Satu Islam Untuk Semua

Friday, 04 April 2014

Elegi Sejarah Bernama Kufah


foto:karbobala.com

Mengapa seorang penyair menyebut namanya dalam nada sedih?

 

SEBUTLAH Kufah di pagi buta pada Mei 2004. Suara adzan subuh masih bersipongan, kala satu peleton pasukan Amerika Serikat bergerak ke arah Masjid Abu Hanifa. Sesampai di masjid bersejarah tersebut mereka lantas membentuk formasi tempur. Dan sambil menuntun 3 ekor anjing pelacak, beberapa di antara mereka menerobos masuk dan menjalankan penggeledahan.

”Mereka melemparkan salinan Al Qur’an ke lantai dan memaksa kami untuk menunjukkan tempat persembunyian Moqtada al Sadr (pemimpin gerilyawan Syiah di Irak). Kami rasa mereka bohong soal itu. Mereka hanya  ingin menghancurkan semua tempat suci di negara kami,”ujar Aziyah, seorang penduduk Kufah kepada wartawan The New Standard.

Bara pertikaian seolah tak mau enyah dari kota tua itu. Begitu akrabnya Kufah dengan kekerasan, hingga dalam sebuah novelnya, penyair terkemuka Arab, Jurji Zaidan menyebut Kufah sebagai tempat yang menggulirkan salah satu episode kelam dalam sejarah Islam. ”Kesucian spiritual dan intrik politik seolah bercumbu di sana,” katanya. Tapi benarkah Kufah miskin akan kisah gemilang? Sebenarnya tidak juga.  

Sejarawan Philip K.Hitti dalam History of the Arabs menyebut kota yang terletak di tepi Sungai Eufrat tersebut memiliki umur yang cukup tua. Ribuan tahun sebelum bangsa Arab datang, wilayah itu telah dihuni oleh orang-orang Mesopotamia. Terakhir saat Kerajaan Sassanid (Persia) berkuasa, Kufah merupakan bagian dari Provinsi Suristan.

Tahun 637 Pasukan Arab Islam sukses menaklukkan Kufah. Atas saran Khalifah Umar bin Khattab, Panglima Sa’ad ibn Abi Waqqas lantas memindahkan pusat kekuasaan Islam di Persia kekotatua tersebut. Jadilah Kufah sebuah kota militer yang banyak dihiasi benteng dan masjid bercorak arsitektur Persia.

Selang beberapa tahun sejak Kufah dibangun, terjadi eksodus besar-besaran orang-orang Arab Madinah ke kota itu. Beberapa di antara orang-orang Arab tersebut adalah para sahabat Nabi terkemuka seperti Abu Musa, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibnu Mas’ud, Salman, Ammar ibnu Yasir, serta Huzayfa ibnu Yaman.

Sejak kedatangan para sahabat terkemuka Nabi, Kufah bergerak arah menjadi pusat pengkajian Al Qur’an dan Hadits. Salah satu sahabat Nabi yang dinilai sebagai tokoh otoritatif dalam bidang hadits adalah Abdullah ibn Mas’ud. Lelaki berambut merah itu dikisahkan telah meriwayatkan 848 hadits.

”Setiap kali meriwayatkan suatu hadits, Ibn Mas’ud kerap gemetar dan berkeringat. Itu terjadi tak lain karena ketakutan dan kehati-hatian dia akan akurasi hadits yang dia riwayatkan,” tulis Ibn Sa’d dalam Kitab al-Thabaqat al-Kabir jilid III.

Tahun 656 M, di Madinah terjadi sebuah kericuhan politik yang menyebabkan Khalifah Utsman ibn Affan terbunuh. Ali ibn Abithallib lantas terpilih sebagai pengganti Utsman. Selang beberapa jam setelah Ali dibai’at di Mesjid Nabawi, terjadi demonstrasi yang dipimpin oleh Aisyah, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah. Mereka menuntut Ali secepatnya membentuk tim investigasi pembunuhan Utsman.

Sejarah mencatat, tuntutan itu berbuah pemberontakan pada era selanjutnya. Ali yang berdiri pada posisi dilematis terpaksa berhadapan dengan ketiga tokoh muslim terkemuka itu. Maka pada 657 M, pecahlah Perang Unta di perbatasan Kufah. Pasukan Ali berhasil memenangi perang saudara tersebut. Namun tak kurang 10.000 muslim terbunuh dan ribuan lainnya mengalami luka-luka.

Ummul Mukminin Aisyah sendiri diperlakukan secara baik-baik oleh Khalifah Ali. Alih-alih diperlakukan sebagai tawanan perang, Aisyah ra malah dibuatkan perkemahan khusus. “Besoknya Khalifah Ali menyilakan Aisyah ra untuk kembali pulang ke Madinah-al Munawarrah, diringi oleh pasukan pengawal pimpinan Muhammad ibn Abi Bakar yang tak lain adalah saudara Aisyah sendiri,”tulis Joesoef Sou’yb dalam Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin

Empat tahun kemudian, Kufah kembali menjadi saksi sedih dalam sejarah Islam. Suatu pagi, seorang pemberontak Khawarij bernama Abdurrahman ibn Muljam al Muradi menyerang Khalifah Ali yang sedang berjalan menuju Masjid Kufah, dengan sebilah pedang. Akibat tusukan berulang-ulang yang menimbulkan banyak pengeluaran darah, akhirnya Khalifah Ali mangkat..

Dikisahkan, sebelum menghembuskan nafas penghabisan, Khalifah Ali berujar: “Jangan perangi kaum Khawarij itu sepeninggalku. Pihak yang mencari kebenaran tetapi jatuh pada kesalahan tidaklah sama dengan pihak yang membesar-besarkan kepalsuan dan kemudian mereka mempertahankannya!”demikian seperti dikutip oleh Dr.Ahmad Amin dalamFajr-il Islam

Sepeninggal rasyidin terakhir itu, Kufah menjadi basis utama perlawanan para pengikut Ali terhadap kekuasaan Dinasti Umayyah. Dan Muawiyah khalifah monarkhi pertama dari Dinasti Umayyah, tanpa ampun menindas perlawanan tersebut. Puluhan ribu muslim kembali jatuh sebagai korban. Termasuk diantaranya putera Ali yang juga cucu Nabi bernama Hasan dan Husein.

Tahun 750 M, kekuasaan Umayyah runtuh. Dinasti Abbasiyah, sebuah bentuk kekhalifahan monarkhi lain kemudian muncul sebagai penguasa ranah Arab. Beberapa saat setelah dilantik di Masjid Kufah, Khalifah pertama Abbasiyah yakni Abu al-Abbas as-Saffah (750-754) membantai semua Umayyah yang ia temui. ”Pembantaian sebuah dinasti Arab tanpa pandang bulu ini sama sekali tidak terbayangkan,” tulis Karen Armstrong dalam Islam, A Short History.

Laiknya Umayyah, sebagian kekuasaan Abbasiyah dibangun dalam tradisi despotik dan otoriter. Dikisahkan, Khalifah Abu Jafar al-Mansur (754-775) pernah membantai ratusan mullah syiah yang bersikap kritis terhadapnya. Sebuah situasi yang sangat aneh mengingat para penguasa Abbasiyah sering mengaku sebagai pengikut Ali yang taat.

Saat Abbasiyah berkuasa, ibu kota dipindahkan dari Kufah ke Baghdad. Kendati terpinggirkan secara politik, aktifitas peradaban dan kegiatan intelektual tetap berlangsung di kota itu. Alih-alih meredup, para ilmuwan dan ulama besar bahkan lahir di Kufah. Mereka antara lain adalah Abu Musa Jabir ibn Hayyan (ahli kimia penemu teknik eksperimentasi sistematis dalam penelitian kimia), Al Kindi (filosof sekaligus pakar ilmu kedokteran) dan Abu Hanafi (salah satu imam dari 5 mazhab besar dalam Islam).

Dalam khazanah peradaban Islam, Kufah juga terkenal dengan tulisan Arab indah yang disebut khatt kufi. Salah seorang sarjana Muslim yang mengembangkan tulisan indah kufi itu adalah Al-Qalqashandi. Khatt kufi merupakan turunan dari empat tulisan Arab sebelum Islam yakni Al-Hiri, Al-Anbari, Al-Makki dan Al-Madani. Penamaan ‘kufic’ pertama kali diungkapkan Ibnu Al-Nadim dalam Kitab Al-Fihrist.

Sebutlah Kufah pada hari-hari ini: kota tua yang tak pernah tidur dan menyemburatkan sisi terang dan gelap kehidupan sebuah bangsa. Kini, pusat peradaban yang penuh luka dan kesedihan itu tengah tertatih-tatih melewati perang, suatu situasi kelam yang penuh ketakutan dan rasa geram. Ya, seperti ketakutan dan kegeraman Aziyah, kala melihat para prajurit yankee menyerbu masjidnya.  

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *