Satu Islam Untuk Semua

Monday, 20 January 2014

Bukan I.T.B. Biasa


androidspin.com

AKRONIM ITB ternyata tak hanya bisa mengacu kepada perguruan tinggi beken Institut Teknologi Bandung yang sudah dikenal publik selama ini. Itu lazim adanya. Yang luar biasa adalah jika akronim itu cocok juga untuk menggambarkan gejala paling hype di tanah air pekan ini: Instagram, Tustel, Banjir. Kok bisa? Bagi yang tak sempat mengikuti berita, inilah ikhtisarnya.

Dalam sambutan pembukaan rapat paripurna Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) di Istana Negara, Kamis 16 Januari, Hj. Kristiani Herrawati yang populer dipanggil Ani Yudhoyono,  membuka pepat hatinya. “Saya jengkel ada yang menulis, “Ibu ini lagi banjir, kok main Instagram?” ujarnya separuh curcol, curhat colongan,  istilah yang kini marak digunakan anak muda. Debar jantung peserta SIKIB sontak bergemuruh lebih cepat dari geliung arus air Bendungan Katulampa yang tak tertahan menyerbu ibukota.

Ihwal Ibu Negara gemar menggunakan aplikasi Instagram, sebenarnya sudah menjadi pengetahuan bersama. Yang istimewa, kali ini Nyonya Presiden khusus menyampaikan di sebuah rapat istri menteri kabinet tentang kejadian dua hari sebelumnya ketika muncul sebuah komentar yang membuatnya gusar. “Itu kan hari libur (Maulid Nabi, 14 Januari – red). Jadi saya jawab, ‘Ibu Jokowi dan Ibu Ahok ke mana ya? Kok saya yang dimarahi?” lanjut putri Letjen (Purn.) Sarwo Edhi Wibowo tersebut.

Belakangan terungkap, sang komentator adalah seorang siswa SMA, yang pasti akibat belum memahami psikologi ibu pejabat, tak bisa menyampaikan inti pikirannya dengan lebih lembut lagi seperti, “Maaf bu, sekarang sedang banjir di mana-mana, apakah sudah ada rencana ibu untuk turun langsung ke lokasi membantu rakyat?”

Yeah, namanya juga anak SMA yang masih ceplas ceplos. Jika komentar itu dilihat lebih tenang, boleh jadi yang terasa justru gurihnya komunikasi karena cara sang siswa yang seakan-akan sedang ngobrol langsung dengan ibunya sendiri. Tidak tersekat dalam formalisasi bahasa.

Apalagi menyangkut banjir, yang salah satu penyebabnya tak lain dari tingginya curah hujan. Allah Sang Pemilik Ilmu telah berbaik hati meminjamkan sedikit informasiNya mengenai hujan seperti dalam firman, “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisiNya terletak ilmu tentang Kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan … “ (QS 31:34), melalui para pakar di Badan Meteorologi dan Geofisika. Karena itu jika persiapan infrastruktur dikerjakan oleh Gubernur, Wakil dan aparatnya, dengan dukungan doa dari “Ibu Jokowi” dan “Ibu Ahok”, betapa sangat melegakan jika melihat Ibu Negara yang mengayomi seluruh bangsa membantu dari mental-spiritual, meski hanya dengan menjabat tangan beberapa korban banjir dan menenangkan beban mereka dengan senyum tulus dari sanubari.

Belum lindap urusan “Banjir dan Instagram”, sehari kemudian muncul komentar lain membuat gusar Ani Yudhoyono. Sang follower bertanya apakah foto-foto yang tersaji di Instagram itu “berasal dari kamera pribadi atau milik negara?” Pertanyaan itu langsung ‘diskak mat’ Ibu Negara dengan jawaban yang mungkin membuat menyesal sang penanya. ”Pertanyaan Anda agak keterlaluan, tapi akan saya jawab biar gamblang. Yang dipakai oleh biro pers, kemungkinan punya negara. Kalau yang dipakai saya tentu milik pribadi. Ingat jauh sebelum jadi Ibu Negara, pada tahun 1976 saya mendapat hadiah perkawinan sebuah tustel dari ortu. Paham?”

Ada bagusnya jawaban Ibu Negara, terutama mengingat generasi sekarang hanya mengenal istilah kamera (dari SLR/DSLR sampai web camera). Padahal di negeri ini pernah sangat akrab sebuah kata serapan dari bahasa Belanda yang terdengar begitu romantis: toestel — kata yang kini ikut tergusur oleh banjir Amerikanisasi istilah dalam lanskap bahasa Indonesia.

Sayang saya tak punya akses ke rapat paripurna SIKIB. Seandainya ada, saya membayangkan ada dialog imajiner antara Ibu Negara dengan para ibu menteri seperti ini.

Ibu Negara:  “Tolong Ibu Menteri A dan B mengunjungi korban banjir di Manado. Ibu Menteri C dan D menyambangi korban banjir di Bandung. Ibu Menteri E dan F ke Jambi dan Padang. Ibu Menteri G dan H datang menghampiri 27 ribu pengungsi Gunung Sinabung. Nanti teknisnya dibantu Setneg. Pokoknya semua ibu menteri jangan ada yang tinggal di rumah, kini berpencar membantu mengurangi beban rakyat.”

Ibu Menteri A: “Saya setuju, Bu. Maaf, boleh tahu rencana ibu sendiri bagaimana?”

Ibu Negara: “Saya akan ke semua wilayah itu meski hanya sebentar-sebentar, untuk mengambil foto para korban dan pengungsi  dengan tustel saya dan menguploadnya di Instagram.”

Ibu Menteri B: “Instagram? Nanti ada yang nyinyir dan memprotes ibu lagi, bagaimana?”

Ibu Negara (tersenyum): “Instagram itu hanya awal. Saya akan siapkan pameran foto bencana awal 2014 secara besar-besaran untuk fund raising. Mumpung saya masih jadi Ibu Negara, setiap helai foto yang saya ambil dengan tustel pribadi itu akan saya tanda tangani. Kalau perlu harga foto ditentukan oleh balai lelang internasional, dan semua hasilnya kelak akan disumbangkan bagi program pemulihan korban banjir dan pengungsi Sinabung. Para istri Duta Besar negara sahabat di Jakarta akan kita jadikan partner, dan para istri Duta Besar RI di negara sahabat akan menjadi co-host untuk menggelar pameran di KBRI dan KJRI masing-masing. Sekali lagi, seluruh hasil penjualan pameran foto akan diserahkan untuk meringankan beban para korban, rakyat yang kita cintai sepenuh hati. Paham?”

Ibu-ibu menteri lain bertepuk tangan dan memasang muka secerah mentari pagi  saat mengecup kuntum melati. “Saya setuju Bu, itu namanya Indonesia Tambah Bersatu,” ujar seorang hadirin. “Disingkat I.T.B.”

“Inisiatif Tanpa Batas,” sambar ibu menteri lain.

“Ibu Tambah Bijaksana,” celoteh peserta rapat lainnya lagi, disambut aplaus riuh di dalam ruangan.

“Tetapi Bu,” seorang ibu menteri mengangkat tangan, menginterupsi, “mengapa sebagai Ibu Negara ibu mau repot-repot mengurusi korban bencana padahal hanya beberapa bulan lagi ibu akan kehilangan kekuasaan? Mengapa tidak memilih cara aman saja, yakni dengan membiarkan pemerintah daerah masing-masing yang bekerja?”

Pertanyaan tak terduga itu langsung membuat seisi ruangan kembali senyap. Degup jantung mereka kali ini bahkan lebih cepat dari arus air yang sudah tak bisa dijaga Bendungan Katulampa. Mereka khawatir Ibu Negara akan marah mendengar pertanyaan kurang ajar itu.

Di luar dugaan, Ibu Negara justru tersenyum indah. Manis sekali. “Betul sekali bahwa sebentar lagi status saya sudah tak menjadi istri presiden,” katanya dengan nada lemah lembut yang sangat menenangkan hati peserta rapat. “Tapi ingat, jauh sebelum menjadi Ibu Negara, saya sudah menjadi anak prajurit, lalu saya menjadi istri prajurit. Jadi dua status istimewa itu melekat pada diri saya, dua status yang hanya sedikit dimiliki oleh perempuan negeri ini. Sebagai anak prajurit, ayah saya selalu mengingatkan bahwa akar kami adalah rakyat. Kami hidup berkat pengorbanan rakyat. Sebagai istri prajurit, suami saya selalu mengingatkan bahwa akar kami adalah rakyat. Kami sejahtera berkat pengorbanan rakyat. Jadi kini saat rakyat sedang berada dalam salah satu puncak beban terberat dalam hidup mereka, bukankah sudah sepantasnya saya yang berkorban mati-matian untuk mereka. Paham?”

Kali ini seluruh ibu menteri mengambil sapu tangan dan tisu terdekat, menyeka bulir air mata yang menyelinap muncul di sudut mata masing-masing. Terbayang di mata mereka bagaimana kelompok renta, para bayi yang baru lahir, dan berbagai kelompok masyarakat lain yang dirajam dingin hujan di tempat penampungan sementara dengan kondisi listrik mati, dan suasana semrawut tempat puluhan ribu pengungsi gunung Sinabung yang masih terus terbatuk melahirkan erupsi tanpa henti.

“Mari kita jadikan Instagram dan tustel sebagai sarana mengurangi penderitaan rakyat,” ujar Ibu Negara memecah keharuan, sembari mengacungkan tangannya sepenuh semangat. “Dengan bersatu, pasti bisa! Kalau seluruh ibu menteri bergerak, seluruh negeri akan bergerak. Dan kita akan merasakan nikmatnya perasaan sebagai satu bangsa, satu tanah air.”

“Iya, Bu, setuju, setuju,” sahut para ibu menteri bersahut-sahutan dengan semangat baru membuncah di dada: bahwa meski para suami mereka yang memegang jabatan strategis, namun peran mereka sebagai perempuan-perempuan utama negeri ini bisa menghasilkan pengaruh yang lebih dahsyat bagi pembangunan, sembari tetap bersimpuh tulus melakukan semuanya demi keridhaan Tuhan. []

 

*Akmal Nasery Basral adalah sosiolog, penulis sejumlah novel historis seperti Sang Pencerah (Fiksi Utama Terbaik Islamic Book Fair 2011), Presiden Prawiranegara (tentang Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI) dan Tadarus Cinta Buya Pujangga (tentang Buya Hamka). Penulis pernah berkhidmat di majalah berita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *