Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 29 January 2014

Cahaya di Kaki Ciwalang


foto:hendijo

Seorang petani miskin mendidik sekaligus menghidupi 130 anak dalam situasi yang serba terbatas. Berangkat dari rasa tak tega melihat ketidakpedulian akan pendidikan di desanya semakin meluas.

 

Senja baru saja memasuki Desa Rabak di Leuwiliang, Bogor, saat riuh anak-anak mengaji bersipongan dari mushola merangkap kobong (tempat tinggal para santri).  Di tengah rintik gerimis yang menombaki kawasan ladang dan pesawahan, beberapa santri perempuan memangku beberapa ikat kangkung untuk makan malam. Sementara tak jauh dari mereka, dua santri laki-laki memanggul tumpukan kayu bakar. “Kayu bakar ini, kami dapatkan di batas hutan,”ujar salah seorang dari kedua santri tersebut seraya menunjuk bukit hijau di belakang mereka yang orang-orang Desa Rabak menyebutnya sebagai Gunung Ciwalang.

Begitulah keseharian yang terjadi di Miftahul Hidayah.  Itu nama pondok pesantren yang didirikan sekaligus dikelola oleh Mohammad Dedi Sukardi alias Ukar, seorang petani asal Desa Rabak.  Bagaimana Ukar  yang hidupnya pas-pasan  bisa “nekat” mendirikan sebuah pesantren  dan menghidupi sekaligus mendidik  santri yang hingga kini jumlahnya sudah mencapai angka 130?

Cerita bermula dari tahun 1993. Saat itu Ukar baru saja menyelesaikan 9 tahun pendidikannya sebagai santri  di Pondok Pesantren   Hidayatul Wildan, Leuwiliang. Saat pulang ke  Desa Rabak, ia menemukan kenyataan banyak anak-anak di desanya tersebut mengalami putus sekolah dan terbengkalai pendidikan agamanya. Ia menjadi terenyuh dan kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah pesantren di Desa Rabak. “Atas doa restu dan bantuan kiyai saya di Hidayatul Wildan, bismillah saya memutuskan untuk mendirikan pesantren Miftahul Hidayah di sini,”ujar lelaki kelahiran Desa Rabak, 10 Juli 1964 itu.

Pucuk dicinta ulam tiba. Begitu Miftahul Huda didirikan, sekitar 50 anak laki-laki langsung terdaftar sebagai santri. Dengan memanfaatkan ruangan rumahnya (saat itu sebagian besar dibuat dari anyaman bambu) yang hanya berukuran 5mx6m, Ukar sendirian memulai proses mengajar. “Kami melakukan kegiatan belajar mengajar dalam situasi saling berdesakan,”kenang Ukar.Tak jarang karena kondisi rumah yang sudah bolong-bolong atap dan gentingnya tersebut, saat hujan datang, para santri harus berjuang membuat penampungan air darurat supaya proses belajar mengajar terus berlangsung.

Ukar tak pernah memungut sepeser pun dari para muridnya. Alih-alih mengambil untung, justru dialah yang saat itu menanggung hidup dan pendidikan anak-anak tersebut. “Saya memiliki sedikit sawah dan ladang yang digarap sendiri. Dari sanalah, uang buku dan bahan makan sehari-hari kami  dapatkan,” kata lelaki yang hanya sempat mengecap pendidikan formalnya sebatas sekolah dasar tersebut.  

Kadang karena panen gagal atau tersedot kebutuhan mendadak, Ukar mengutang sana sini untuk memenuhi kebutuhan rutin tersebut. Prinsipnya, ia tak mau membebani anak-anak didiknya dengan beban sehar-hari. “Bagi saya tugas mereka hanya belajar, urusan kebutuhan rutin itu urusan saya. Saya tak mau mereka tahu soal-soal ini,”ujarnya.

Namun kondisi itu tidak lantas membuat Ukar patah semangat. Pada 1998, seiring dengan semakin menurunnya jumlah santri yang belajar di Miftahul Hidayah, ia lantas memutuskan untuk menambah pesantrennya dengan sekolah setingkat ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Idenya itu lantas didukung oleh beberapa anak muda yang menyatakan diri secara sukarela mau menjadi tenaga pengajar. “Atas bantuan kawan-kawan satu pesantren dulu pula, izin dari Departemen Agama pun kemudian turun,”kata Ukar.

Keberhasilan Ukar mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Hidayah di sebuah desa terpencil menjadi buah bibir orang-orang di Kecamatan Rumpin dan seluruh Leuwiliang. Mereka yang tadinya mencemooh Ukar sebagai “pemimpi” malah berbalik menjadi salut dan kagum atas prestasi tersebut. Tidak cukup di Leuwiliang semata, pamor Ukar dan Miftahul Hidayah-nya ternyata mengundang  minat berbagai media cetak dan elektronik untuk mengangkat kisah perjuangan sang petani tersebut.

“Tiba-tiba saya jadi banyak didatangi wartawan dan diwawancara sama televisi, padahal saya tak pernah gembar-gembor soal cita-cita saya ini. Ya memang ini sudah kuasa Allah”ujar Ukar sambil tertawa.

Bisa jadi kata-kata Ukar itu memang benar adanya. Karena kiprahnya diberitakan di mana-mana, berbagai simpati dan dukungan kemudian berdatangan dari seluruh penjuru. Termasuk dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang menyumbangkan dana sebesar Rp.224.000.000,-, melalui program Kick Andy. “Dana itu saya pergunakan untuk pembangunan ruang kelas, rehabilitasi kobong dan pembelian bangku belajar karena sebelumnya kami menjalankan proses belajar mengajar kan sambil duduk di ubin,” kata suami dari Masna dan ayah dari bocah 5 tahun bernama Alifahman Mutaqin al Awani tersebut.

Tidak hanya berupa uang, para penyumbang pun tak jarang memberikan kebutuhan sehari-hari secara langsung. Seperti yang dilakukan oleh seorang dermawan asal Ciputat, Jakarta yang setiap bulannya menyumbang 3 karung beras.”Tiba-tiba banyak orang-orang yang sebelumnya saya tidak kenal datang ke sini dan membantu kesulitan-kesulitan saya. Ini memang sudah kuasa Allah,”ungkap Ukar. Matanya agak berkaca-kaca.

Kini jumlah santri dan murid Miftahul Hidayah sudah mencapai 130 orang (terdiri dari laki-laki dan perempuan). Kendati situasinya masih jauh dari lengkap, namun setidaknya proses belajar mengajar di Miftahul Hidayah sekarang agak lebih layak dibandingkan awal-awal pendiriannya termasuk dengan kembali berdatangannya beberapa tenaga pengajar muda.

Kendati tidak lagi sendirian, di tengah kesibukannya sebagai seorang petani, Ukar tetap menyempatkan diri untuk mengajar terutama yang terkait dengan materi-materi agama. “Ia tetap seperti Kang Ukar yang kami kenal: sederhana dan kerap memperlakukan kami laiknya anak-anak kandungnya sendiri,”ujar  Tata (18), salah seorang santri Miftahul Huda.

Mochamad Idris (21) menyatakan dalam proses belajar mengajar gurunya tersebut dikenal sebagai pribadi yang sangat telaten. Namun menurut salah satu santri senior itu, Ukar tidak suka para santri dan muridnya belajar sekadar untuk pencerdasan wacana saja. “Kang Ukar itu mau kami mengamalkan apa yang sudah didapat dari pesantren ini, jadi tidak bicara saja,”katanya.

Ukar memang bukan seorang manusia yang lantas berpikir macam-macam saat menemui berbagai kesenangan. Ia tetap memaknai hidup ini sebagai suatu pengabdian yang tak pernah berhenti. Kepada siapa pun ia kerap menyatakan rasa optimisnya mengenai masa depan para santri dan lembaga pendidikan yang tengah digarapnya. “Suatu malam saya bermimpi seberkas cahaya memenuhi  seluruh kaki Gunung Ciwalang. Mudah-mudahan ini menjadi pertanda baik dari Allah  Swt. buat kami,”ujarnya.

Senja baru saja memasuki Desa Rabak di Leuwiliang, Bogor, saat riuh anak-anak mengaji bersipongan dari mushola merangkap kobong.  Di tengah rintik gerimis yang menombaki kawasan ladang dan pesawahan, beberapa santri berseragam Pramuka terlihat tengah melakukan upacara pembukaan Persami (Perkemahan Sabtu Minggu).  Salah seorang santri perempuan yang membacakan  “Dasa Dharma” terdengar tengah menyelesaikan bagian akhir  10 sumpah Pramuka tersebut: “Pramuka itu…Suci dalam pikiran, perkataan serta perbuatan…!”serunya. Ya bisa jadi itulah nama panjang dari “keikhlasan” yang juga kerap diajarkan Ukar, guru mereka.

 

Sumber: Islam Indonesia/ DAAI TV

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *