Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 30 December 2018

Gus Nadir: Tak Perlu Ada Tes Baca Al-Qur’an Bagi Capres


islamindonesia.id – Gus Nadir: Tak Perlu Ada Tes Baca Alquran Bagi Capres

 

 

Intelektual Muslim Nadirsyah Hosen mengapresiasi lahirnya usulan tes baca Alquran bagi tiap calon presiden. Namun menurut pria yang akrab disebut Gus Nadir ini, tes itu tak parlu dilakukan, baik bagi capres Jokowi maupun Prabowo.

“Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengadministrasikan keadilan sosial dalam programnya,” katanya memberikan twit di lini masanya @na_dirs, 30 Desember. Gus Nadir angkat suara soal ini menyusul rencana Ikatan Da’i Aceh mengundang kedua capres untuk tes baca Alquran.

Ikatan Da’i Aceh akan mengirim surat kepada kedua pasangan calon presiden untuk mengikuti tes kemampuan baca Alquran. Organisasi ini mengklaim, tes ini bertujuan mengakhiri polemik siapa calon yang pantas maju dan dipilih sesuai dengan kriteria pemimpin Islam.

“Akhir-akhir ini kampanye saling menghujat atas kemampuan dasar beragama Islam lebih mengemuka ketimbang menonjolkan kampanye programatik untuk menarik pemilih,” kata Ketua Ikatan Da’i Aceh, Marsyuddin Ishaq,  seperti dikutip Kumparan, 29 Desember.

Sementara Gus Nadir memandang,  kealiman pemimpin itu justru dengan bertindak adil. Kefasihan pemimpin itu dengan menyejahterakan rakyatnya. Tahajud pemimpin itu dengan tidak bisa tidur mikirin rakyatnya yang kelaparan. “Sedekahnya pemimpin itu dengan memberantas korupsi,” tegas Ra’is Syuriah Nahdlatul Ulama Cabang Australia dan Selandia Baru ini.

Jika merujuk sejarah, Gus Nadir bilang, pemimpin pada masa Khilafah pun ada yang tidak fasih membaca al-Qur’an bahkan keliru menjalankan tata cara shalat. Pada 3 Maret 893 M, misalnya, Khalifah al-Mu’tadidh jadi imam shalat Idul Adha.

“Tapi ada yang aneh,” ujar Penulis buku Islam Yes, Khilafah No! ini. “Imam Thabari dan Imam Suyuthi melaporkan bahwa al-Mu’tadhid mengucapkan takbir enam kali pada rakaat pertama, hanya sekali takbir pada rakaat kedua  dan tidak terdengar dia menyampaikan khutbah.”

Selain itu, hal yang sama terjadi setelah Khalifah al-Muqtadir mengangkat Ali bin Abi Syekhah sebagai ulama kerajaan. Imam Suyuthi mengabarkan, Ali menyampaikan khutbah dengan membaca teks. Itupun dia salah membaca ayat sehingga sangat fatal perbedaan artinya.

“Contoh masa lalu ini menyadarkan kita untuk stop politisasi agama,” tegasnya.

 

 

 

YS/islamindonesia/Foto: Tempo.co

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *