Satu Islam Untuk Semua

Monday, 19 February 2018

Dosen UIN Jakarta: Di Iran, Sunni-Syiah Hidup Berdampingan dengan Harmonis (Bagian 1)


islamindonesia.id – Dosen UIN Jakarta: Di Iran, Suni-Syiah Hidup Berdampingan dengan Harmonis (Bagian 1)

 

 

Pada tanggal 30 Januari hingga 12 Februari 2018 lalu, Dr. Hasani Ahmad Said, MA, seorang dosen dari UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengunjungi Republik Islam Iran dalam rangka short course yang diselenggarakan oleh kerjasama antar dua Universitas, yaitu  Universitas Internasional al-Mustafa Qom Republik Islam Iran dengan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Dalam kunjungannya tersebut, Dr. Hasani bercerita banyak hal tentang Iran, selain menceritakan tentang pengalamannya selama belajar singkat di Iran, dia juga meluruskan persepsi-persepsi yang salah tentang Syiah dari sebagian kalangan di tubuh internal Islam.

“Iran dengan Syiahnya secara umum sering digambarkan dengan kesesatan, doyan nikah mut’ah, dan segudang kebusukan lainnya. Namun kami sebagai akademisi tentu tidak mudah terpengaruh dengan semua klaim itu. Khususnya bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi Islam. Syiah telah terbiasa kami diskusikan khususnya ketika mempelajari buku wajib karya Prof. Dr. Harun Nasution ‘Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya’, terbitan UI Press. Melalui buku ini sekte-sekte dalam Islam dibedah secara cermat dan tentu banyak pencerahan yang pada akhirnya tidak mudah mengkafirkan seseorang,” ujarnya.

Dr. Hasani juga mengatakan bahwa dia sangat terpukau akan keramahan, kesantunan, dan kealiman para Ayatullah. Dia menceritakan bahwa dalam setiap sambutan atau ceramah, para Ayatullah selalu berkata, “Anda adalah saudara kami, Suni adalah saudara kami dan kami tidak pernah membenci saudara kami dari Suni, kendati ada saja segelintir orang Suni yang membenci kami sebagai Syiah.”

“Di Iran, tidak ada permusuhan dan kebencian yang disebabkan karena faktor perbedaan agama apalagi mazhab. Yang menjadi musuh bangsa Iran adalah kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang banyak merugikan umat Islam dan menguatkan eksistensi Zionis Israel,” ujar Dr. Hasani yang pernah menjadi Doktor terbaik UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2011 itu.

Selanjutnya dosen Prodi Ilmu Alquran Fakultas Ushuluddin tersebut mengatakan, “…. saya menganjurkan kalau masih ada yang menilai negatif tentang Iran, bagus juga berkunjung ke Iran sebagai tempat destinasi wisata sambil mengenang sejarah kemajuan peradaban Islam Persia. Sambil jangan lupa menyempatkan ziarah ke tokoh-tokoh besar pemikir dan ilmuwan muslim terkemuka yang masyhur hingga hari ini semisal penulis Tafsir al-Mizan Thabathabai, Imam al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lain-lain.”

Setelah melihat langsung kehidupan masyarakat Iran yang baginya sangat agamis, dia juga berharap masyarakat Indonesia dapat menjadi agamis pula, dengan corak Islam Indonesia, “tentu saja, yang kita inginkan di Indonesia adalah kehidupan keberislaman yang sesuai dengan kultur Indonesia. Yang kita ambil dari Iran adalah semangatnya saja, dan ketika Iran bisa menjadikan Islam Syiah sebagai sumber inspirasi memajukan dan menjalankan negara, kenapa di Indonesia tidak bisa dengan Islam Nusantaranya?” ujarnya.

Dr. Hasani Ahmad Said, MA (memegang bendera), berpose bersama warga Iran. Photo: ABNA

Dr. Hasani Ahmad Said, MA (memegang bendera), berpose bersama warga Iran. Photo: ABNA

 

Pluralisme dalam Bingkai Republik Islam Iran

Pada awalnya Dr. Hasani sempat merasa kikuk dan kaku ketika shalat bersama dengan masyarakat Iran yang bermadzhab Syiah yang dalam beberapa hal memiliki perbedaan syariat, namun seiring dengan berjalannya waktu, dia pun merasa biasa. Dia juga bercerita bahwa dirinya sudah tidak asing lagi dengan Syiah, sebab sekitar sepuluh tahun yang lalu dia pernah mengajar al-Quran dan kajian agama kepada keluarga Syiah.

“Di Iran, jangankan beda mazhab, antara Suni-Syiah, beda agamapun mereka hidup berdampingan dengan harmonis. Sewaktu mengunjungi Esfahan, yang lebih plural daripada di Qom, saya temukan gereja-gereja tidak kalah megah dan besar dengan masjid-masjid yang ada. Sangat mudah ditemui di Esfahan perempuan-perempuan yang meski berkerudung namun berpenampilan modis, yang kemudian saya ketahui karena memang beragama non muslim, baik Kristiani ataupun Yahudi, sehingga memang tampak berbeda dengan perempuan Iran kebanyakan yang mengenakan jilbab panjang hitam,” kata Dr. Hasani.

Ketika Dr. Hasani berbincang dengan Sayyid Maliki, Mudir Jamiatul Mustafa di Esfahan, tentang fenomena perempuan dewasa di Iran yang diwajibkan menggunakan kerudung di ruang publik, darinya dia mendapat informasi, “toleransi yang berkembang di Iran meskipun Islam menjadi dasar negara, membuat penganut-penganut agama lain tetap merasa aman, bahkan meski diajak oleh Israel, kaum Yahudi di Iran tetap betah menetap di Iran. Mereka bahkan mengecam berdirinya Israel dan menyebutnya itu bid’ah dalam agama Yahudi.”

Mengenai tata acara shalat yang berbeda antara Suni dan Syiah, Dr. Hasani mengatakan bahwa hal tersebut tidak perlu dipersoalkan, “masing-masing memiliki argumentasi yang digali dari al-Quran dan as-Sunah sesuai yang diyakini masing-masing,” kata pria yang selain sebagai dosen, dia juga menjadi pengisi dalam acara Kajian Serambi Islami TVRI dan Cahaya Hati ANTV.

Adapun perbedaan yang dimaksud adalah di Iran shalat berjamaah Dzuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya sering digabungkan. “Sayapun selama di Iran melakukannya karena tradisi di Suni ketika safar maka shalat bisa dijamak,” ujarnya.

Perbedaan lainnya adalah orang-orang Iran ketika bersujud dalam shalat, mereka meletakkan keningnya di atas turbah. Turbah adalah cetakan dari tanah yang dibuat khusus untuk bersujud. Penganut Syiah meyakini bahwa sujud di atas tanah merupakan pelaksanaan dari hadis Nabi Muhammad SAW.

“Menggunakannya (turbah) pun tetap tidak masalah, sebab dalam keyakinan Suni, itu tidak membatalkan shalat. Perbedaan lainnya, Syiah qunut dalam setiap shalatnya. Kalau di NU (Nahdlatul Ulama) qunut hanya pada shalat subuh, sementara di Syiah di setiap shalatnya. Sayapun bercanda pada teman-teman, ternyata Syiah lebih NU dari orang-orang NU, sebab qunutnya lebih banyak he..he…,” ujarnya sambil bercanda.

Bersambung…..

Sumber: ABNA

PH/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *