Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 17 April 2014

Feminisme dalam Konsep Budaya Nuswantara


foto: indonesiawayang.com

Nuswantara= Jawadwipara=Jawa=Hawa=Wanita

 

 

BERBICARA tentang Jawa, bukan berarti membicarakan etnik Jawa, atau suku Jawa, atau masyarakat berbahasa Jawa kontemporer. Hal ini seperti disebutkan dalam Djangka Djajabaja, bahwa yang dimaksudkan Jawa adalah Jawadwipara atau territorial Nuswantara. Di samping itu, territorial Nuswantara sendiri mengikuti sebaran prasasti dan toponimi yang mengandung kata jawadwipara. Misalnya prasasti Wanua Tengah di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur atau prasasti-prasasti di Sumatera, Bahkan di Colamandhala (India sekarang). Juga mengikuti toponimi seperti Hawa-ii di kepulauan Polinesia. Hawa-ii, artinya Jawa-kecil. Juga sebaran simbol-simbol tipikal Nuswantara seperti di Madagaskar, Afrika Selatan, di dataran Indochina, bahkan hingga di Aztec-Inca di benua Amerika.

Terkait dengan soal feminitas,  saya akan mengutip suatu pepatah para leluhur tanah Nuswantara/ Jawa kuno. Bahwa wong jowo iku wanodya lan wong arab iku priyo. Artinya secara harfiah: orang Jawa itu wanita atau wanodya atau feminin. Sedangkan orang Arab itu lelaki atau pria atau maskulin. Namun secara peristilahan wong jowo tidak hanya berarti orang dari jawa. Tetapi wong jowo juga berarti manusia yang telah mencapai pemahaman dan kedalaman. Yakni pemahaman mengenai rukun wajib manusia menjalani hidup dan kehidupannya di dunia fana ini.

Kata wanodya arti harfiahnya adalah sinonim dari kata wanita. Namun ia juga merupakan kiratabasa dari wani-ngudya. Artinya berani mendidik, atau berani membina, atau berani menata (wani-nata). Hal ini tersimbolkan pada arca-arca bertema durga-mahesa-sura-mardhini. Yakni arca yang melambangkan seorang wanita agung yang berdiri di atas punggung seekor sapi. Durga artinya pemimpin agung yang telah feminin, sehingga bertangan delapan (hasta-bhrata). Masing-masing tangan/hasta memegang teguh prinsip kepemimpinan di tanah Jawa/ Nuswantara.

Mahesa berarti kesatria, atau jiwa satria yang suci. Hati nurani pemimpin yang jujur dan penuh pengabdian atau sudharma. Baik terhadap Tuhannya maupun terhadap para kawulanya. Sura artinya gagah berani. Yakni wujud dari sifat melindungi atau ambawani tanah dan kawula Jawi. Sedangkan mardhini  artinya pendidik yang baik. Atau dengan kata lain berani menyelenggarakan pendidikan yang baik dan luhur bagi para kawulanya atau disebut juga sebagai wanodya. Hal ini yang menjadi latar belakang adanya kepemimpinan di Nuswantara yang disebut sebagai ratu, bukan raja. Sehingga istananya disebut sebagai keraton  (ke-ratu-an) bukan krajan (ke-raja-an). Ummi bagi ummah, atau ibhu bagi bhumi. Di kesultanan Banten, bahkan kraton utama disebut sebagai kaibon. Dari kata ka-ibhu-an.

Semua ini membentuk pola besar peradaban yang tertata rapi di Nuswantara/ Jawa. Atau tata-titi-tentrem-kerta-rahardja. Tata peradaban yang makmur dan menentramkan hati manusia yang tinggal di dalamnya. Sebagai cerminan watak manusianya yang feminin. Semua ini juga terkait dengan pepatah bahwa wanodya iku ratuning taman atau durgha rattu svargaloka. Taman bisa berarti teritorial Nuswantara ini. Bisa juga berarti keindahan budaya dan kesenian yang meluhurkan adat istiadat agama di Nuswantara hingga mencapai puncak keindahannya. Inilah watak dasar peradaban pemomong.

Akan halnya bagian pepatah di atas wong arab iku priyo, memberikan pemahaman bahwa orang arab itu priya, atau lelaki, atau maskulin. Arab dalam pengertian Nuswantara tidak hanya berarti bangsa Arab. Arab adalah bentuk kata tunggal. Sedangkan bentuk jamaknya dari kata arab adalah u-ru-bah atau yu-ro-bha atau eu-ro-pha (e-ro-pa). Jadi dalam pandangan orang Nuswantara/ Jawa, orang Arab dan Eropa itu sama. Yakni yang disebut sebagai negeri-negeri ngatas angin. Mereka ini berwatak maskulin, sedemikian rupa sehingga sejak awal mencerminkan sifat arogan, keras, dan mengandalkan senjata. Di samping itu bersifat memaksa, gila kuasa, dan sebagainya. Atau yang dalam pepatah di atas disebut sebagai priyo.

Maka untuk menjadi kaum adam atau kaum laki-laki di Nuswantara/ Jawa harus tirakat mengolah rasa agar bisa berjalan menuju sifat feminin. Atau agar menjadi lananging jagad (ya) iku herjuno. Lelaki yang memimpin jagad harus herjuno. Herjuno artinya arjuna dalam tokoh pandawa lima. Namun herjuno dalam kiratabasa dari kata her-juna. Her artinya er, atau air. Juna artinya jana atau jnana atau orang, atau manusia bijaksana. Jadi lelaki di Nuswantara haruslah lelaki yang bijaksana yang menjadi pengayom dan penyejuk jagadnya.

 

Tentang Poligami

Dalam suatu diskusi yang dikuti oleh saya di Kajian Wanita Universitas Gajah Mada (UGM) pada 2011, terdapat pernyataan stigmatik mengenai keniscayaan poligami dalam konsep priya. Jika berangkat dari paparan feministik di atas, maka dalam pepatah Jawa kuno terdapat kata-kata demikian ini. Nikah iku dadine temanten utawa jumbuh. Nikah itu adalah menjadi pengantin atau jumbuh. Nikah papat iku jumbuhing patang perkara. Maka nikah empat itu adalah jumbuhnya empat perkara.

Pertama, adalah jumbuhnya priya dan wanodya. Yakni jumbuhnya lelaki dan wanita dalam sebuah perkawinan. Namun juga berarti jumbuhnya lelaki dan perempuan dalam sifat feminin. Bahwa baik seorang lelaki maupun seorang perempuan di Nuswantara/ Jawa, hendaknya sama-sama wanodya.

Kedua, adalah jumbuhnya jiwa lan raga. Yakni jumbuhnya jiwa dengan raga. Atau jumbuhnya hati nurani dengan tingkah laku jasadiyah. Atau selarasnya kata hati dengan tindakan. Ini adalah akar daripada kejujuran, keperwiraan, keberanian, dan kesederhanaan hidup.

Ketiga, adalah jumbuhnya kawula lan gusti. Yakni jumbuhnya hamba dengan tuannya ataupun Tuhannya. Ini mengacu kepada sipat Kangjeng Nabi SAW yang ngabduhu (kawula) sekaligus sebagai rosuluhu (gusti/ pemimpin).

Keempat, adalah jumbuhnya kur’an lan maknane. Yakni jumbuhnya Al Qur’an dan atasnya. Dalam tradisi Nuswantara lama, pemahaman atas kitab suci tersebut harus berjalan dari pemahaman yang hanya bersifat harfiah (maknawi) menuju kepada pemahaman majasi (metafor) hingga kepada pemahaman mangani (ma’aniy) atau pemahaman yang menyibak hakikat-hakikat segala sesuatu.

Maka jika kita tidak mampu mencapai keadilan-keadilan tersebut, cukuplah dicapai yang pertama. Yakni menjadi feminin.

 

 

*) Ki Herman Sinung Janutama, adalah budayawan cum pemerhati sejarah dan filsafat Jawa. Untuk berdiskusi lebih lanjut, Ki Herman bisa dihubungi di: kasinungjanutama@gmail.comatauFacebook:https://www.facebook.com/herman.janutama?fref=ts

 

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *