Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 02 October 2014

Be(re)ncana


Pesan al-Qur'an tentang kesulitam.

Kematian satu orang adalah duka. Kematian puluhan orang adalah tragedi. Kematian ratusan orang adalah prahara. Tapi kematian ribuan orang di waktu yang bersamaan tiba-tiba hanya jadi angka di meja para pembuat kebijakan. Angka yang mereka pakai untuk merancang anggaran dan menyalurkan pajak rakyat kebanyakan.

Bagi keluarga korban, bencana sering melahirkan kebingungan. Apa maknanya? Mengapa harus kami yang jadi korban? Mengapa tak menimpa elit yang sibuk berebut uang haram atau anak cucu mereka yang sialan? Mengapa sekarang?

Tak hanya itu. Keluarga korban harus melihat sekelompok elit brengsek memperdagangkan angka kematian, memanggil sebangsa mereka dari golongan pelahap maut, untuk segera memangsa sisa-sisa korban dengan segala rupa kedok bantuan dan belas kasihan. Celakanya, semua itu sekadar untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Sementara korban yang berasal dari golongan termiskin seolah layak untuk terus dikorbankan. Bahkan justru sering kali anggota keluarga korban hari ini perlahan jadi budak golongan pelahap maut di hari kemudian.

Tapi di tiap zaman, selalu ada saja dari golongan termiskin itu yang sadar dan menemukan cahaya. Mereka bangkit melawan dan memberi makna. Mereka inilah para pengikut nabi dan manusia pilihan.

Mereka memaknai bencana bukan semata-mata sebagai kesedihan, melainkan berperan menjelmakan kesempurnaan dari keseluruhan. Bencana justru memberi mereka makna akan hakikat kesenangan—seperti penyakit memberi makna akan hakikat kesehatan. Sekiranya tak ada bencana dan ketenangan, maka manusia takkan bisa membandingkan keduanya dan menemukan makna dari masing-masingnya; bersabar di saat bencana dan berencana di saat tenang.

Saat menjelaskan keniscayaan hubungan antara kesulitan dan kemudahan, al-Qur’an menyebutkan: Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan (QS Al-Insyirâh: 5-6). Al-Qur’an tidak ingin kita beranggapan bahwa “kemudahan itu terjadi setelah kesulitan” sehingga dia menegaskan, “bersama kesulitan itu ada kemudahan”. Bukan hanya dalam satu ayat, tapi dalam dua ayat berturut-turut.

Lalu, di ayat selanjutnya Allah menyuruh manusia yang baru selesai dari suatu kesulitan untuk bergegas mengarungi tumpukan upaya dan kepenatan lain. Pasalnya, hanya dengan cara itulah dia bisa memetik kemudahan lain yang lebih besar dan lebih berguna dari yang kini sudah dirasakan.

Para pengikut nabi ini percaya bahwa kesulitan dan bencana melecut manusia untuk berencana, berkembang dan menggali ilmu pengetahuan. Sekiranya tak ada bencana, manusia secara alamiah akan terpelanting dalam kerusakan dan kesia-siaan. Al-Qur’an mengatakan, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam kepayahan (QS Al-Balad [90]: 4). Maksudnya, hanya dengan menanggung kesulitan dan bencana itulah manusia meniti tangga-tangga penyempurnaan; makin besar bencana yang ditanggung, makin besar pula kesempurnaan yang bakal diraih.

Bencana juga bisa mengaktualisasikan kekuatan yang terpendam dalam diri manusia. Ali bin Abi Thalib menyebut hukum ini dalam sepucuk suratnya kepada ‘Utsman bin Hunaif, Gubernur Basrah, pada masa kekhalifahannya. Beliau menyatakan bahwa kehidupan yang dirundung kesulitan dan serba pas-pasan akan melahirkan manusia yang kuat dan pandai, serta memperteguh esensi wujudnya dan memperkaya kesadarannya.

Ali lantas memberi contoh. Pepohonan yang tumbuh liar di padang memiliki batang yang lebih kuat dan umur yang lebih panjang ketimbang pepohonan yang tumbuh di kebun dengan perawatan ketat seorang tukang. “Ketahuilah, pepohonan hutan yang tampak jorok itu lebih kokoh kayunya, sementara bunga-bunga yang indah ini lebih tipis kulitnya. Tanaman di gurun lebih tahan dahannya dan lebih lama hangusnya.”

Surah Al-Baqarah ayat 155 menyatakan bahwa sabar adalah inti kekuatan dan kedahsyatan manusia yang tak mungkin muncul tanpa bencana. Sukarelawan yang bekerja mengevakuasi tumpukan mayat dan reruntuhan bangunan di tempat-tempat bencana, pelan-pelan bakal menemukan inti kekuatan itu.

Seperti para pengikut nabi di tiap zaman, mereka melihat bencana sebagai kesempatan; kesempatan meraih inti kekuatan; kesempatan untuk meraih kesempurnaan; kesempatan menjadi kelompok pemenang sejati; kesempatan untuk melayani sesama dan tentu kesempatan untuk menjadi pengikut para nabi dan manusia pilihan.

(MK/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *