Satu Islam Untuk Semua

Monday, 02 January 2017

Gus Mus: Orang Beriman, Jalani Hidup di antara Cemas dan Harapan


islamindonesia.id – Gus Mus: Orang Beriman, Jalani Hidup di antara Cemas dan Harapan

 

Belum lama berselang, tahun 2016 sudah berlalu dan Tahun Baru 2017 datang menjelang. Banyak orang saling mengungkap resolusi pribadi dan harapan masing-masing yang ingin diwujudkan dalam setahun ke depan.

Seperti lazimnya kebanyakan orang, resolusi dan harapan di awal tahun itu sengaja dibuat dan ditanamkan dalam hati dan pikiran agar mereka tergerak dan lebih termotivasi untuk meraih apa yang diharapkan dan lebih sadar untuk tidak mengulang kembali kesalahan yang pernah diperbuat di masa lalu karena takut ditimpa kegagalan lagi di masa kini dan masa mendatang.

Agar kita tidak terlalu takut dan cemas berlebihan menghadapi masa depan, mungkin ada baiknya kita renungkan tausiyah KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus yang pernah disampaikannya beberapa tahun lalu dalam sebuah tulisan.

Dalam salah satu tulisannya yang membahas perihal Khauf (Cemas, Takut) dan Rajaa’ (Harapan), Gus Mus mengungkapkan beragam pendekatan manusia sebagai hamba, kepada Allah SWT sebagai Sang Pencipta.

Menurut Kiai asal Rembang ini, ada beragam cara manusia dalam menjalani hidupnya, juga dalam memaknai hubungannya dengan Tuhan. Ada yang mendekati-Nya dengan jalan takut, ada pula yang menggunakan jalan cinta. Ada yang takutnya berlebihan hingga melupakan karunia, tapi ada pula yang berlebihan memandang rahmat dan pengampunan-Nya, sampai-sampai bertindak sembrono dan semaunya. Padahal semestinya, kata Gus Mus, setiap hamba mesti menempuh sikap proporsional dan tengah-tengah (tawassuth) dalam segala hal dan keadaan. Artinya, hendaknya setiap manusia tidak takut atau cemas berlebihan seolah lupa adanya penjagaan dan pertolongan Tuhan, tidak pula terlampau optimis dan over percaya diri pada upaya sendiri sehingga melupakan campur tangan dan Kuasa-Nya.

Berikut tausiyah Gus Mus tentang Khauf dan Rajaa’.

Allah SWT, sebagaimana Dia sebutkan sendiri dalam Kitab Suci-Nya, adalah Ghafuur Rahiim, Maha Pengampun dan Maha Pengasih; tapi juga Syadiidul ‘Iqãb, mahadahsyat hukuman-Nya.

Entah dimulai dari kenyataan ini atau tidak, yang jelas ada perbedaan dalam pendekatan hamba-hamba-Nya terhadap-Nya. Ada yang pendekatannya CINTA ada yang pendekatannya TAKUT. Umumnya orang-orang sufi, seperti dicontohkan oleh sufi perempuan dari Basrah Rabiah ‘Adawiyah, pendekatannya adalah Cinta. Mereka beribadah dan bersujud kepada-Nya karena cinta. Sementara umumnya orang-orang fikih, berpendekatan Takut. Mereka takut kepada Allah, maka mereka menyembah dan bersujud kepada-Nya.

Dikatakan “umumnya” karena dari kalangan sufi ada juga yang berpendekatan Takut; sebaliknya di kalangan ahli fikih ada juga yang berpendekatan Cinta.

Tapi selalu ada saja yang berlebihan dengan pendekatannya. Ada yang berlebihan takut sehingga melupakan karunia; bahkan sampai menakut-nakuti sesama hamba. Sebaliknya ada yang berlebihan memandang keagungan rahmat dan pengampunan-Nya, sampai sembrono dan terjadi sambalewa.

Terlepas dari adanya dua pendekatan ini, kenyataan bahwa Allah itu Ghafuur Rahiim dan sekaligus Syadiidul ‘iqãb, telah melahirkan konsep sikap Khauf (Cemas)-Rajaa’ (Harap). Insya Allah dari sinilah munculnya ungkapan dalam bahasa Indonesia “harap-harap cemas”.

Orang beriman selalu berada di antara Darurat dan Harapan. Cemas TIDAK MENDAPAT dan berharap MENDAPAT rahmat dan ampunan-Nya. Orang beriman tidak dapat PUTUS HARAPAN, tapi juga tidak bisa hanya mengandalkan HARAPAN.

Intinya, sebagaimana ajaran dasar dan umum Islam, kita harus selalu bersikap tengah-tengah (tawassuth). Tidak berlebih-lebihan dalam segala hal.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *