Satu Islam Untuk Semua

Friday, 28 March 2014

Bom Waktu Masa Depan


www.bincangedukasi.com

Pembunuhan mahasiswi Ade Sara (19 tahun) oleh pasangan sejoli Hafitd dan Assyifa yang tak lain bekas pacar dan sahabat korban saat masih di sebuah SMA di Jakarta, mendadak menjadi pembicaraan utama di seluruh negeri. Apalagi modus pembunuhan begitu sadistis: korban lebih dulu disetrum di dalam mobil milik Hafitd, ditelanjangi, lalu mulutnya disumpal koran sehingga tersedak tak bisa bernapas, dan setelah menjadi mayat, dibawa berkeliling kota selama 20 jam sebelum dibuang di pinggiran jalan tol di kawasan Bekasi. Beragam penjelasan teoritis segera muncul dari banyak kalangan. Namun komentar yang paling membetot perhatian saya datang dari dr. Utami Roesli, dokter anak yang juga Ketua Pembina Sentra Laktasi Indonesia.

Cucu pujangga Marah Roesli itu menyatakan ingin sekali bertemu dengan orang tua H dan A. “Saya ingin bertanya kepada orang tua mereka, berapa lama anak-anak disusui?” katanya menjawab pertanyaan wartawan pada workshop ‘Keajaiban ASI dan Efek Samping Pemberian Susu Formula Pada Bayi Ditinjau dari Sisi Medis dan Hukum Syariah’ di RS Kemang Medical Care, 9 Maret 2014. “Soalnya nama Hafitd dan Assyifa sudah sangat bagus, Islami, tetapi kok kelakuan mereka begitu?”

Utami lalu mengutip riset Wendi H. Oddy, PhD, pakar nutrisi Australia yang melakukan penelitian terhadap 2900 ibu hamil dan memantau perkembangan anak-anak mereka sampai berusia 14 tahun. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Journal Pediatric (Oktober 2009) itu menunjukkan adanya korelasi yang sangat kuat antara lamanya menyusu seorang anak dengan perkembangan mental pada usia 2, 6, 8, 10 dan 14 tahun.

Semakin lama seorang anak mendapatkan pasokan ASI, semakin besar peluang untuk terbebas dari gangguan mental seperti menarik diri dari pergaulan, gelisah, gangguan cara berpikir, perilaku menyimpang, autisme, serta tingkah laku agresif. “Itu penelitian yang lama sekali dengan sampel banyak. Bagaimana kita nggak mau percaya dengan hasil penelitian itu?” ujar Utami Roesli.

Kesadaran terhadap pentingnya ASI bagi pembentukan karakter anak memang terlihat semakin mengglobal belakangan ini. Berbagai Gerakan Laktasi di tingkat regional, nasional, sampai provinsi bermunculan menyusul rekomendasi WHO tentang ASI Eksklusif 6 bulan, yakni agar bayi mendapatkan susu ibunya tanpa campuran susu formula selama satu semester awal kehidupannya. Salah satu penelitian terbaru yang dipublikasikan Brown University juga menunjukkan hasil serupa: adanya perbedaan perkembangan otak sebesar 20-30 persen antara anak yang murni mendapatkan ASI, dengan anak yang mendapatkan asupan kombinasi (ASI + susu formula), apalagi yang hanya mengandalkan penuh susu formula. Rangkuman penelitian lebih jauh bisa dibaca pada tautan ini: http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://news.brown.edu/pressreleases/2013/06/breastfeeding

Hasil penelitian Dr. Leda Chatzi dari University of Crete, Yunani, yang dilansir kantor berita Reuters di akhir tahun 2013 memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya dengan menunjukkan hasil bahwa bayi-bayi yang mendapat ASI Eksklusif, pada umur 18 bulan menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan kognitif, komunikasi reseptif, dan kelincahan motorik dibandingkan bayi yang tak mendapatkan ASI Eksklusif. Informasi lebih jauh tentang ini bisa disimak pada laman berikut: http://www.reuters.com/article/2013/12/25/us-breast-feeding-idUSBRE9BO08920131225

Di tengah eforia global “berikan anak manusia susu manusia bukan susu sapi” ini terselip kenyataan yang menyedihkan di kalangan muslim. Sebab meski ajaran Islam sudah mengamanahkan agar para bayi disusui dan disapih pada usia dua tahun seperti dalam QS 2:233:

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (men-derita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apa-bila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. 

Atau dalam QS 31:14:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Namun dalam kenyataannya seperti jauh panggang dari api. Ketegasan redaksional firman Allah yang menyebutkan secara spesifik “dua tahun” itu seakan tak berbekas di masyarakat. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan (2008) menunjukkan bahwa rata-rata ibu hanya menyusui bayi mereka dengan ASI Eksklusif hanya selama dua bulan. Sementara yang memberikan ASI Eksklusif 6 bulan hanya 14 persen, yang berarti 86 persen bayi Indonesia di era digital ini tak pernah mencicipi ASI Eksklusif selama 6 bulan. Dengan kata lain, praktis tak ada bayi yang “lulus” ASI Eksklusif 2 tahun, sesuatu yang sudah diajarkan Islam sejak 14 abad silam.

Data di atas hanya beranjak sedikit berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2012 yang menunjukkan “alumnus” ASI Eksklusif 6 bulan adalah 15,3 persen. Jika kedua data di atas bisa diterima, berarti hanya 15 orang dari 100 ibu yang menyusukan anaknya dengan ASI Eksklusif. Itu pun untuk periode 6 bulan, alias seperempat dari waktu yang difirmankan Allah. Menjadi lebih tragis lagi jika rendahnya angka itu dikontraskan dengan status Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbanyak di dunia.

Rendahnya angka ASI Eksklusif di Indonesia — bahkan dibandingkan para ibu di Amerika Serikat yang masih menunjukkan angka 30 persen untuk ASI Eksklusif 4 bulan menurut penelitian Dr. Chatzi – disebabkan oleh berbagai faktor.  Dr. Yesi Elsandra motor Sumbar Peduli ASI menyatakan sedikitnya ada 6 penyebab yakni (1) Belum sampai ilmu tentang betapa pentingnya ASI Eksklusif kepada para ibu, (2) Ibu kembali bekerja, (3) Kurangnya motivasi dari keluarga terutama suami, (4) Gencarnya iklan susu formula, (5) Kurangnya dukungan sekitar dan tenaga kesehatan, serta (6) Sang ibu merasa ASI yang dimilikinya kurang memadai. Khusus untuk penyebab terakhir, sesungguhnya hal itu lebih merupakan perasaan subyektif sang ibu karena data yang lebih realistik menunjukkan hanya 1 dari 1000 orang ibu yang betul-betul memiliki jumlah ASI yang kurang memadai. Dan masalah ini pun jika dikonsultasikan kepada konselor laktasi sesungguhnya bisa diatasi.

Yesi sendiri menggapai gelar doktornya tanpa melepaskan kesempatan memberikan ASI Eksklusif 2 tahun kepada kedua buah hatinya yang lahir pada Mei 2006 dan September 2007 dengan pola ASI Tandem, tersebab jarak umur kedua anak yang begitu rapat. Sama sekali bukan hal yang mudah untuk menuntaskan pendidikan di tingkat doktoral sambil menangani dua bayi yang “bergelayutan” setiap saat. “Kalau pun waktu itu harus memilih, saya akan korbankan kuliah karena masih bisa dikejar tahun berikutnya, sedangkan masa golden age anak-anak tak kan pernah kembali lagi sehingga harus saya manfaatkan sebaik-baiknya,” katanya.

Dengan melihat paparan sepintas seluruh data di atas, maka mahfumlah kita mengapa dr. Utami Rusli menautkan problem kriminalitas remaja (bukan kenakalan remaja lagi) saat ini dengan asumsi masa menyusui pelaku kejahatan yang sangat mungkin tak memadai di masa mereka kecil dulu. Sehingga dengan begitu sesungguhnya sepasang sejoli remaja H dan A itu pun adalah korban dari kurang pahamnya keluarga masing-masing, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tentang peran penting dua tahun pertama kehidupan seorang anak yang sangat ditentukan oleh ASI Eksklusif.

Sudah saatnya setiap keluarga muslim, sebagai umat mayoritas di Indonesia, memprakarsai gairah baru sebagai teladan ASI Eksklusif ini. Sebab kalau kondisi ini tak segera diperbaiki, sebuah ‘bom waktu’ sejatinya sedang mengintai masa depan generasi yang akan tampil di pentas publik 25-30 tahun ke depan. Seluruh elemen masyarakat harus segera bergerak sesuai kapasitas masing-masing, terutama mengingatkan anak-cucu yang akan segera menikah atau melahirkan, menyangkut pentingnya ASI Eksklusif bagi menyiapkan generasi baru yang lebih baik dalam segala hal dibandingkan para pendahulu mereka.

 

*Akmal Nasery Basral, novelis, cerpenis, kolumnis, pengajar mata kuliah Penulisan Fiksi di Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia (ALINEA), Ikapi Pusat. Akun Twitter: @akmal_n_basral.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *