Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 22 May 2014

Bilal dan Pelajaran Bagi Kita


foto:ilustrasi

Bilal bin Rabah atau dikenali juga sebagai Bilal Habashi dilahirkan di Kota Makkah sekitar tahun 43 sebelum Hijriah. Bilal r.a dibesarkan di Kota Makkah sebagai seorang anak yatim Bani Abdul Dar yang berada di bawah asuhan  Umaiyyah bin Khalaf. Ibu beliau bernama Hamama yang berketurunan Abasyiah, sementara ayah beliau bernama Rabah yang berketurunan Arab.

Setelah Rasulullah Saw. diangkat menjadi Nabi dengan membawa risalah Islam, Bilal adalah orang yang termasuk paling awal memeluk Islam. Beliau memeluk Islam di Syam dengan bantuan seorang sahabatnya yaitu al-Fadhil. Ketika beliau memeluk Islam, hanya terdapat beberapa orang saja yang memeluk Islam di atas muka bumi ini yaitu Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar As-Siddiq, Ali bin Abi Talib, Ammar bin Yasir serta ibunya Sumaiyyah, Suhaib Ar-Rumi dan Al-Miqdad bin Al-Aswad.

Penganut Islam generasi pertama mendapat tantangan yang begitu kuat. Tidak sedikit mereka mendapat perlakuan kasar dan cenderung menyiksa, seperti yang dilakukan Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Bentuk siksanya sangat sadis. Di antaranya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Makkah berubah menjadi “perapian” yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Nabi Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!” Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Makkah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Melihat penderitaan yang sangat menyakitkan dalam mempertahankan komitmennya memegang ajaran Islam, akhirnya Abu Bakar r.a memerdekakan Bilal dengan membelinya dari Umaiyyah bin Khalaf dengan harga 9 tahil emas. Umaiyyah bin Khalaf sengaja menjualnya dengan harga yang mahal supaya Abu Bakar tidak mau membelinya sedangkan di dalam hati dia berkata: “Sekiranya Abu Bakar tidak mau membelinya dengan harga tersebut, aku tetap akan  menjualnya walaupun dengan harga 1 tahil emas.” Sebaliknya, Abu Bakar juga berkata di dalam hatinya: “Sekiranya dia tidak mau menjual dengan harga tersebut, aku tetap akan  membelinya walaupun dengan harga 100 tahil emas.”

Bilal bin Rabah r.a merasa gembira dengan pembebasan tersebut, karena dengan demikian dia akan lebih leluasa menikmati kehidupan baru sebagai seorang muslim. Beberapa saat setelah pembebasan, Bilal hijrah ke Madinah bersama-sama dengan rombongan umat Islam yang berhijrah ke sana.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Saw. menaklukkan kota Makkah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Saw.

Pernah suatu ketika, saat waktu zuhur tiba, ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Saw., termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Kemunculan tokoh Bilal dalam sejarah lahirnya Islam, menurut banyak ulama merupakan kehendak Ilahi yang ingin menjadikan “bahan” atau contoh bagaimana sebuah komitmen tauhid harus dipegang. Siksaan, caci-maki hanya menjadi “bumbu” perjuangan menegakkan suatu yang diyakini benar.

Ada sejumlah pelajaran yang bisa diambil dari kemunculan tokoh Bilal. Pertama, Posisi Bilal yang sebagai budak dan akhirnya masuk Islam menegaskan bahwa siapapun orangnya, apapun jabatannya tidak bisa menolak dari nilai kebenaram yang akhirnya sampai ke telinganya. Bilal yang mempercayai Islam sebagai kebenaran yang hakiki dan tidak bisa ditawar-tawarl lagi.

Pelajaran kedua,  Bilal menjadi representasi (perwakilan)  bukan hanya soal latar belakang status atau kedudukan, Bilal yang secara fisik –menurut ukuran manusia—tidak menarik; hitam legam, kotor, dekil dan kusam menjadi isyarat bahwa Islam bukan hanya untuk golongan tampan dengan kulitnya yang putih, namun juga untuk semua warna kulit. Tidak ada batasan atau ukuran fisik dan duniawi bagi siapapun yang ingin mencintai Sang Khaliq, Allah Swt.

Ketiga, pembebasan Bilal oleh Abu Bakar ra, menjadi bukti, betapa keyakinan akan ajaran Muhammad Saw., juga harus diperjuangkan oleh mereka yang tergolong mampu (kaya). Ini menjadi semacam “lecut” bagi mereka yang diberi rejeki lebih agar tidak ragu-ragu atau pelit dalam beramal dan berdakwah.

Bilal bin Rabah meninggal dunia setelah beliau mengalami sakit parah di mana pada hari-hari tersebut beliau sering menyebut: “Besok kita akan bertemu dengan para kekasih Muhammad dan sahabat baginda.” Semoga Allah meridhoi beliau dan membalas segala jasa yang telah beliau berikan kepada Islam dengan balasan yang baik. Aamiin. [sutono]

 

Penulis adalah jurnalis dan peminat kajian sejarah peradaban Islam.
Untuk berdiskusi bisa melalui @sutononet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *