Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 24 November 2015

CERPEN – Bedah Jiwa


Oleh: Bint al-Huda

Ikhlas menjadikan Wafa, sahabat seimannya, sebagai penolong dalam memahami kehidupan demi mencapai kesempurnaan. Ikhlas sangat sibuk. Dia tak pernah bisa meninggalkan perusahaan meski sebentar. Untungnya ada Wafa yang selalu siap mendukung dalam kondis-kondisi krisis. Wafa selalu mengingatkan Ikhlas akan tugasnya, jika dia lupa, dan menjadi cermin yang menunjukkan cacat atau kelemahan karakter Ikhlas.

Akhir-akhir ini, Ikhlas merasa gelisah dan tersiksa secara mental. Wafa tidak meneleponmya atau menghadiri rapat kantor.

Tak mau gelisah berlama-lama, dia berusaha mencari kabar Wafa. Tapi gagal. Akhirnya Ikhlas nekat meninggalkan kantor dan datang ke rumah Wafa. Meski terlihat agak pucat, Wafa menyambut Ikhlas sambil tersenyum. Ikhlas menciumnya. “Oh saudaraku sayang. Kenapa kau tidak datang akhir-akhir ini? Kuharap tidak ada masalah.”

Dengan lembut Wafa menjawab, “Tidak ada apa-apa, hanya ada operasi kecil.”

Ikhlas kaget, “Oh sayangku, operasi? Di mana? Kapan? Kenapa?…”

“Ah. Kau bertanya begitu banyak yang tidak bisa dijawab sekaligus. Ok, mari kita jawab pertanyaan pertama, ‘Di mana?'” jawab Wafa tenang. “Jawabannya adalah di sini, di rumah!”

Tanda tanya menyembul di wajah Ikhlas, “Di sini? Di rumah? Siapa dokter yang melakukan operasi? Apa yang sakit? Tapi kau terlihat cukup baik, Alhamdulillah! ”

“Kau banyak bertanya lagi. Ok, aku ikuti gayamu dalam jawabanku. Dokternya diriku dan lukanya tak terlihat.”

Ikhlas mengira Wafa bercanda. “Sejak kapan kau jadi ahli bedah? Kami hanya tahu dirimu sebagai mentor spiritual.”

Tapi raut muka Wafa terlihat serius. “Setiap orang harus jadi ahli bedah sendiri. Orang yang sakit siap menggunakan tenaga dokter untuk menyingkirkan  tumor atau anggota tubuhnya yang membusuk. Kenapa dia melakukannya? Kenapa dia mempertaruhkan nyawanya di tangan orang lain? Tentu saja untuk menyelamatkan diri dari penyakit yang menghancurkan tubuhnya,” tutur Wafa panjang lebar.

“Untuk penyakit spiritual, kasusnya berbeda. Ketika seseorang merasakan sebuah penyakit yang menjauhkannya dari kebahagiaan, maka dia harus melakukan sesuatu untuk menyembuhkan diri sendiri. Bedah dengan cara lain diperlukan di sini. Dia harus jadi dokter bagi diri sendiri. Dengan sarana iman, dia bisa melakukan operasi itu. Dan karenanya, rumah ini jadi rumah sakit. Karena itu, aku serius saat mengatakan penyebab ketidakhadiranku,” Wafa akhirnya menyampaikan inti masalah.

Meski merasa gembira, Ikhlas merasa sedikit cemas. “Bagaimana perasaanmu sekarang saudaraku? Haruskah aku mengucapkan selamat atas pemulihan ini?”

Wafa tidak langsung menjawab, diam beberapa saat. Ikhlas jadi masygul, sulit baginya melihat sahabat dekat menderita penyakit jiwa berbahaya, sampai harus dioperasi. Tapi dia merasa lega saat Wafa bilang, “Kupikir aku sudah baikan.”

“Em…Bagaimana kau tahu kalau jiwamu sudah aman, saudaraku?” tanya Ikhlas penasaran.

“Peristiwa-peristiwa dalam kehidupan membantuku mengenali penyakit dan obatnya. Tidakkah kau melihat peristiwa-peristiwa ini sebagai alat eksperimen untuk mengoperasi kepribadian manusia?” tanya Wafa sambil menatap dalam-dalam wajah sahabatnya itu.

“Hmm…Jadi orang tidak boleh melupakan pisau bedah lain, ya,” simpul Ikhlas.

Wafa mengangguk. “Itu fakta. Pengobatan fisik sama pentingnya dengan pengobatan spiritual.”

Anisa/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *