Satu Islam Untuk Semua

Monday, 30 December 2013

Bisnis Antik Kaum Santri


Enjah, salah seorang pengrajin Lampu Gentur (foto: Tatan Agus RST)

Hasil karya mereka menyebar sampai ke luar negeri. Diminati turis dengan harga tinggi. Tapi mengapa kemiskinan seolah tak mau beranjak dari sisi mereka? 

Perkampungan itu bisa disebut sebagai kawasan miskin. Jalan utamanya penuh liku dan berbatu.Di kanan-kiri, pemandangan lepas sawah kering bersanding dengan deretan rumah sangat sederhana.Di sebuah warung kecil, dua lelaki muda bersarung tengah mengobrol sambil merokok. Sesekali tawa mereka pecah, ditimpali riuh suara para bocah mengaji dari sebuah madrasah di dekat jalan utama.
Kampung Gentur—terletak di Desa Jambudipa,Kabupaten Cianjur—setiap hari memang tak lepas dari suasana religi. Itu disebabkan, sejak dahulu Gentur dikenal sebagai kawasan santri dan pusat salah satu tarekat besar di Cianjur.Tak heran, hingga kini, tempat itu telah melahirkan ratusan ajeungan (kiyai) yang tersebar hampir di seluruh Jawa Barat, Banten dan Jakarta.

Namun Gentur juga dikenal sebagai tempat asal pembuatan Lampu Gentur (LG). Itu sejenis lampu hias yang terbuat dari kuningan dan kaca berwarna klasik. Bentuknya selain unik dan indah juga antik. Hal itu wajar, karena pembuatan sebagian produk LG diilhami dari berbagai bentuk lampu hias Belanda era abad 19. Salah satunya adalah lampu penerang yang biasa dipakai untuk sado (sejenis bendi khas Cianjur yang ditarik oleh seekor kuda).

Menurut Enjah Komaruddin, produksi LG sudah berlangsung selama 4 generasi. Pionirnya adalah para santri Pesantren Gentur generasi tahun 1920-an, yang berinsiatif meniru alat penerang tersebut dari bentuk lampu yang dipasang di rumah-rumah orang Belanda. Selain itu, LG sendiri dibuat oleh para santri karena kebutuhan mereka akan alat penerangan saat belajar.

“Waktu itu kan belum ada listrik,”ujar lelaki yang sudah 20 tahun berkiprah sebagai pengrajin LG tersebut.
Lambat laun bayak orang luar yang tertarik dengan LG. Permintaan pun meningkat. Karena alasan itu, maka produksi LG kemudian dilebarkan bukan hanya oleh para santri, tapi juga warga kampung ikut terlibat. Hingga kini ada sekitar 60 pengrajin LG di Gentur. Tiap bulan mereka menghasilkan sekitar 500 lampu yang lantas dilempar ke pasar-pasar seni di Jakarta, Bali, Bandung, Puncak dan Surabaya.

Dari tempat-tempat itu, LG menyebar ke berbagai daerah dan negara. Selain orang Indonesia, para turis mancanegara pun banyak yang meminati LG. Enjah menyebut para turis itu berasal dari Amerika Serikat, Australia, Rusia, Tunisia, Jepang, Taiwan, Jerman dan Belgia. “Mereka biasanya mendapatkan LG saat berlibur di Bali,”kata kelahiran Cianjur 51 tahun silam itu.

Sayang, di tempat asalnya sendiri, produksi LG terkesan mengap-mengap. Selain faktor minimnya modal, perhatian dari pemerintah daerah setempat juga terkesan tidak maksimal.Tak heran, jika kemudian bisnis LG banyak dimasuki para tengkulak dan pengijon.Mereka yang memiliki modal besar itu, secara sepihak menentukan harga sendiri saat membeli dari pengrajin. “Padahal saat dilempar ke pasaran harganya bisa sampai 10 kali lipat,”ujar Enjah. Nada nelangsa campur jengkel terpancar dari suaranya.

Enjah memang tidak berdusta. Di Gentur, para tengkulak alias pengijon bisa mendapat LG dari harga 50 ribu – 200 ribu rupiah. Bahkan kadang-kadang bisa jauh lebih murah. Namun begitu sampai di Bali, harga LG bisa membengkak hingga angka jutaan. Seorang kawan saya pernah membeli LG di Denpasar seharga 1,7 juta rupiah!

“Ya kita mah cuma bisa bengong aja kalau lihat para tengkulak dan pengijon itu tiap kesini gonta-ganti mobil,”ujar Enjah sambil mematri sebuah lampu bercorak biru. Buliran peluh membasahi dahinya yang menghitam. Beberapa diantaranya menetes, jatuh ke serpihan kaca warna-warni bercorak antik yang menggeletak begitu saja di bale-bale bambu.

Lalu kenapa mereka terkesan pasrah dan tidak mau melawan terhadap kesewenang-wenangan itu? “Atuh kumaha, nya? Apan saya teh dikejar kebutuhan dapur. Kalau kami melawan, anak-anak dapat makannya dari mana?”

Ya, Enjah dan kawan-kawannya memang tak sepenuhnya patut disalahkan. Mereka miskin dan tak memiliki kekuatan apa-apa. Bahkan tak jarang untuk beli seliter-dua liter beras, Enjah harus pergi ke Puncak. Tujuannya tak lain menjual satu atau dua karyanya dengan harga yang jauh di bawah wajar. “Ya, gimana lagi? Terpaksalah hidup begini,”keluh ayah dari 5 anak itu.

Senja sebentar lagi singgah di Kampung Gentur, saat kami berkemas untuk pulang. Di pintu halaman, saat mengantarkan kami memasuki mobil, Enjah berkata: “Saya berdoa semoga dengan ditulisnya berita ini, ada orang kaya yang baik di Jakarta yang mau memodali kami,”katanya penuh harap.

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *