Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 18 February 2014

Daud dan Kritiknya Pada ‘Alim


diepsyche.de

“Sepertinya ada sesuatu yang terjadi dalam hidupku, yang tak bisa aku terima dengan akal dan tak dapat pula kupahami penjelasannya dalam buku-buku.”

 

Daud begitu mencintai ilmu. Hal ini yang membuatnya rajin untuk terus mencari ilmu sekaligus mengomentari apa pun yang ia baca dan ia dengar. Tak peduli, jika yang berkata atau berpendapat merupakan seorang ulama besar sekali pun. Dengan segera, ia akan mencari jawaban atas apa yang tidak ia ketahui dengan pasti. Namun, jika tidak sependapat dengan dirinya, ia pun segera melontarkan kritik pedasnya.

Hingga, pada suatu ketika ia begitu sedih. Jiwanya tergoncang oleh beberapa pendapat yang menurutnya tidak dapat diterima akal. Terlebih, saat ia mendengarkan syair yang dilantunkan seorang nenek tua di suatu waktu, “Pipimu, bagian mana yang mulai busuk? Matamu, bagian mana yang mulai rusak?”

Tak tahan dengan kesedihan itu, Daud pun menemui gurunya, Abu Hanifah.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanya Abu Hanifah.

“Guru, mengapa dunia ini tak menarik lagi bagiku? Aku memandang semua yang kulakukan sia-sia. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi dalam hidupku, yang tak bisa aku terima dengan akal dan tak dapat pula kupahami penjelasannya dalam buku-buku.”

“Jauhilah orang lain,” saran Abu Hanifah.

Maka, Daud pun menjauhi orang lain dan mengasingkan diri di dalam rumahnya. Ia tidak lagi melakukan hobinya itu. Bahkan, untuk sekadar berkunjung menemui gurunya. Ia benar-benar bertekad mengikuti saran gurunya tersebut.

Heran dengan muridnya yang tak lagi berkunjung ke majelis ilmu, Abu Hanifah pun berinisiatif mengunjunginya.

Setelah pintu rumah dibuka, terlihatlah wajah Daud yang begitu musam dengan tubuh kurus.

Abu Hanifah berkata, “Bersembunyi di dalam rumah dan membisu bukanlah solusinya. Duduk di dekat para alim (orang berilmu) dan mendengarkan mereka mengemukakan gagasan baru adalah solusi yang paling tepat bagimu. Dengarkanlah mereka, jangan mengomentari sepatah kata pun, kecuali dalam buku catatanmu. Tuliskan, jika ada pendapat yang tidak sepemikiran denganmu.”

Daud pun menurut. Selama setahun penuh ia lakukan saran sang guru. Duduk di dekat para alim, menjaga lisannya (tanpa sepatah kata pun ia lontarkan) dan menerima penjelasan-penjelasan mereka dengan sabar. Puas hanya dengan mendengar, dan sesekali ia menuliskannya.

Ketika Abu Hanifah kembali  mengunjunginya, Daud berkata, “Kesabaran selama setahun ini sebanding dengan tiga puluh tahun aku kerja keras dalam mencari ilmu.”

——

Fairiduddin Aththar berkisah tentang Abu Sulaiman Daud ibnu Nusair ath Tha’i al Kufah. Ia adalah seorang sufi yang masyhur dan memiliki pengetahuan yang luas. Sebelum akrab dengan dunia tasawwuf bersama bimbingan Habib Ar’rai, ia belajar banyak ilmu dari Abu Hanifah. Konon, ia wafat pada tahun 160 H/777M.

Kisah ini mengajarkan kita tentang kesabaran dalam mencari ilmu. Terkadang, saking semangatnya kita mencari pengetahun, lupa akan tata krama dan kemudian dengan segera berkomentar sesuka hati.

Bukan hanya dalam majelis ilmu yang bersifat pengajaran langsung, tapi juga pencarian ilmu, bisa dilakukan di media sosial—yang dengan mudah orang bicara, berkomentar, mengemukakan pendapat, menentang, mengkritik, yang kadang tanpa melalui pemikiran yang panjang, sehingga bisa menimbulkan berbagai kesalahpahaman bahkan konflik.

Kritik boleh, asalkan dilakukan dengan tetap menjaga etika. Dalam hal ini, Abu Hanifah memberi saran dengan dua pilihan. Dengarkan orang yang berpendapat, dan kemudian tuliskan. Artinya, dalam proses mendengar dan menulis itu, penting bagi setiap insan untuk bersikap hati-hati, tidak mudah menyalahkan, tabayyun, dan sabar dalam mencari kebenaran akan suatu hal, sehingga kita mendapatkan manfaat sebenar-benarnya dalam mencari ilmu, yakni ketenangan batin.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *