Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 21 January 2017

Cak Nun: Apa Hebatnya Bangsa Indonesia Mengalahkan Bangsa Indonesia?


islamindonesia.id – Cak Nun: Apa Hebatnya Bangsa Indonesia Mengalahkan Bangsa Indonesia?

 

Menurut KH. Ahmad ‘Gus Mus’ Mustafa Bisri, sebagai bangsa Indonesia yang majemuk kita tak paham sedang diadu-domba, khususnya terkait perselisihan umat Islam Indonesia belakangan ini. Dan jika yang membenturkan adalah orang asing bisa dimaklumi, apalagi sumber daya alam negeri memang menggiurkan.

“Tapi, kalau sesama orang Indonesia yang membenturkan, bagi saya musykil sekali…,” kata Gus Mus.

[Baca juga: WAWANCARA – Gus Mus: Fatwa Kok Dikawal, Dasarnya dari Kitab Apa?]

Secara terpisah, budayawan kondang Emha Ainun Najib mengajak masing-masing kubu yang bertengkar, termasuk “kubu Ahok” dan “kubu Rizieq”, untuk menjaga diri masing-masing. Perbedaan pilihan, pandangan memang lumrah, tapi sejarah juga menunjukkan bahwa perbedaan pandangan dapat dijadikan pemicu perang saudara.

Masing-masing yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya masing-masing. Dan tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempersalahkan pihak yang ini atau yang itu.

“Minimal untuk sementara, ada baiknya menghindari ‘kenikmatan’ menuding “siapa yang salah”,” kata Emha seperti yang ia tulis dalam caknun.com (19/1).

Jika tidak disikapi dengan bijak, bangsa Indonesia kata Emha,  segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri sesaudara.

“Yang saya maksud “puncak eskalasi pertengkaran” adalah segera akan muncul adegan di panggung di mana “yang kuat mengalahkan yang lemah,” katanya.

Hal ini bisa jadi karena kemenangan salah satu pihak di Pengadilan maupun di pemilihan misalnya. Sebelum itu faktor-faktor yang dianggap kontra-produktif terhadap kemenangan itu, mungkin akan dipastikan untuk dipadamkan, ditangkap, dipenjarakan, dibubarkan, diberangus atau dikebiri, minimal dieliminir.

Mungkin yang bisa terjadi adalah letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih mendalam untuk masa depan pertengkaran yang lebih besar.

“Pertanyaan yang muncul adalah: apa hebatnya bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia?” kata penulis produktif yang akrab disapa Cak Nun ini.

Kalau dalam hidup ini memang harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan, “Apakah itu juga berlaku untuk sesama bangsa Indonesia? Itukah makna nilai Bhinneka?”.

Kalau belajar dari filosofi Jawa, lanjut Cak Nun, kegaduhan yang sekarang terjadi adalah “Sopo siro sopo ingsun” (siapa kamu siapa aku, emangnya kamu siapa!). Salah satu outputnya adalah “adigang adigung adiguna” (sok kamu ini, saya lindas!).

Konstelasi dikotomisnya adalah “Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah “Putih melindas Hitam.”

“Persoalannya: masing-masing merasa, yakin, dan memiliki argumentasi bahwa ia adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil, sehingga mendahului untuk memberangus Qabil,” katanya.

Bahwa ia adalah Putih, yang merasa dimakari oleh Hitam, sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang ditumpas juga meyakini bahwa ia adalah “Habil yang dibunuh Qabil” dan “Putih yang diberangus oleh Hitam”.

“Mana Bapa Adam? Mana Ibu Hawa? Habil maupun Qabil adalah putra-putranya sendiri,” jelasnya.

Bagi Cak Nun, Adam Hawa tidak berpikir bahwa Qabil adalah musuhnya, meskipun ia mengancam putranya yang lain. Yang mengancam dan diancam sama-sama anaknya. Adam Hawa mempelajari keduanya dengan sabar.

“Mencari cara agar Habil tidak dibunuh, tetapi cara yang dipilih bukan membunuh Qabil duluan sebelum ia membunuh Habil,” katanya.

Di mata penulis Slilit Sang Kiai ini, positioning Adam adalah berpikir dan bersikap NKRI. Kalau PDIP ada di latar belakang kekuasaan NKRI, maka diri-PDIP adalah diri NKRI.

“PDIP mendayagunakan energinya untuk NKRI, bukan mengeksploitasi NKRI untuk PDIP,” tegasnya.

Pria kelahiran Jombang ini melanjutkan, siapapun saja yang duduk di pemerintahan, dirinya adalah diri-NKRI. Subyek primer di dalam kesadarannya adalah NKRI.

“Maka demikianlah pula berpikir dan bersikap, serta pengambilan keputusan tindakan-tindakannya.”

Cak Nun pun menyampaikan kritik pada pemimpin tertinggi PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri atas pidotanya belum lama ini. Seharusnya, kata Cak Nun, Bu Mega menghindari kosakata politik praktis.

“Tidak perlu menyebut kata “ideologi tertutup”, “makar”, cukup membatasi diri pada kata-kata kasih sayang, pengayoman, ekspresi keIbuan,” katanya.

Yang sedang mengemban amanat di pemerintahan membersihkan hatinya dari paranoia merasa diancam, sehingga tidak menyimpulkan bahwa apa yang tidak sejalan dengan dia adalah musuh.  “Bahwa yang tidak sependapat adalah makar.”

Menurut Cak Nun, pemerintah dan jajarannya dilantik untuk memprimerkan Bhinneka Tunggal Ika, bukan memelihara, mempertajam dan meraya-rayakan Bhinneka.

“Padahal tugasnya adalah mentunggal-ikakan Bhinneka,” katanya.

Belajar dari konflik di Timur Tengah, Gus Mus mengingatkan bahwa jika tak ada minyak, Suriah, Irak dan Libya tak akan bergolak. Meski sebabnya materi, tak sedikit orang meyakini dan terprovokasi bahwa yang terjadi di sana ialah murni konflik sektarian.

“Nah, Indonesia tak hanya punya minyak, tapi ada emas dan macam-macam,” katanya.

Kalau kita tidak waspada,  lanjut Gus Mus, perlahan bangsa ini akan hancur. Karena itu, dalam tulisannya yang teranyar, Cak Nun mengajak masing-masing pihak untuk duduk bersama meski itu tak nyaman.

“Meskipun pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan “siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih untuk menemukan “apa yang salah”. Itu meminta pengorbanan pada harga diri subyektif masing-masing,” kata Cak Nun.

[Baca juga –Cak Nun: Meski Pahit, Diskusikan ‘Apa yang Salah’ Bukan ‘Siapa yang Salah’]

YS/ islam indonesia/ sumber: caknun.com, majalah Tempo

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *