Satu Islam Untuk Semua

Friday, 24 October 2014

Empat Tahun Musim Semi Arab: Sebuah Analisis (1)


Arab Spring

Pengantar

Sejak akhir 2010 lalu hingga sekarang, belahan bumi di Afrika Utara dan Timur Tengah diguncang berbagai aksi protes dan demonstrasi. Percikan pertama dari rangkaian aksi ini terjadi pada 17 Desember 2010–manakala seorang pemuda Tunisia bernama Muhammad Buazizi (26) yang merasa terhina oleh kekejian aparat pemerintah,  membakar dirinya di depan kantor pemerintah daerah Sidi Bouzid. Keesokan harinya, kota menyaksikan demonstrasi besar-besaran. Aparat memilih cara mudah: memberangus gelombang purotes itu. Tapi akibatnya tak pernah mereka duga: kerusuhan.

Selebihnya adalah sejarah: Kerusuhan itu menjalar kemana-mana. Daerah-daerah lain di Tunisia pun kemudian ikut bangkit dan menyatakan solidaritas. Tak lama berlalu, seluruh Tunisia bergolak dan pada 14 Januari 2011, Presiden Zainal Abidin Ben Ali yang telah berkuasa hampir 25 tahun pun melarikan diri ke Arab Saudi.

Pergolakan Tunisia ini lantas mewabah ke daerah sekitarnya, yakni Mesir dan Libya, dan ke seluruh penjuru Timur Tengah. Gelombang pergolakan inilah yang disebut dengan Arab Spring (Musim Semi Arab) atau Revolusi Arab.

Pergolakan yang membentang dalam wilayah geografis sangat luas ini tentu saja memiliki latarbelakang, pemicu, pola, karakter, dampak, dan kerangka yang berbeda-beda. Sejumlah analisis memilah antara pergolakan yang autentik, lahir dari aspirasi rakyat domestik dan pergolakan yang disponsori dan dipicu oleh kepentingan asing.

Sejauh ini kita juga dapat menemukan tiga kelompok pengamat yang meletakkan rangkaian pergolakan ini dalam tiga tema besar: pergolakan demi “sekerat roti”; tuntutan pada kebebasan, penegakan HAM dan demokrasi; dan terakhir, kebangkitan Islam (Islamic Awakening).

Tentu tiga tema ini tidak selalu harus saling berhadap-hadapan, melainkan justru kerap saling mendukung dan melengkapi.

Bagaimanapun, lantaran apa yang disebut sebagai Arab Spring ini merupakan proses yang masih berlangsung, maka belum ada kesimpulan apapun yang dapat diambil. Kerangka yang utuh untuk memaknai seluruh pergolakan ini pun belum bisa ditampikan. Apa yang terungkap dalam analisis sejauh ini hanyalah gambaran samar yang didukung oleh data yang tidak lengkap dan fakta yang terus berubah dan berkembang.Karenanya, analisis apapun sejauh ini sering memiliki tingkat keandalan dan keajekan yang rendah.

Latarbelakang dan Pemicu

Seperti telah disebutkan di atas, latar belakang dan pemicu awal tiap-tiap pergolakan di berbagai negara Timur Tengah dan Afrika Utara ini sebenarnya berbeda-beda. Tapi, di semua negara yang mengalami pergolakan itu kita dapat menyaksikan beberapa fenomena umum: represi, kediktatoran, pelanggaran HAM, korupsi, diskriminasi etnik dan sekte, kebentuan artikulasi dan partisipasi politik, tiadanya demokrasi dan sebagainya.

Di beberapa negara seperti Tunisia, Mesir, Aljazair, dan mungkin Maroko, isu kesejahteraan lebih dominan daripada isu-isu politik dan kebebasan dalam memantik pergolakan. Namun, di beberapa negara lain, khususnya yang berada di wilayah Teluk Persia, seperti Bahrain, Arab Saudi dan Kuwait, kemudian Yordania dan Libya, pemicunya lebih didominasi persoalan politik dan terampasnya hak-hak sipil. Perbedaan latarbelakang dan pemicu awal ini karena perbedaan standar kesejahteraan di tiap-tiap negara yang menyaksikan gelombang  protes tersebut.

Marilah kita ambil Libya dan Bahrain sebagai dua contoh. ‘Philips’ Modern School Atlas 1987’ menunjukkan bahwa sejak 1980-an Libya telah menjadi salah satu negara terkaya di dunia; PDBper kapita-nya lebih tinggi dari Italia, Singapura, Korsel, Spanyol dan Selandia Baru. Di samping itu, The World Factbook  (2006) dalam artikel “Economy-Libya” menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan absolut maupun kemiskinan relatif cukup rendah. Bahkan, sejak dicabutnya embargo ekonomi pada Libya tahun 2003, terjadi kemajuan ekonomi yang pesat di negara ini. Keadaan hampir serupa terjadi pula di Bahrain.

Oleh karena itu, pergolakan massif di Libya dan Bahrain, meski memiliki pola gerakan yang sangat berbeda, lebih didominasi oleh tuntutan terhadap hak-hak sipil dan politik ketimbang soal perut dan sekerat roti.

Di Bahrain, misalnya, diskriminasi sektarian dan rasisme menjadi pemicu utama gelombang protes yang terjadi sejak beberapa puluh tahun silam – hingga hari ini. Mayoritas rakyat Bahrain yang bermazhab Syiah merasa diperlakukan tak adil oleh rezim Al Khalifa.

Sejak 10 tahun terakhir, rezim menaturalisasi ratusan ribu warga asal India, Pakistan dan Bangladesh untuk mengimbangi populasi Syiah, dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Di antara berbagai negara yang sampai sekarang masih menggelinjang-gelinjang, Suriah dapat dianggap memiliki situasi yang paling pelik dan dilematis. Disusul kemudian oleh Yaman. Di kedua negara ini, faktor geopolitik lebih dominan dibandingkan dengan yang lain, sehingga menuntut solusi politik di tingkat nasional sekaligus regional. Jika di Suriah faktor politik lebih dominan ketimbang faktor ekonomi sebagaimana di Yaman, tapi yang jelas kedua negara ini telah menjadi ajang perebutan pengaruh yang lebih luas dan mengglobal. 

Karakter dan Pola Gerakan

Gelombang protes yang terjadi sejauh ini memiliki karakter yang berbeda-beda. Dimulai dengan aksi jalanan yang bersifat damai, hingga pemberontakan bersenjata yang menelan ratusan ribu nyawa. Perbedaan karakter gerakan ini juga menunjukkan perbedaan bobot problem dan tingkat keterlibatan asing yang berbeda. Kasus paling jelas dapat kita lihat pada Libya dan Yaman. Di Libya kita menyaksikan pertempuran militer yang sesungguhnya antara brigade dan milisi pro Khaddafi dan kelompok-kelompok perlawanan. Padahal, Libya relatif bebas dari senjata, sangat berbeda dengan Yaman yang dipenuhi oleh senjata. Namun, anehnya, rakyat Yaman yang sedemikian bersenjata justru berhasil menahan diri dari perang sipil selama lebih dari 2 tahun. Baru tahun ini Yaman menjadi medan laga antara kelompok Al-Houtsi dan Al-Qaidah.

Mungkin kita dapat membuat semacam skala karakter gerakan dari yang paling damai (seperti Bahrain) sampai yang paling berdarah (Suriah, Libya dan Yaman). Tiga negara yang terlibat dalam perang saudara, yakni Suriah, Libya dan Yaman, berbeda dalam heterogenitasnya. Suriah paling heterogen dan Libya paling homogen.

Secara umum, Arab Spring ditandai dengan pola aksi pawai massal menuju lapangan di pusat kota (maydan) sambil membawa spanduk dan meneriakkan yel-yel.

Di Mesir, misalnya, Medan Tahrir menjadi pusat dan simbol gerakan; sementara di Bahrain, massa berkumpul di Bundaran Mutiara sebelum diruntuhkan oleh rezim. Selain itu, kecuali di Bahrain, semua pawai massal dilangsungkan pada hari Jum’at sebelum shalat Jum’at bersama dan diakhiri dengan berjalan pulang menyusuri jalan-jalan protokol.

Di Bahrain, anehnya, mungkin lantaran sensitivitas sektarian yang muncul, pawai tidak selalu dilakukan di hari Jum’at tapi ditentukan beberapa hari sebelumnya.

Hal menarik lain dalam konteks Arab Spring ini adalah penggunaan media sosial seperti facebook, twitter, youtube dan sebagainya sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi yang efektif. Inilah mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah media massa muncul penggunaan media sosial dalam pergerakan sosial politik secara efektif dan langsung.

…BERSAMBUNG

(MK/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *