Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 15 February 2018

Gus Mus: Wong Pesantren Kok Arep Melu-Melu Nyikat ‘Wong Sesat’


islamindonesia.id – Gus Mus: Wong Pesantren Kok Arep Melu-Melu Nyikat ‘Wong Sesat’

 

Mengaku gemas dengan situasi dan kondisi masyarakat dunia, tak terkecuali masyarakat Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir mulai tertular kecenderungan ideologi ekstrem takfiri, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus kembali menekankan pentingnya peran pesantren dan kaum santri untuk makin bergiat mengampanyekan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Bukan malah ikut-ikutan gaya takfiri, main sikat mereka yang dicap sesat.

Menurut Gus Mus, seyogianya Islam dikembangkan berdasarkan prinsip tawasuth, tidak condong pada kutub-kutub, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Melainkan tetap teguh berada di tengah, moderat, menghargai keniscayaan adanya perbedaan, dan senantiasa mau serta siap mendengar pendapat atau pandangan pihak lain.

Tentang pentingnya upaya mengenalkan ‘Islam tengah’ yang teduh itu, Gus Mus pun berbagi kisah saat dirinya ‘diterbangkan takdir’ ke Brussel bertemu dengan anggota senat negara-negara Uni Eropa dan kemudian berlanjut ke Washington DC, yakni ke Gedung Putih dan bertemu langsung dengan para penasihat presiden Amerika, beberapa tahun silam.

Saat berbicara di hadapan mereka, kisah Gus Mus, sengaja diundang pula orang-orang yang phobia bahkan terang-terangan anti-Islam. Menariknya, kelompok islamophobia ini hadir dengan membawa kitab-kitab keislaman bahkan Al-Quran di tangan mereka, lalu menyatakan kepada Gus Mus bahwa dari kitab-kitab dan Al-Quran itulah mereka mengenal Islam dan karenanya menjadi anti-Islam. Itulah pengakuan yang tak pelak membuat kaget Kiai asal Rembang, Jawa Tengah itu.

Kepada orang-orang ini, Gus Mus menyatakan penyesalannya. Karena tak ubahnya di Eropa, ternyata di Amerika pun sebagian besar orang melihat potret Islam itu rujukannya hanya Timur Tengah, atau lebih khusus lagi Arab Saudi.

“Lha mau paham Islam kok yang dilihat cuma Timur Tengah dan Saudi, ya mesti saja penilaian Sampean itu keliru,” kata Gus Mus kepada mereka. “Akibatnya, penilaian Sampean yang keliru itulah yang menggoncangkan dunia.”

Lebih lanjut Gus Mus menyampaikan saran. “Mestinya, kalau Sampean mau belajar Islam itu ya setidaknya kunjungilah Indonesia. Di tempat kami di Indonesia, pemahaman kami dari pesantren-pesantren adalah pemahaman Islam mayoritas di dunia,” ajak Gus Mus. “Kawan-kawan pesantren saya tok ini, menurut survei terakhir tak kurang dari 60 juta jumlahnya, sekian kali lipat jumlah penduduk Saudi. Kalau pemahaman yang saya urai ini Sampean masih kurang yakin bahwa ini pemahaman mayoritas Islam di dunia, coba cek saja ke Grand Mufti Al-Azhar atau mufti-mufti lain yang ada di dunia,” tegas Gus Mus.

“Sengaja saya bilang begitu sama orang-orang Eropa dan Amerika. Meskipun kenyataannya, di Indonesia juga sudah banyak yang mulai ikut-ikutan ‘pethentengan’, sikut-sikutan, terpengaruh paham-paham yang berasal dari Saudi Arabia,” seloroh Gus Mus sambil tertawa.

“Tapi yang bikin judeg, setelah penjelasan itu, penasihat keamanan presiden Amerika malah minta saya buka perwakilan pesantren di Washington DC. Maksudnya, buat rujukan Islam yang sebenarnya itu gimana,” lanjut Gus Mus. “Sementara kelompok anti-Islam yang hadir tetap ngotot, sambil bawa kitab-kitab terjemahan, bangsanya kitab-kitabe MTA niku barang, niku diduduhno kalih kulo, lalu mereka bilang, ‘Lha ini, Islam itu gini kok. Yang tidak begini, ya kafir. Kalo kafir, ya harus disikat.’ Mereka juga ngotot bilang, ‘Islam itu kan Quran.’ Saya mbatin: Rodo aneh iki, wong anti-Islam lha kok ngerti Quran.”

“Akhirnya saya kasih tahu, bahwa memang ada orang itu yang pinter anyaran karo pinter lawasan. Sama halnya ketika dulu ada istilah Orang Kaya Baru atau OKB, sekarang ini pun ada Orang Pinter Baru, OPB.  Dadi yo wajar, isih kemaruk fotwa-fatwa sesat wae gawene.”

“Akhire kulo jelasaken. Kalian pikir Quran itu datang dengan cara Kanjeng Nabi ngomong terus direkam tape recorder, terus ditranskrip jadi buku namanya Quran, gitu? Ini orang yang nulis buku ini, ya mungkin mikirnya gitu. Terus mereka pikir, kalau ingin tahu isi Quran, tinggal buka Quran kayak kamus, gitu?”

“Alquran itu tidak turun gemblengan gitu, tapi sepotong-sepotong. Maksudnya, masing-masing ayat ada konteksnya. Ada konteks begini, turun ayat ini. Ada pertanyaan begini, turun ayat itu. Ada peristiwa atau kejadian begini, turun ayat yang lain. Jadi masing-masing ada asbabun nuzulnya. Makanya, kalau tidak ngerti asbabun nuzul Quran, ya ndak bakal ngerti Quran. Begitu juga kalo ndak ngerti asbabul wurud, ya ndak akan ngerti hadis dan Sunah Rasul.”

“Contohnya, pimpinan orang-orang yang suka bid’ah-bid’ahke wong niku, Sampean kasih kitab Bukhori Muslim gundulan, opo iyo iso moco. Yen iso, kethoken kuku kulo. Niku pimpinane lho, ojo santrine. Imame niku lho, kon moco Bukhori Muslim gundulan —halah kok keduwuren Bukhori Muslim, Taqrib niku mawon lho. Lam yajlun pokoke. Lha nggih niku, pinter anyaran kok yo kemaruk. Lha ora trimo bid’ah-bid’ahne lakune kiai, Imam Syafii yo dihina-hina. Lha kok Imam Syafii melu dinyek iku lho. Iku saking ora ngertine, tapi pingin diarani pinter.”

Gus Mus lalu bercerita tentang kebangkitan kelompok anti-Islam di Eropa. Khususnya tentang fenomena naiknya jumlah pendukung partai-partai anti-Islam di negara-negara itu, dan apa penyebabnya.

“Di Eropa, partai-partai yang anti-Islam suarane mundhak. Mergo kampanyene niku saget didelok moto. Noh, iku sing brangasan, Islam iko. Iku sing arep nyawat wong, muni Allahu Akbar, Islam iko. Entuk dalil sak pirang-pirang.”

“Akhire kulo wanek-wanekno ngenyek wong-wong Amerika karo Eropa, ‘Sampean iku lha wong bolone wong-wong Arab Saudi, wong-wong sing ideologine keras. Bolone Saudi iku yo Sampean. Lha kami yang toleran, yang rahmatan lil alamin, yang menghargai pendapat orang, kok malah oleh antek-anteknya Arab Saudi di Indonesia, malah dianggep antek Amerika.’”

“Masya Allah, sekarang ini, dikit-dikit fatwa sesat. Sakniki, Muslim yang dicap sesat langsung disikat. Ahmadiyah dianggep sesat disikat. Diluk engkas Syiah, dianggep sesat, disikat. Mengko maneh, gak mustahil, NU, dianggep sesat, yo disikat. Lha niku kitabe mbuh opo. Lha wong sesat kok disikat iku lho.”

“Lha sudah tahu gitu, awak-awakan sing pesantrenan niki lha kok arep melok-melok. Rumangsane terus gagah ngono, yen iso nyikat rono, nyikat rene, ngono iku. Wong pesantren kok melok-melok nyikat Ahmadiyah. Lha wong sesat kok disikat. Ibarate orang mau ke Jakarta tapi nyasar ke Ponorogo, dicelathu, ‘Mau kemana Sampean?! Mau ke Jakarta, lha kok nang Ponorogo! Tak tabok Sampean. Goblok! Kejauhan Sampean iki, dholalan baidan. Mau ke Jakarta kok ke Ponorogo, kejauhan Sampean! Terus dikampleng, plak! plok! Ayo dikeroyok ae wong iki, wong gendheng iki!’”

“Coba pikir. Lha iki sing gendheng sing ngeroyok, nopo tiyange sing kesasar niku? Niku jan blas ora cocok karo kelakuane wong pesantren. Pesantren niku yo nggene wong sesat-sesat iku. Pesantren nggih panggonane teng daerah sesat-sesat. Kanggo mbenerne wong sesat-sesat iku. Ora kok nyikati wong sesat,” tandas Gus Mus.

Gus Mus lalu menganalogikan bahwa pada awal Islam, kalau semua yang sesat disikat, lalu siapa yang akan diajak oleh Rasul ke jalan Tuhan?

Bukankah Islam itu hadir dengan tujuan untuk mengajak ke jalan Tuhan? Siapa yang diajak? Tentu saja mereka yang belum berada di jalan Tuhan. Logikanya, kalau mereka yang sudah berada di atas bis, buat apa diajak naik bis lagi?

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *