Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 13 May 2018

Delapan Fatwa MUI tentang Politisasi Agama


islamindonesia.id – Delapan Fatwa MUI tentang Politisasi Agama

 

Komisi fatwa MUI menggelar Ijtima Ulama Se-Indonesia VI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Di antara seluruh hasil pertemuan tersebut, salah satunya adalah menghasilkan delapan fatwa tentang politisasi agama di Indonesia. Dr. HM. Asrorun Niam Sholeh, MA dalam konferensi pers pada hari Jumat (11/5) selaku Ketua Pimpinan Sidang Pleno menyampaikan delapan fatwa tersebut:

Pertama, Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu merupakan ajaran yang komperehensif (kaffah), memiliki tuntunan kebajikan yang bersifat universal (syumuliyyah) dan meliputi seluruh aspek kehidupan (mutakamil). “Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara, mengatur masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Karenanya, Islam menolak pandangan dan upaya yang memisahkan antara agama dan politik,” kata Asrorun.

Kedua, hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling melengkapi. Politik dan kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menjamin tegaknya syariat (hirasat al-din) dan terjaminnya urusan dunia (siyasat al-dunya). Politik dalam Islam adalah sarana untuk menegakkan keadilan, sarana amar makruf nahi munkar, dan sarana untuk menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh.

“Agama dan simbol keagamaan tidak boleh hanya dijadikan kedok untuk menarik simpati dan pengaruh dari umat beragama serta untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan semata. Politik juga tidak boleh dipahami hanya sebagai sarana meraih kekuasaan tanpa memperhatikan etika dan moral keagamaan,” tambahnya.

Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibentuk dengan kesepakatan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam dasar bernegara. Dengan demikian, seluruh aktifitas politik kenegaraan harus dibingkai dan sejalan dengan norma agama. Karenanya, setiap upaya memisahkan antara agama dengan politik kenegaraan adalah bertentangan dengan dasar negara dan konsensus bernegara.

Keempat, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama harus dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaidah penuntun, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan. Penyelenggara negara tidak memanfaatkan agama sekedar untuk kepentingan tujuan meraih kekuasaan semata.

Kelima, tempat ibadah bukan hanya untuk kepentingan ritual keagamaan (ibadah mahdah) semata. Ia harus dijadikan sebagai sarana pendidikan dan dakwah Islam, termasuk masalah politik keumatan, bagaimana cara memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan agama, dan bagaimana mengembangkan ekonomi keumatan, bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta bagaimana mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Keenam, dalam prakteknya, arah tujuan politik praktis adalah memperoleh kekuasaan, sementara kekuasaan cenderung korup. Karenanya, praktek politik kekuasaan harus dipandu oleh norma-norma luhur keagamaan agar tidak menghalalkan segala cara. Aktifitas politik yang tidak dijiwai agama akan cenderung melakukan tindakan menyimpang dan menghalalkan segala cara.

Ketujuh, Islam tidak membenarkan praktek politik yang diwarnai oleh intrik, fitnah, dan adu domba untuk mencapai satu tujuan politik, apalagi dengan membawa dan memanipulasi agama, mengatasnamakan agama, dan/atau menggunakan symbol-simbol agama, menjadikan agama hanya sekedar dijadikan sebagai alat propaganda atau hanya untuk memengaruhi massa.

Kedelapan, simbol-simbol agama, atau simbol-simbol budaya yang identik dengan simbol agama tertentu tidak boleh digunakan untuk menipu dan memanipulasi umat beragama agar bersimpati guna mencapai tujuan politik tertentu. Tindakan tersebut bertentangan dengan ajaran agama dan termasuk penodaan agama.

 

 

PH/IslamIndonesia/Sumber: republika, detik

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *