Satu Islam Untuk Semua

Friday, 14 February 2014

Demokrasi Tanpa Gizi


foto:arahkiri

“… boleh berbicara apa saja, tetapi kapitalisme-lah pemenang sebenarnya”

 

Indonesia hari ini “terbelah” dalam dua bagian besar. Mereka ada di masing-masing ujung: satu pihak ada di pihak pembenci sebenci-bencinya (seolah yang dibenci tanpa kebaikan sedikitpun) dan satu lagi di pihak penggandrung segandrung-gandrungnya (seolah yang digandrunginya itu sesuatu yang sempurna dan mustahil salah).  Subyektifitas ekstrim menjadikan semua berkutat dalam “pertumpahan air liur” tanpa batas. Meminjam kalimat dari seorang penulis kenamaan Inggris, William Ralph Inge: “Mereka hanya bisa berteriak dan menembak…” 

Celakanya, di alam demokrasi neoliberal seperti sekarang, “kebebasan berpendapat” hanya menjadi katalisator dari kepenatan politik. Memang warga negara dihalalkan berteriak apa saja dan mengemukakan pendapat apapun termasuk penyelenggaraan negara. Namun ingat,  tak ada jaminan semua keinginan itu akan terpenuhi. Persis pribahasa: masuk telinga kanan keluar telinga kiri atau anjing menggonggong, kafilah berlalu. Wajar jika kita kemudian terjebak dalam perseteruan horizontal yang parahnya diperkuat oleh sosialisasi kebencian secara massif. Rakyat berhadapan dengan rakyat dan terlupakanlah tujuan diselenggarakannya demokrasi yakni kesehjateraan. 

Kita masih sungguh jauh dari harapan terwujudnya itu. Alih-alih membuat negara lebih makmur, justru demokrasi hari ini menjebak kita dalam pengelompokan-pengelompokan sempit  atas nama ideologi, agama, partai politik. Selalu, masing-masing kita merasa benar sendiri. Bahkan ada sebagian dari kita yang merasa  bahwa pihaknya adalah “satu-satunya yang diklaim Tuhan” sehingga bisa “memaksakan” sebentuk kebenaran sendiri. Sungguh sebuah bentuk demokrasi yang benar-benar tanpa gizi dan membuat kita malah bertambah sakit.

Mari kita bicara tentang ideal-ideal. Amartya Sen  dalam suatu kesempatan pernah berkata  bahwa sejatinya demokrasi harus menjadi modal dasar bagi rakyat untuk memberdayakan dirinya. Ia benar, karena demokrasi pada hakikatnya adalah kekuasaan rakyat secara riil. Karena itu, selain secara substantif   demokrasi harus menjadi kekuasan politik riil di tangan rakyat lewat partisifasi lansung, juga itu harus  membentuk sebuah keadilan/kesetaraan dalam hal ekonomi karena adanya kontrol yang sama terhadap alat-alat produksi (sumber-sumber ekonomi). Demokrasi yang benar harus melahirkan kedaulatan rakyat dibidang politik dan ekonomi.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Yudhoyono kerap berbangga bahwa Indonesia adalah kampiun demokrasi, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Namun tahukah anda, jika “proses demokratisasi” tersebut dalam kenyataannya telah menghasilkan ketimpangan ekonomi yang sangat luar biasa. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal, pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33. Bahkan, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto pernah membeberkan bahwa hanya 0,2 persen penduduk Indonesia yang saat ini menguasai 56 persen aset nasional.

Demokrasi neo liberal seperti yang dipraktekan hari ini oleh pemerintah Indonesia seharusnya memang tak layak buat manusia. Bayangkan saja, dalam sistem jenis ini, sesungguhnya yang menjadi acuan untuk hidup sejahtera hanya segelinir orang saja. Sementara manusia-manusia kebanyakan hanya menjadi “pelengkap” (kalau tak mau dikatakan sebagai pion) untuk mencapai kemakmuran para elit semata. 

Ada tiga hal yang setidaknya menjadi kelemahan demokrasi neo liberal menurut Geoff Mulgan. Pertama, sistem ini cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin keinginan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan oleh sekelompok orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan finansial? Kedua, prinsip-prinsip dasar dalam demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi dalam sisitem ini telah dibajak oleh kekuatan modal. Bisa dikatakan keterbukaan hanya berarti keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya. Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kepiawaian media mengemas opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat. 

Singkatnya, rakyat boleh berbicara apa saja, tetapi kapitalisme-lah pemenang sebenarnya!

 

Sumber:Islam Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *