Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 20 February 2014

Bernyanyi Meniti Jalan Damai


jerusalemyouthchorus.org

Gagasan itu muncul di benak Micah Hendler saat ia yang masih remaja ketika itu mengikuti kemah dengan peserta yang berasal dari berbagai agama.

Apa yang kira-kira akan terjadi kalau dia membentuk kelompok paduan suara yang beranggotakan anak-anak SMA warga Jerusalem, baik yang keturunan Israel maupun Arab? Tidakkah selain bicara musik, kelompok paduan suara seperti ini bisa membicarakan perdamaian juga?

Maka dua tahun lalu, pemuda 24 tahun yang lahir di Maryland itu pindah ke Jerusalem dan mewujudkan gagasannya. Ia tahu upayanya tak akan mudah. Banyak kegiatan-kegiatan perdamaian yang lahir di Jerusalem hanya tinggal nama karena terganggu konflik politik Palestina-Israel.

Namun Micah adalah lulusan sekolah musik dan international studies, ia juga naggota paduan suara terkenal Yale Whiffenpoofs, dan menjadi konduktor sejumlah ensemble, termasuk Duke’s Men of Yale, serta anggota sebuah kelompok a cappella. Bahkan saat SMA dia menjadi murid Ysaye Barnwell, seorang komposer perempuan kulit hitam yang berhasil mengajarkan lagu-lagu keadilan sosial kepada para penyanyi yang sama sekali tak terlatih. Micah berencana menggunakan teknik gurunya itu.

Yang pertama dilakukannya adalah menghubungi sejumlah sekolah di Jerusalem. Ternyata banyak di antara mereka enggan berpartisipasi. “Saya masuk dari satu kelas ke kelas lain, melakukan presentrasi dalam Bahasa Ibrani maupun Bahasa Arab, berusaha menunjukkan paduan suara sebagai sesuatu yang paling keren di dunia,” kenang Micah.

Akhirnya 80 siswa bersedia mengikuti audisi dan 30 di antaranya terpilih. Kriterianya: memiliki bakat musik, namun juga sikap terbuka terhadap berbagai pemikiran serta pandangan baru. Maka terbentuklah YMCA Jerusalem Youth Chorus.

Paduan suara ini bertujuan menciptakan para pemimpin muda yang toleran. Mereka membangun markas di Jerusalem International YMCA, satu di antara sedikit tempat di mana warga Yahudi dan Arab bisa membina persahabatan.

Untuk komponen musik mereka, Micah memilih lagu-lagu multikultural dalam Bahasa Arab, Ibrani, dan Inggris, yang ternyata tidak menjadi masalah meskipun para anggota paduan suara harus mahir berpindah-pindah dari bahasa satu ke bahasa lain. Apalagi dialog antar anggota yang terjadi selama mereka saling berinteraksi lebih kompleks lag–dan sama sekali bukan disebabkan oleh perbedaan bahasa.

“Pada prinsipnya, program ini dirancang untuk menyediakan wadah yang aman bagi para anggota untuk mengeksplorasi identitas, sejarah dan pengalaman hidup satu sama lain,  termasuk yang menyangkut isu sensitif seperti konflik Palestina-Israel.” Demikian dijelaskan Micah saat latihan, menekankan bahwa rasa saling percaya tak mungkin dibangun hanya dalam waktu semalam.

“Kita mulai perlahan saja, tapi jangan memulai dari tahun 1948,” ujar Micah menyebut tahun lahirnya negara Israel, sebuah peristiwa yang oleh bangsa Arab disebut sebagai “al Nakba,” atau “bencana.”

“Mari kita mulai dari mana manusia berasal, apa yang menjadikan diri mereka adalah diri mereka saat ini. Lalu kita bisa beranjak ke isu-isu lain terkait kebangsaan, kewarganegaraan, yang akan membawa kalian memahami konflik dari persepsi personal kawan kalian.”

Diharapkan dengan cara itu para remaja tersebut saling melihat satu sama lain sebagai sahabat, dan kemudian “menularkan sikap saling pengertian ini ke ranah yang lebih luas” di kalangan warga Arab dan Yahudi, Muslim dan Kristen.

Kelompok Paduan Suara ini pun tetap saling bertemu meski dalam situasi kritis. Seperti pada 2012, baru sebulan setelah kelompok mereka terbentuk, pasukan Israel memasuki Gaza untuk mencegah serangan roket ke kawasan pemukiman Yahudi. Pihak Israel merasa serbuan itu sah, sementara pihak Palestina menuduh pasukan Israel menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Pernah pula suatu ketika mereka harus adakan pertemuan di tengah serangan roket atas kawasan dekat Jerusalem.

Avital Maeir, seorang Yahudi dan warga Israel, mengatakan bergabung dengan paduan suara itu “untuk menunjukkan bahwa Muslim, Kristen dan Yahudi bisa saling berkerja sama. Sebenarnya hal ini sudah terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, namun banyak orang tidak tahu.”

Maeir, yang banyak bertetangga juga dengan warga Arab, menyatakan sehari-hari dia bermain bersama-sama teman-temannya yang keturunan Arab.

Yasmin Khoury, seorang Arab Kristen, tinggal di kawasan yang sebagian besar dihuni warga Yahudi di Jerusalem Timur. Dia juga bersekolah di sekolah Arab-Ibrani, dan menurutnya dia menikmati dialog yang terjadi dalam kelompok paduan suara tersebut.

“Ada banyak anak-anak istimewa di sini, baik yang Yahudi, Muslim maupun Kristen,” ujarnya. “Kami membicarakan konflik. Apa kesalahan Arab dan apa kesalahan Yahudi, dan sebagainya. Kami tidak selalu setuju. Kami sepakat untuk tidak sepakat.”

Alaa Obied, seorang siswa Palestina berusia 16 tahun yang bersekolah di Ramallah, Tepi Barat, menyatakan bergabung dengan paduan suara itu untuk meningkatkan ketrampilannya bernyanyi, sekaligus ingin bertemu teman-teman baru. Obied, yang untuk datang ke pertemuan harus melalui pos pemeriksaan tentara Israel mengatakan “pandangan negatif”-nya tentang Israel secara keseluruhan sejauh ini belum berubah.

“Aku dan keluargaku masih merasa tertindas oleh polisi dan tentara Israel. Namun di saat yang sama,  aku merasakan teman-teman Yahudi dalam kelompok paduan suara ini berbeda. Di sini saya merasa sederajat dengan mereka,” pungkas Obied. Klik di sini untuk menyaksikan paduan suara remaja Jerusalem ini menyanyikan lagu sufi Adinu, yang syairnya dinisbatkan kepada Ibnu Arabi. [Dari berbagai sumber]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *