Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 22 May 2012

Butir-Butir Asmaul Husna di Negeri Kangguru


Oleh Masuki M Astro

Penyair Zawawi Imron menggambarkan kemuliaan seorang ibu dengan amat memukau. Pria asal Madura itu dalam puisinya “Ibu” melukiskan, bila kasih ibu ibarat samudra, maka sempit lautan teduh.

“Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan, namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu,” demikian bait puisi si penyair “Si Celurit Emas” itu.

Ibu, dalam goresan Zawawi adalah sosok ideal seperti yang digambarkan dalam pelajaran-pelajaran moral dan tentu di dalam kitab-kitab suci.

Tidak demikian dengan Ayu, lengkapnya Sri Rahayu. Ia yang juga gemar menulis puisi ini tidak seberuntung anak yang mendapatkan ibu seperti gambaran dalam puisi Zawawi. Ayu justru mendapati ibunya jauh dari tempat sebagai pelepas dahaga jiwa di kala sang anak “haus”.

Maka, muncullah pertanyaan, “Ya Allah, izinkan hamba bertanya, apakah masih ada surga-Mu di telapak kaki seorang ibu yang menjual tubuhnya melalui internet untuk membeli kemewahan?”

Pertanyaan di atas berkecamuk di hati Ayu, saat kali pertama dibawa ibunya, Lidya Adiningsih, ke Dandenong, wilayah sejuk di Australia. Sebuah kota pegunungan yang bertabur bunga tulip karena merupakan tempat komunitas orang Belanda.

Ayu, gadis ranum yang baru lulus SMP dengan cacat kaki karena terserang polio, itu adalah tokoh utama novel Dzikir Jantung Fatimah karya Naning Pranoto.

Bungsu dari dua bersaudara itu telah menjadi korban ambisi sang ibu, Lidya Adiningsih. Sifat Lidya yang konsumtif dan selalu menempatkan diri pada maqom kelas atas telah membawa Ayu ke Australia. Lidya datang ke Negeri Kanguru karena ingin hidup bersama suami barunya, Ernest Brongkost, akrab dipanggil Ernie.

Lidya adalah perempuan karier dan memilih menjadi orangtua tunggal yang kehilangan pegangan setelah perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ia mendapat pesangon ratusan juta, tetapi habis untuk membeli mobil mewah. Belakangan mobil itu hangus dibakar massa saat digunakan oleh anak temannya.

Karena alasan tidak terpenuhinya keserakahan materi, Lidya memilih bercerai dengan ayah Ayu.

Ayu sebetulnya mengikuti ibu dengan terpaksa. Ia tidak setuju dengan sikap Lidya yang memilih suaminya hanya lewat perkenalan di jejaring sosial. Ia tidak ingin terlibat pertengkaran terlalu jauh dengan Lidya sehingga akhirnya mengalah ikut ke Australia.

“Bumi Kanguru adalah negeri lampu,” demikian Lidya menggambarkan negara suaminya itu kepada Ayu.

Lidya mengibaratkan Ayu sebagai kecambah yang masih bertumbuh. Tepatnya kecambah istimewa. Kecambah akan menjadi besar, rindang, dan berbuah lebat jika ditanam di tanah subur. Begitu prinsipnya untuk membesarkan Ayu.

Negeri lampu, tanah subur untuk persemaian sang kecambah. Pada kenyataannya, Ayu belum juga menemukan semua harapan besar ibunya itu.

Apalagi sejak awal kedatangan, ia sudah mencium gelagat aneh. Ernie tidak menjemput istri dan anak tirinya dari bandara. Sampai beberapa hari, Ernie juga tidak menampakkan batang tubuhnya.

Sampai kemudian misteri itu terungkap. Lidya yang pamit keluar untuk beberapa hari hanya dengan surat, muncul di rumah dengan kondisi mengenaskan. Mata kirinya dibalut kain kasa tebal dan pipi kananya bengkak, hitam legam warnanya.

Belum terjawab ke mana sang ibu menghilang, kini Lidya menghidangkan teka-teki baru bagi Ayu. Meskipun berkali-kali didesak, Lidya tak menjawab apa yang sesungguhnya dialami. Kenyataan sebenarnya terjawab setelah Ayu bertemu ayah dari Chia, sahabat barunya. Meskipun baru kenal, Ayu dan Chia sudah seperti sahabat lama.

Ayah Lidya bercerita bahwa Ernie adalah lelaki sinting yang suka menyakiti perempuan pasangannya. Ayu kini yakin bahwa ibunya adalah korban Ernie berikutnya.

Novel dengan alur cerita yang ringan ini banyak memberikan pelajaran tersirat dengan mengambil hikmah-hikmah dari asmaul husna atau 99 nama Allah. Hanya karena berpegang pada asmaul husna itu, Ayu menjadi kuat menghadapai berbagai kenyataan di negeri asing.

Nama-nama Allah, seperti Al Wali (yang Maha Melindungi) atau Al Wakil (yang Maha Memelihara) dan lainnya selalu menjadi cahaya yang menerangi Ayu di dalam kegundahan jiwanya. Maka, “hasta-hasta” Allah muncul lewat sejumlah tokoh, seperti Chia, Marco, dan lainnya, ketika Ayu dalam kesulitan.

Cerita ini berakhir dengan kegembiraan, meskipun tersamar karena Ayu lewat Marco bisa menemukan pekerjaan paruh waktu sebagai perancang busana dan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di sebuah pesantren. Ya, pesantren di negeri kaum Aborigin.

Yang tak kalah menggembirakannya adalah, Ayu mendapati ibunya juga menemukan butir-butir hikmah dari asmaul husna di Negeri Kanguru. Lidya kemudian tertarik untuk bertemu dengan Marco, lelaki keturunan campuran ibu Negro dan ayah Perancis, yang banyak membimbing Ayu.

Hal yang tidak diceritakan dalam novel ini, tetapi memberikan pelajaran bermakna adalah jawaban dari pertanyaan Ayu, “Masih adakah surga di telapak kaki ibunya?” Ternyata surga itu tetap ada.

Naning Pranoto yang menyelesaikan S-2 di Australia serta telah banyak menghasilkan novel dan buku-buku panduan menulis kreatif itu manjawabnya lewat akhir cerita. Seperti apa pun perilaku ibu, tetap ada surga di kakinya buat si anak. Surga itu diwujudkan dengan hadirnya Marco dan penolong lainnya. Pertemuan Ayu dengan mereka adalah bagian dari asa dan “doa-doa” dari Lidya untuk Ayu.

Bukankah hadis Nabi Muhammad itu hanya berbunyi, “Surga itu berada di telapak kaki ibu?” Nabi tidak bersabda,”Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu yang baik-baik.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *