga Melur.

“Sekilas saya melihat dari sela-sela jendelanya, belakang truk yang menyerupai boks itu dipenuhi manusia, ya sekitar puluhanlah,”ujar lelaki kelahiran Takokak 82 tahun lalu tersebut.

Begitu truk berhenti di depan pos, para serdadu berpakaian loreng dan bertopi rimba itu lantas menuju Pos OW. Mereka berbincang-bincang dengan para petugas OW sambil melepas lelah di kursi-kursi yang ada di pos tersebut. Sekali-kali terdengar tawa keras mereka memecah udara

Demi melihat “rombongan ganjil” itu, seorang penduduk berumur setengah baya menghampiri petugas OW yang ia kenal. Dalam nada pelan, ia bertanya dengan menggunakan bahasa Sunda kepada sang petugas: akan diapakan orang-orang yang berada di dalam truk tertutup tersebut?

“ Ssttt…Mereka akan dibantai…” bisik petugas OW kepada  lelaki setengah baya yang posisi berdirinya tak jauh di samping Andin. Bocah itu diam-diam semakin menajamkan pendengarannya. Tentunya, inilah informasi yang ia tunggu karena akan banyak berguna bagi para gerilyawan di hutan.

Waktu baru berjalan sepeminuman kopi, saat dua militer Belanda dari kalangan inlander (bumiputera) menghampiri Andin. Dihampiri oleh para serdadu itu, jantung Andin berdegup kencang. Terlebih, setelah sampai di hadapannya, dengan sikap intimidatif salah seorang dari prajurit itu mengajaknya berbicara dalam bahasa Sunda.

“ Sabarahaan euy burasna, Jang?”katanya menanyakan harga penganan yang dijual Andin

“ Lima sen, Gan…”jawab Andin agak tergagap. Gan adalah singkatan dari kata “juragan” yang artinya tuan.

“ Bagaimana kalau dua sen saja ya? Kami akan borong semua…”

Andin terdiam. Ia sudah membayangkan kerugian akan dihadapinya di depan mata. Tentu saja, karena alih-alih mendapat laba, harga yang ditawarkan prajurit itu malah tidak cukup hanya sekadar untuk modal awalnya berdagang.

“Ayolahhhhhh! Kamu orang tidak ingin seperti itu kan?” ancam satu prajurit lainnya seraya menunjuk orang-orang yang tengah berdesakan di dalam truk tahanan tersebut.Tenggorokan Andin tercekat

“Mangga wae, Gan..Bawa saja ”ujar Andin dalam nada ketakutan.

Tembakan dari Puncak Bungah

Belakangan Andin tahu, orang-orang malang itu dibawa ke Padakati, sebuah kampung yang berbatasan dengan hutan. Setelah diturunkan, mereka kemudian digiring dan dipaksa jalan sejauh 3 km jauh ke dalam hutan dalam kondisi terikat tali temali yang terbuat dari daun nanas gunung. Di sebuah tanah datar bernama Puncak Bungah, mereka kemudian dieksekusi secara bersamaan. Mayat mereka kemudian dilempar ke jurang dan sebagiannya lagi dibiarkan begitu saja bergelimpangan di jalanan hutan hingga berhari-hari dan menjadi makanan belatung.

“Kami tahu mereka terbunuh dengan cara didereded (dibantai dengan siraman peluru) karena suara tembakan senjata tentara Belanda itu terdengar hingga kampung terdekat dari Puncak Bungah,”kenang Andin.

Namun Puncak Bungah bukanlah satu-satunya tempat horor di Takokak. Ada beberapa tempat lain yang dijadikan ladang pembantaian kaum republiken. Sebut saja Ciwangi dan Cikawung (tempat Yusup dan kawan-kawan menemukan empatbelas jasad), Pal I Cienggang, Gamblok, dan Pasirtulang. Bahkan di tempat terakhir, diperkirakan jumlah kaum republiken yang dieksekusi paling banyak dibanding tempat-tempat lainnya di Takokak.        “Dari tulang-tulang kerangka manusia yang dulu kami temukan di Pasirtulang, jumlahnya diperkirakan sampai puluhan,”ujar Ukun (64), salah seorang mantan Ketua RW (Rukun Warga) di Kecamatan Takokak. (Bersambung)

 

Sumber: Islam Indonesia (dalam judul berbeda pernah dimuat di surat kabar Pikiran Rakyat, 28 April 2014 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *