Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 27 March 2014

Cak Nur di Mata Gus Mis


www.obornews.com

Mengamalkan Pancasila, sesungguhnya kita sedang mengamalkan nilai-nilai ke-Islam-an.

 

Pemikiran Nurcholis Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur memberikan warna tersendiri bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, idenya tentang sekularisasi, kebebasan intelektual, gagasan tentang kemajuan dan sikap terbuka ini sempat membuat geger di berbagai kalangan masyarakat.

Ada yang menolak, mengutuk, mengkafirkan, tapi juga banyak yang terinspirasi. Salah satu aktivis muda saat itu yang terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran Cak Nur ini adalah Zuhairi Misrawi atau yang kini akrab dipanggil Gus Mis.

Usai mengisi acara bedah buku “Cak Nur Islam Kemodernan dan Keindonesiaan”, pada Rabu (26/03) di Aula Universitas Paramadina, Gus Mis bercerita panjang lebar tentang pengalamannya dalam menyelami sosok Cak Nur.

Menurutnya, Cak Nur merupakan sosok sang pembelajar. “Dia itu kan kutu buku. Di dalam mobilnya tidak pernah tidak ada buku. Ia membaca berbagai buku, membaca berbagai agama, berbagai pemikiran.  Itu untuk membangun titik temu, tradisi pemikiran, karakter dan orang-orang yang berbeda dengan kita.”

Saat ditanya bagaimana melihat aktivis saat ini yang lebih suka bersuara di jalan (demo), Gus Mis menjawab, “Memang ini semacam catatan bagi aktivis sekarang, yang tidak memiliki keahlian intelektual,”

“Cak Nur itu meskipun sebagai aktivis, tapi ia seorang pemikir yang hebat. Mahasiswa seharusnya tidak hanya lihai di jalan, tapi juga menghidupkan tradisi diskusi, dialog. Cak Nur itu sosok pemikir yang tidak pernah absen dalam melihat permasalahan bangsa,” lanjutnya.

Gus Mis juga menilai bahwa hubungan Cak Nur dengan non muslim sangat baik, “Ia bertemu dari berbagai aliran pemikiran, kelompok, bersahabat dengan siapa pun,”

Yang menarik, lanjut Gus Mis, “Dulu Paramadina kan tempatnya di pusat pertokoan. Nah, Cak Nur ini membuat konsep yang luar biasa, yakni seperti konsep Nabi Muhammad. Untuk membangun persaudaraan, dibangunlah mushalla. Unik, pada hari Jum’at digunakan untuk shalat jumat. Tapi pada hari-hari lainnya dibuka juga kelas-kelas khusus untuk diskusi dan terbuka untuk semua agama,”

“Cak Nur membuat mushalla itu pada tahun 1990. Dia memberikan seminar, mengadakan dialog antar iman. Cak Nur bersahabat dengan hampir selurur tokoh-tokoh umat beragama. Islam itu menyejukkan. Bisa diterima untuk siapa saja. Cak Nur menunjukkan itu.”

Dalam bedah buku tersebut, ia juga mengaku sudah sejak lama tergila-gila dan terpesona dengan pemikiran-pemikiran hebat Indonesia, seperti Jalaluddin Rahmat, Emha Ainun Nadjib, dan juga Cak Nur.

Gus Mis menganggap ketiga pemikir itu sebagai kampium pemikiran Islam, “Sangat terpesona dengan kampium itu. Biasanya, kalau seminar pembicaranya Cak Nur yang datang sampai ribuan.”

Selain Cak Nur dapat memberikan jalan bagi para kalangan santri untuk keluar dari zona pada umumnya—dengan menjadi kiai, ustad, guru-guru di pesantren, usai lulus dari pesantren, Cak Nur juga mampu menjembatani semua.

“Santri tidak hanya belajar di kampus-kampus berlabel Islam, tapi juga berani masuk kampus-kampus liberal. Ada lintas studi,” katanya.

“Cak Nur itu sanggup menjembatani ketegangan antara agama, politik, dan negara. Cak Nur mampu memberikan pembaruan pada pemikiran Islam dalam konteks politik. Dulu, di dalam pikiran kita, ketika bicara politik atau negara, maka yang terlintas adalah politik Islam, atau negara Islam, atau partai Islam,” jelasnya.

Islam dan negara memang harus dijembatani dengan satu pendekatan baru, Islam boleh kita yakini sebagai agama, tapi politik di satu sisi harus mencerminkan nilai-nilai agama, tapi di sisi lainnya, politik juga punya aturannya tersendiri.

“Di satu sisi Islam sebagai agama yang sempurna, tapi di sisi lain Islam juga menghadapi kemodernan, harus diakui mengalami ketertinggalan yang luar biasa. Kita relatif jumud, terbelakang. Cak Nur lalu  mengatakan bahwa rasionalisme itu mutlak dalam Islam, dalam konteks Islam dan kemodernan itu menjadi kompatibel, yang sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan,”

“Sebagai seorang Muslim Indonesia, jika mau betul-betul mengamalkan Pancasila, sesungguhnya kita sedang mengamalkan nilai-nilai ke-Islam-an. Menjadi seorang muslim, harus menjadi seorang ilmuwan. Islam dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan.”

Gus Mis mengatakan, bukti sebagai pembaharu, Cak Nur tidak hanya lihai berbicara, tapi juga ia membuat karya. Karyanya ini, sangat relevan dengan masyarakat Indonesia.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *