Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 27 December 2016

Cak Nun: Kenal Islam Baru Sebatas Kulit Kok Sombong?


islamindonesia.id – Cak Nun: Kenal Islam Baru Sebatas Kulit Kok Sombong?

 

Dimulai tanggal 22 Desember yang lalu sampai dengan 28 Desember yang akan datang, Cak Nun diagendakan melakukan kunjungan ke tiga negara di Eropa yaitu Jerman, Belgia dan Belanda. Lawatan ini dalam rangka persiapan Cak Nun dan Kiai Kanjeng yang rencananya akan ikut serta memeriahkan Festival Europalia mewakili Indonesia selaku partner country pada tahun 2017. Kunjungan ini terselenggara atas kerja sama antara alumni Gontor di Eropa, PPI Jerman, Belgia, Belanda & Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di luar negeri.

Selama berada di Eropa, Cak Nun beserta rombongan dijadwalkan melakukan perjalanan di lima kota yaitu Hannover, Frankfurt, Brussels, Amsterdam & Den Haag dalam rangka diskusi kebudayaan sekaligus memeriahkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

cak-nun-di-brussel

Dalam salah satu diskusi kebudayaan sekaligus perayaan Maulid Nabi yang diinisiasi oleh PPI Belgia, Keluarga Pengajian Muslimin Indonesia (KPMI) Belgia, PCINU Belgia dan berlangsung di Aula KBRI Brussel, Cak Nun sempat menyoroti perkembangan mutakhir yang terjadi di Tanah Air.

Di hadapan hadirin, salah satunya Dubes RI untuk Brussel Yuri O. Thamrin, Budayawan asal Jombang itu menilai masih adanya kebingungan di tengah masyarakat Muslim Indonesia dalam menghadapi situasi terkini, termasuk adanya kecenderungan atau indikasi penyempitan makna ajaran Islam. Akibatnya, masyarakat Indonesia cenderung gampang menghakimi sesama Muslim yang berbeda pandangan, juga penyikapan keliru terhadap umat beragama lain dengan pemahaman yang dangkal.

Kondisi ini, kata Cak Nun, kian tampak jelas pasca-aksi damai 212 lalu, saat terjadi pengotak-kotakan antara mereka yang ikut atau tidak ikut dalam demonstrasi tersebut. Mereka yang tidak ikut dianggap bukan Muslim atau masuk dalam kelompok Nasionalis, sedangkan mereka yang Nasionalis dianggap bukan Islam.

“Jadi, ada perasaan sentimen ‘kami atau mereka’. Kalau nggak sama dengan kami maka mereka berarti musuh,” ujar Cak Nun dalam diskusi kebudayaan memeriahkan perayaan Maulid Muhammad SAW di Brussel, seperti ditirukan Ketua Keluarga Pengajian Muslimin Indonesia (KPMI) Brussel, Lanang Seputro di London, Senin (26/12/2016).

Perilaku semacam itulah yang juga dinilai berkontribusi terhadap citra masyarakat Muslim dan Islam di mata internasional yang kemudian dianggap terbelakang dan brutal. Padahal Islam menurut Cak Nun, adalah tenaga di pikiran dan cahaya di hati, yang jika dipahami dengan benar dan diterapkan dengan tepat, maka misi utamanya sebagai Rahmatan lil ‘Alamin akan dapat terwujud.

Ada beberapa penyebab yang menurut Cak Nun telah menjadikan Islam dan kaum Muslimin selama ini kerap terkena dampak stigma negatif. Di antaranya adalah soal pemahaman isi atau ‘content’ yang seringkali dilupakan banyak orang. Biasanya, orang-orang semacam itu sudah keburu sombong meski faktanya, pengetahuan keislaman yang dimilikinya baru sebatas kulit. Sementara pada saat yang sama di sisi lain, potret Islam yang dilihat masyarakat Internasional juga kurang pas karena umat Islam sendiri belum sempat memunculkan Islam yang benar, salah satunya, dalam konteks Indonesia.

Pemahaman Islam yang utuh juga tidak sempat berlanjut ketika upaya para Wali Songo tidak sampai berlanjut. Keburu terjadi pertikaian politik yang akhirnya juga mengkotak-kotakkan masyarakat Muslim Indonesia. Selain itu terdapat pemahaman Islam sebagai sekadar budaya dan masyarakat cenderung mengikuti ajaran Islam secara kaku.

“Padahal dalam ajaran Islam yang ada di Al-Qur’an, isinya 3,5 persen itu akidah, dan 96,5 persen adalah ibadah muamalah. Tapi toh kebanyakan masyarakat Muslim sendiri terpaku pada yang 3,5 persen itu dan kadang-kadang tanpa pengetahuan dan pemahaman yang kuat, lalu dengan gampangnya mengharamkan suatu perbuatan. Padahal yang bisa mengharamkan sesuatu adalah Allah,” tambah Cak Nun.

Lebih lanjut Cak Nun mengakui bahwa masih ada sebagian masyarakat Muslim yang memahami Islam itu datang bersama Nabi Muhammad. Padahal sesungguhnya, Islam itu sudah ada sejak Allah menciptakan alam semesta.

Mengutip surah Al Maidah ayat 54, Cak Nun menilai ada penerjemahan yang kurang pas di ayat tersebut. Yaitu terkait frasa “berlakulah adil kepada kaum Muslimin dan bersikap keraslah terhadap umat lain,” yang menurut Cak Nun seharusnya diterjemahkan sebagai “bersikaplah adil kepada kaum Muslimin dan besikap sayang, sorry atau aziz-lah kepada umat lain.” Maksudnya,  sayang atau sorry terhadap umat bukan Islam itu penting karena sesungguhnya Islam adalah untuk seluruh umat dan alam semesta.

Dalam hal mengajak pada kebenaran, seharusnya umat Islam menunjukkan kepada umat lain dengan cara-cara yang baik. Mengajak pada yang benar itu mestinya dengan cara persuasive seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sehingga orang lain akan bersimpati dan senang.

Dubes Yuri O. Thamrin menilai, jika pemikiran Cak Nun ini dipahami masyarakat Internasional, bukan tak mungkin, akan bisa memberikan alternatif pemulihan terhadap citra Islam yang selama ini sudah terlanjur babak-belur.

Sementara Ketua KPMI Brussel yang sekaligus Minister Counsellor Fungsi Politik KBRI Brussel, Lanang Seputro mengakui bahwa secara substansi materi diskusi yang dibahas Cak Nun sangat bagus dan konsisten dengan pemikiran Cak Nun yang dikenalnya selama ini.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *