Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 16 April 2014

Hikayat Kampung Petjah Koelit (3): Pemberontakan atau Rekayasa Politik?


foto:tropenmuseum

Duaratus tahun pasca pembantaian atas nama hukum yang dilakukan VOC, seorang sejarawan Belanda menyebut insiden itu sebagai suatu aksi politik berbau intrik

 

BENARKAH Pieter Erberveld.  dan kawan-kawan bumiputeranya merencanakan sebuah pemberontakan berdarah? Secara pasti hanya Tuhan dan para pejabat tinggi VOC-lah yang tahu. Namun 200 tahun setelah eksekusi barbar itu, seorang sejarawan Belanda bernama Prof.Dr.E.C.Godee Molsbergen dalam De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw, menyebut Insiden Pieter Erberveld sebagai peristiwa berdarah yang sarat rekayasa politik.

Selain faktor ketamakan ekonomi VOC, Prof.Godee menyatakan Insiden Pieter Erberveld terjadi karena adanya intrik dan nafsu politik di kalangan para pejabat maskapai dagang tersebut. Ia percaya bahwa isu rencana pemberontakan hanya bualan semata. Baginya tidaklah mungkin seorang Pieter yang terpelajar dan pintar berlaku sembrono dengan merencanakan kudeta tanpa persiapan dan serba mendadak.

“Itu mungkin sekali, karena berbagai keadaan pada masa itu, orang tak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sengala rencana komplotan itu diperoleh dari hasil siksaan-siksaan,” ujar Prof.Godee dalam tulisan yang termuat dalam buku sejarah Geschiedenis van Nederlands Indie, jilid empat, himpunan Dr. F. W. Stapel itu.

Menurut Kepala Kearsipan Negara di Hindia Belanda (1922-1937) itu, sekitar 3 minggu pasca komplotan Pieter diciduk, pemeriksaan intensif dijalankan oleh Dewan Pejabat Tinggi Negara terhadap 23 orang. Termasuk Erberveld, Kartadriya dan Layeek, seorang lelaki asal Sumbawa yang merupakan terdakwa utama. Dalam pemeriksaan tersebut, ketiganya ngotot menyatakan diri tak merencanakan apapun.

Landdrost (semacam jaksa) lantas mengambil jalan pintas untuk memunculkan pengakuan. Caranya Kartadriya digantungi timbangan. Anak timbangan pemberatnya terus menerus ditambah. Kemudian rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen rupanya percaya, bahwa seperti halnya dengan perkara sihir, kekuatan seorang terdakwa untuk membisu terletak pada rambutnya. Semua usaha itu sia-sia sebab Kartadriya tetap bungkam.

Lalu giliran Layeek. Begitu disiksa, orang Sumbawa itu lansung mengaku karena daya tahan fisik dan mentalnya tak setangguh Kartadriya. Menurut hasil “nyanyiannya” Pieter Erberveld memang telah membujuknya untuk menyusun rencana pemberontakan. Jika rencana itu berhasil, Pieter akan menjadi raja atau gubernur dan para pendukungnya akan mendapat ganjaran menurut partisipasi masing-masing dalam pemberontakan itu.

Begitu pengakuan didapat, jaksa memerintahkan penyiksaan lebih sadis kepada Kartadriya dan Pieter. Usaha mereka tidak sia-sia, Pieter dan Kartadriya akhirnya mengaku salah karena tak tahan menghadapi siksaan yang makin kejam. Pieter mengiyakan bahwa dirinya dihasut oleh Kartadriya.

Tidak hanya itu, Pieter pun mengungkapkan dokumen rencana komplotan itu disembunyikannya dalam sebuah peti yang tersimpan di lemari tua di rumahnya. Ia juga menyatakan telah mengadakan hubungan surat menyurat dengan putera Untung Suropati,pemberontak Bali di Kartasura. Dalam nada mengingau karena secara fisik dan mental sudah hancur lebur, Pieter menyebut sejumlah nama fiktif : 12 pangeran dari Banten serta 13 pangeran dan 3 orang raden dari Cirebon.

”Namun anehnya, kendati dicari secara teliti, tak sepucuk suratpun ditemukan dalam sebuah kotak di almari tua di rumah Pieter,”tulis Godee.

Prof. Godee Molsbergen juga menyebut beberapa kenyataan yang tidak wajar dalam proses pengadilan itu. Menurutnya, perkara pengkhianatan yang tergolong criman leasae majestatis – kejahatan terhadap yang dipermuliakan- seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, bukan oleh Collage van Heemraden.

”Untuk pelaksanaan hukuman mati pun tidak boleh di sembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa di pakai oleh raad van Justitie. Dalam kasus Pieter Erberveld para terdakwa tidak diberi pembela. Harta milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, tetapi seluruhnya,”ujar sejarawan ahli Hindia Belanda itu.

Rekayasa politik semakin kentara, kala beberapa hari setelah pembantaian Pieter dan kawan-kawannya dilakukan. Reykert Heere, pejabat VOC yang merasa mendapat info pertama tentang “pengkhianatan” Erberveld, minta balas jasa. VOC sigap dengan menaikan pangkat Rykert dari seorang Komisaris menjadi Opperkoopman (pembeli tertingi).Gajinya pun naik jadi 100 gulden sebulan.

Kini hampir 300 tahun, tugu peringatan tua itu masih berdiri kokoh. Tingginya sekitar 2 meter dengan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat di puncak tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri angker menantang langit. Sebuah bentuk pemakluman atas hitamnya sejarah kemanusian di Batavia pada April 1722.

 

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *