Satu Islam Untuk Semua

Monday, 21 April 2014

Gempita Shalawat Syekhermania


foto:Akmal Nasery Basral

 

Sebuah fenomena subkultur yang tak banyak terdeteksi media massa mainstream.

 

MAGHRIB baru usai ketika langit mencurahkan berton-ton air hujan di wilayah Bojonegoro, Jawa Timur. Jalan lengang karena semua orang bergegas mencari tempat berteduh. Satu-satunya pengecualian terlihat di kawasan Dander, bagian jalan utama Pantura yang menghubungkan Bojonegoro-Nganjuk di mana Masjid Al Birru Pertiwi terletak.

Satu kilometer menjelang rumah Allah berkubah emas yang baru beroperasi 2,5 bulan itu, hujan tak mampu mengurai sesak kerumunan.  Mobil-mobil semi bus, truk, dengan stiker “Syekhermania” menyesaki jalanan. Lalu para pemotor, sebagian besar anak muda, berada dalam barisan konvoi. Pasar dadakan tercipta di kiri-kanan jalan. Semua berkumpul untuk sebuah acara istimewa yang belum pernah terjadi di Bojonegoro: shalawatan yang akan dipimpin oleh Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf pada Sabtu (12/4).

Jika pemandangan di jalan raya sudah mengesankan, apa yang terlihat di halaman masjid seluas 6.000 meter persegi lebih mencekam. Ribuan massa duduk bergeming dengan mengangkat plastik sebagai tudung kepala, menahan curah hujan yang seperti tak ada habisnya. Tak ada upaya mereka untuk menepi dan berteduh di lingkungan masjid. Waktu terus berjalan mendekati pukul 20.00 WIB ketika Habib Syekh, nama panggilan akrabnya, menampakkan diri disambut aplaus meriah.  “Mari kita bershalawat untuk pria paling mulia di dunia,” ujarnya dengan suara bariton yang menjadi magnet bagi ribuan jamaah. “Karena itu kita lakukan shalawat dengan cara mulia pula, jangan ada yang merokok, serta tidak perlu berdiri dan berjingkrakan, cukup duduk saja.”

Maka meluncurlah Kisah Rasul dari mulut Habib Syekh yang langsung disergap koor jamaah. Bendera-bendera mulai berkibar. Ada logo NU, ada logo partai politik, dan yang terbanyak, tentu saja bendera bertuliskan “Syekhermania” dengan kota masing-masing, seperti Syekhermania Kediri, Syekhermania Lamongan, Syekhermania Gresik, sampai Syekhermania Aceh! Di antara lautan bendera itu, terselip satu-dua bendera bertuliskan Slankers dan OI (Orang Indonesia), kelompok penggemar Iwan Fals. Semua larut dalam ekstase yang dibangun oleh tabuhan ritmik rebana dengan kualitas sound system prima yang dimainkan belasan anak buah Habib Syekh.

Usai Kisah Rasul yang kini sedang hit di kalangan penggemar shalawat, Habib Syekh kembali mengingatkan jamaah. “Saya harap bendera parpol jangan dikibarkan. Bendera lain boleh. Ini acara agama, bukan acara politik,” ujarnya tegas. Lalu dari mulutnya, meluncur larik-larik bahasa Jawa: Padang bulan, padange koyo rino/Rembulane sing awe-awe…. yang kembali tenggelam dalam koor ribuan jamaah.

Shalawatan yang dihadiri oleh Bupati Bojonegoro, Suyoto, dan diprakarsai pengusaha Supramu Santosa sebagai pendiri masjid Al Birru Pertiwi dengan memboyong hampir seluruh keluarga besar Santosa dari berbagai kota untuk memeriahkan masjid yang namanya berarti “Kebaikan Pertiwi” — Pertiwi adalah nama ibu Supramu Santosa – itu selesai dua jam kemudian dengan Habib Syekh mengajak seluruh hadirin berdiri menyanyikan … lagu kebangsaan Indonesia Raya. “Kita harus bisa menunjukkan diri sebagai umat Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” katanya, “bukan umat Islam yang menakutkan bagi orang lain.”

 

SYEKHERMANIA adalah sebuah nama plesetan terhadap fenomena subkultur yang tak banyak terdeteksi media massa mainstream.  Entah siapa yang memulai, namun sebutan ini semakin populer dalam tahun-tahun belakangan. Bukan hanya di kota-kota pulau Jawa di mana Habib Syekh kerap berpentas, bahkan juga hingga ke Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Syekhermania menggabungkan dua subkultur sekaligus: loyalitas penggemar musik dan fanatisme penggemar sepak bola. “Cukup banyak syekhermania ini adalah juga para bonek penggemar sepak bola,” ujar seorang ulama Bojonegoro kepada saya. “Bedanya kalau sedang nonton bola mereka bisa liar, namun saat ikut shalawatan bersama Habib Syekh mereka tidak macam-macam.” Hal serupa juga disampaikan kang Yoto, nama panggilan populer sang bupati yang juga penulis buku laris The Alfatihah Codes. “Karena yang minta menyanyikan lagu Indonesia Raya itu Habib Syekh, jamaah langsung mengikuti. Coba kalau yang meminta menyanyi bersama itu dari pejabat, mungkin sebagian besar mereka tidak mau ikut,” ujarnya memuji.

Status lentur antara “shalawatan” dan “pertunjukan musik” ini memang menguntungkan Habib Syekh yang pernah diundang mengisi acara malam tahun baru oleh komunitas muslim Singapura. “Kepada Otoritas Singapura, panitia setempat mengurus izin konser musik sehingga izin mudah diberikan. Kalau disebut pengajian agama bisa jadi tak diizinkan karena acara berlangsung di Stadion Geylang (Stadion Bedok – red),” tutur Habib Syekh seraya tertawa. “Dan memang biasanya muatan ceramah agama hanya sebentar saja, lebihnya adalah shalawatan dengan kata-kata yang lebih mudah dicerna masyarakat,”  lanjutnya.

Tak mengherankan jika sepekan sebelum tampil di Bojonegoro, Habib Syekh yang baru mengisi peringatan Satu Abad Kota Malang di Stadion Gajayana, merasa takjub sendiri melihat antusiasme massa. “Sepanjang mata memandang ke seluruh stadion, isinya orang semua. Panitia memperkirakan sekitar 70.000 jamaah,” katanya. Jumlah itu memang 3-4 kali lipat lebih banyak dari syekhermania di Bojonegoro yang diperkirakan berjumlah 20-25 ribu jamaah tersebab luas lokasi yang terbatas. Namun itu pun sudah di atas perkiraan panitia yang hanya mematok kehadiran 10.000 jamaah.

Dengan popularitas Habib Syekh yang berwibawa, ditambah dukungan tata suara prima, respon syekhermania yang, pada akhirnya, terlihat tak terlalu berbeda dengan saat mereka menonton pergelaran musik grup nasional atau klub sepak bola papan atas, akhirnya bisa dipahami. “Saya sendiri memang mencontoh gaya Wali Songo dalam menyemaikan nilai-nilai agama Islam melalui senandung seperti Lir-Ilir,” tuturnya. “Cara seperti ini terkadang lebih efektif dibandingkan memberikan ceramah.”

Apa yang dilakukan Habib Syekh adalah sebuah ikhtiar dalam wilayah Islam kultural, sebuah upaya menyatukan umat lintas ormas, lintas parpol, dalam sebuah misi penguatan kecintaan terhadap Rasulullah Muhammad dengan menggunakan elemen paling familiar bagi rakyat kebanyakan: budaya. Bukan diskursus dengan penggunaan terminologi tingkat tinggi seperti berhamburan di ruang-ruang seminar, atau sebaliknya, obral memberikan labelisasi (cap) tertentu yang cenderung meremehkan umat.

Dan itulah yang dilakukan Habib Syekh saat menutup shalawatnya yang gegap gempita. “Hati-hati dalam perjalanan pulang bagi seluruh Syekhermania. Tetap jaga akhlak mulia. Saya yakin pasti bisa, karena orang-orang yang mau hadir ke acara shalawatan pastilah mereka yang menjunjung tinggi akhlak mulia seperti dicontohkan junjungan kita, lelaki paling mulia yang pernah ada di dunia.”

 

Sumber: Islam Indonesia

 

 

*) Akmal Nasery Basral adalah sosiolog, penulis sejumlah novel historis seperti Sang Pencerah (Fiksi Utama Terbaik Islamic Book Fair 2011), Presiden Prawiranegara (tentang Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI) dan Tadarus Cinta Buya Pujangga (tentang Buya Hamka). Penulis pernah berkhidmat di majalah berita. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *