Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 25 March 2014

Dilema Muslim Tatar


foto:nationalgeographic.com

Perlakuan kejam orang-orang Rusia di era lalu terhadap mereka menimbulkan trauma sejarah dan keengganan Muslim Tatar untuk ada kembali dalam kekuasaan Rusia

 

TAK ada yang lebih menakutkan bagi warga Muslim Tatar di Crimea hari-hari ini selain berkuasanya Rusia atas kawasan bekas bagian dari Ukraina tersebut. Begitu khawatirnya, hingga dalam referendum penentuan nasib Crimea yang diadakan pada Minggu (16/3), Muslim Tatar sama sekali enggan berpartisipasi alias golput. ” Saya sudah menyerukan kepada masyarakat Tatar di Crimea untuk tidak memilih,”ujar Mustafa Dzhemilev, salah seorang tokoh masyarakat  Muslim Tatar.

Trauma menjadi faktor pemicu ketakutan etnis yang berbahasa Turki tersebut. Seperti dicatat dalam sejarah, pada 1944, pemerintah Uni Sovyet di bawah rezim Joseph Stalin pernah mengusir penduduk asli Crimea itu ke kawasan Asia Tengah. Alasan Stalin: mereka dituduh berpihak kepada Adolf Hitler dalam pertikaian Uni Sovyet-Jerman kala itu.

Pasca bubarnya Uni Sovyet, sebagain besar warga Tatar kemudian memilih untuk kembali lagi ke Crimea. Kendati berhasil menempati kembali Crimea, namun posisi mereka telah berubah menjadi minoritas dan kerap harus bersaing ketat dengan warga keturunan Rusia yang hingga kini menjadi mayoritas.

Berpenduduk sekitar 2,3 juta jiwa, Crimea dihuni oleh tiga etnis utama: Rusia (58%), Ukraina (24%) Tatar (12%) dan sisanya adalah etnis-etnis kecil yang ada di kawasan tersebut.Kondisi jomplang itu menjadi masalah saat beberapa waktu lalu pemerintah Rusia melakukan upaya campurtangan politik dalam krisis Ukraina.

Memang benar, dari segi administrasi Crimea masuk dalam wilayah Ukraina. Posisi ini direstui oleh negara-negara besar termasuk Rusia yang  sebelumnya berjanji tidak akan mengotak-atik status Crimea sebagai negara bagian Ukraina. Bahkan disebutkan dalam sebuah memorandum yang ditandatangani juga oleh Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa pada 1994: Crimea adalah sebuah republik otonom di Ukraina dan memiliki hak sendiri dalam menentukan parlemennya.

Krisis di Ukraina lantas merubah semuanya. Seiring ditumbangkannya  Presiden Ukraina Viktor Yanukovych (yang selalu dinilai pro Rusia)  oleh pihak opisisi (pro Barat) pada akhir Februari lalu, situasi di Crimea lantas ikut bergolak dan terpecah dua: antara kelompok masyarakat yang memilih untuk bergabung dengan Rusia dengan kelompok yang memilih untuk tetap menjadi bagian Ukraina.

Referendum kemudian menjadi solusi krisis yang terjadi di Crimea. Karena merasa secara kuantitas lebih sedikit, warga Tatar menolak solusi tersebut. Penolakan itu semakin keras manakala Rusia melakukan campurtangan lebih jauh dengan mengirimkan 6.000 serdadunya ke Crimea. ” Nasib Crimea tidak bisa diputuskan dalam situasi di bawah ancaman moncong senjata,” ujar Refat Chubarov, salah satu tokoh berpengaruh di kalangan Muslim Tatar.

Pasca referendum yang dimenangkan kelompok pro Rusia (96,7% dari 1,5 juta penduduk Crimea), ketakutan semakin dirasakan oleh kelompok Muslim Tatar. Meskipun sejak 1960-an mereka dikenal sebagai masyarakat yang solid dan terorganisasi secara baik, namun Muslim Tatar tetap khawatir intervensi Rusia akan melanda masyarakat mereka.

Soal ini bukannya tidak diketahui oleh pemerintah Rusia. Dalam sebuah rilis yang dikeluarkan oleh kantor kepresidenan di Kremlin pada Selasa (18/3), Presiden Vladimir Putin menegaskan: “Kami tidak akan menyakiti kalian…Kami ingin tetap menjadikan Crimea sebagai rumah bagi semua orang yang tinggal di sana…”

Seiring pernyataan  Putin tersebut, di Belogorsk (45 km arah timur ibu kota Crimea, Simferopol), Reshat Ametov (39) ditemukan tewas dalam kondisi menggenaskan dan penuh bekas siksaan. Menurut para saksi, sebelumnya aktivis HAM beretnis Tatar tersebut diketahui tertangkap dalam suatu aksi protes penyerangan Rusia ke Crimea di Alun-alun Lenin, Simferopol. ” Dia diseret paksa oleh tiga lelaki berjaket militer,” kata salah seorang saksi mata yang tak disebutkan namanya.

Apakah Muslim Tatar akan  merubah sikapnya dan menyerah untuk bekerjasama dengan Rusia?  Menurut salah seorang penduduk Crimea dari Muslim Tatar bernama Sulaymanov Mukhamed Ali,situasi tersebut  masih merupakan hal yang mustahil saat ini. ” Kami masih khawatir akan masa depan warga Tatar. Terlebih lagi jika isu politik Crimea ini berakibat pada timbulnya kekerasan anti-Tatar,’ujarnya. Dan nampaknya dilema tak akan lekas berakhir di Crimea.

 

Sumber: The Guardian, BBC, Reuters, AP, Aljazeera,Kremlin News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *