Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 02 February 2016

Di Yaman, Kematian Mengintai dari Langit & Bawah Tanah


Oleh Nasser M. Kutabish

Sana’a, Yaman — Lewza adalah adik ipar saya. Dia adalah orang yang baik, salah satu yang paling baik yang pernah saya kenal.

Sekitar jam 6 pagi hari Sabtu, sebuah rudal menghantam rumahnya di sini, sebelah timur istana kepresidenan, di sebuah daerah yang disebut Al Asbahi. Dia dan putranya yang berusia 7 tahun, Taha, tewas seketika. Ajaibnya, tiga anaknya yang lain selamat. Salah satu dari mereka mengatakan kepada saya bahwa pada saat rudal menghantam, Lewza tengah shalat. Dia berusia 45.

Rudal menghantam sisi rumahnya dan sebagian menghancurkan dua bangunan lainnya. Rudal ini juga menewaskan tetangganya, seorang bocah berusia 3 tahun. Hampir pasti rudal ini dilesatkan oleh pasukan koalisi pimpinan Saudi dalam perang sipil ini.

Saat itu saya sedang tidur di rumah saya yang berjarak sekitar 3 km, di Beit Miad, ketika anak saya Jamil mengetuk pintu kamar tidur kami. Saya menyuruhnya masuk. Istri saya sedang di kamar mandi. Jamil kemudian mengatakan kepada saya bahwa pamannya telah meneleponnya untuk mengatakan rumah Lewis telah dibom. Saya berganti pakaian, tanpa mandi dan segera pergi. Saya tidak ingin memberitahu istri saya tentang berita buruk mengenai adiknya.

Saya masuk ke dalam mobil bersama anak-anak saya Jamil, 32, Ridwan, 25, dan teman Ridwan, Mohammad. Perjalanan begitu cepat. Jalan-jalan begitu lengang. Ketika kami tiba, kami melihat kehancuran.

Banyak rumah-rumah di sekitar tak lagi berjendela, bahkan beberapa telah hancur pintu dan dindingnya. Rumah Lewza dan dua lainnya yang bersebelahan telah luluh lantak. Mobil di halaman mereka juga hancur.

Rudal teronggok di sudut rumah Lewza ini – penyangga ruang tak ada lagi. Demikian halnya dinding dan atap beton telah runtuh. Ruangan disesaki leburan beton, batu dan perabot. Bagian dari rumah itu masih berdiri, tapi hanya menunggu waktu sebelum semuanya runtuh.

Kami memasuki rumah dan bertemu dengan keponakan Lewza ini. “Bibi saya dan anaknya, Taha, telah wafat,” katanya kepada kami. Saya berasumsi mayat akan dibawa ke rumah Hasyim, adik Lewza, yang tinggal tidak jauh. Ketika saya pergi, seorang pria datang dan mengatakan kepada saya bahwa salah satu putra saya pingsan di halaman. Saya kembali dan mendapati Ridwan tergeletak di tanah, tak sadarkan diri. Kami mengangkat dan memindahkannya dari halaman. Seseorang mengambil air dan menyipratkannya wajah dan kepalanya, dan ia sadar kembali.

Segera istri dan dua anak perempuan saya, bersama dengan anak saya Wasim, yang berkunjung dari Arab Saudi, tiba dengan taksi. Sebelum mereka keluar, saya menuju di kursi belakang dan meminta sopir untuk pergi ke rumah Hasyim. Di dalam mobil, istri saya bertanya tentang adiknya dan anak-anak. Saya memeluknya dengan kedua tangan dan mengatakan bahwa Lewza dan si kecil Taha telah wafat. Dia dan anak-anak mulai menangis histeris. Saya meminta sopir untuk bergegas.

Di rumah itu, kami bertemu dengan istri Hasyim, yang mengatakan kepada kami jenazah-jenazah itu tidak ada di situ. Istri saya menangis, meminta saya untuk menunjukkan jenazah kakaknya. Saya berjanji bahwa saya akan membawa jenazahnya kembali dan dengan cepat kembali ke yang tersisa dari rumah Lewza ini.

Dalam perjalanan saya menelepon Hasyim. Dia berada di rumah sakit, tempat jenazah Taha berada. Saya bertanya di mana jenazah Lewza. Dia mulai menangis. Antara isak tangis, saya mengerti bahwa dia mengatakan bahwa dia masih di bawah reruntuhan puing beton dan batu.

Seseorang harus mengambil alih situasi. Saya adalah anak tertua. Saya menelepon anak-anak saya, teman-teman mereka, keponakan dan tetangga. Saya mengatakan kepada mereka bahwa kita harus mengatur pencarian jenazah Lewza ini. Mereka semua setuju. Saya meminta semua orang dekat kita baik membantu atau meninggalkan kita untuk melsayakan pekerjaan itu.

Sekitar 15 dari kita membentuk garis dan mulai memindahkan satu bagian puing sekaligus. Setiap orang mengalihkan reruntuhan kepada orang di sampingnya. Dalam 30 menit, kami telah membersihkan jalan dan halaman. Kita simpan segala kertas dengan menuliskan di atasnya, dan setiap perabot yang bisa diselamatkan, dan memindahkannya ke ruangan lain yang tidak rusak.

Bekerja di rumah selama tiga jam berikutnya, kami mengumpulkan potongan-potongan kecil tubuh Lewza; daging, tulang dan rambut, yang bercampur dengan darah dan cairan tubuh. Beberapa jatuh sakit dan muntah. Kami menemukan sisa tubuhnya di bawah tumpukan beton dan perabot. Kami paksa itu. Salah satu kakinya hilang. Setengah wajah dan kepalanya hilang. Dia tak lagi dikenali. Saya sadar bahwa saya tidak bisa memenuhi janji saya kepada istri saya. Saya tidak akan membiarkan dia menyaksikan kondisi adiknya. Lebih baik dia ingat wajah cantik Lewza saat ia tahu itu.

Saya kemudian menelepon Hasyim dan mengatakan kepadanya bahwa kami telah menemukan jenazah Lewza, tanpa memberitahu secara rinci. Saya merasa lega ia tidak bertanya. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan mengadakan pemakaman dan menyewa aula agar orang-orang dapat menyampaikan belasungkawa mereka dan berbagi kesedihan kami. Kami membawa jenazah Lewza yang tersisa ke masjid untuk dimakamkan, dan menunggu Hasyim, yang membawa jenazah Taha. Ada  sekitar 200 orang yang ikut berkabung. Kami berbagi rasa sakit, kesedihan dan ketidakberdayaan.

Bahkan sekarang, saya terjebak antara membenci diriku sendiri yang menjadi warga negara dari negara miskin atau membenci Saudi dan sekutu mereka yang kaya.

Dalam beberapa hari sebelum pengeboman, kita semua mengunjungi dan berbicara dengan Lewza. Seperti biasa, dia menerima kita dengan kelembutan dan cinta. Kami berbicara tentang  perayaan pernikahan Wasim yang akan tiba. Kami berbicara tentang masa depan, masa depan yang kini telah dibawa pergi.

Pada hari Minggu, setelah pemakaman, kami pergi ke rumah Lewza bersama beberapa pekerja untuk membersihkan. Di sana kami menemukan setengah kepalanya yang hilang. Kami membawanya ke tempat pemakaman dan menggali lagi sedalam 1 meter, dan meletakkannya di sana, bersama dengan potongan lainnya.

Ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya  mengubur satu manusia dua kali.[]

*Nasser M. Kutabish adalah Manajer Umum di Dinad Pemadam Kebakaran di Sana’a, Yaman.

*Tulisan ini tayang perdana di The New York Times.

Sulton/MH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *