Satu Islam Untuk Semua

Friday, 14 February 2014

Bencana, Stagnasi Politik dan Momentum Harapan


(Istimewa)

A key strategy of corrupt power is to erase the story of resistance. So ours must be to tell it, then live it, then tell it again. And that is the only way to save ourselves from the flood.

(Mari Matsuda, The Flood: Political Economy and Disaster, 2007)

 

                Januari 2014 telah berlalu. Kurang dari tiga bulan ke depan, kita akan melangsungkan pesta politik: pemilihan umum dengan segala hiruk-pikuknya. Namun, harapan memulai tahun 2014 dengan suka cita dan perbaikan kondisi politik secara signifikan kini seolah lebih seperti cita-cita yang terpendam.

Betapa tidak. Bencana alam—sebutan yang terasa paling netral, namun mengenyampingkan unsur kenistaan manusia di dalamnya—terjadi di mana-mana: banjir, longsor atau yang paling ‘alami’ gunung meletus.  Di saat yang sama, teater politik tanpa putus memainkan drama penyelewengan kekuasaan. Media massa dan ruang-ruang privat kita diisi oleh berita dan obrolan tentang bagaimana tokoh politik atau pejabat negara yang korup disidik, disidang dan dipenjara. 

                Ketika bencana alam terasa ‘alami’ dan oleh karena itu seperti takdir yang tak bisa ditolak, fenomena politik merupakan ‘bencana’ yang jauh lebih destruktif dan menyakitkan. Itu adalah “bencana yang mendahului bencana” kata Mari Matsuda, menggunakan metafor liris menggambarkan situasi ekonomi politik Amerika saat badai menghantam New Orleans 2005.

Karut-marut politik, dalam konteks ini, menyebabkan ketidaksiapan menghadapi dan menangani bencana serta mengurus segala sesuatu pasca bencana. Akibatnya kita tahu, tingkat kerusakan fasilitas atau sumber daya alam, penderitaan dan jumlah korban serta kerugian ekonomi menjadi berlipat-lipat. Sumber daya politik, yang semestinya menjadi modal dasar bagi penanggulangan bencana, menjadi aus dan menguap.

Jika negara ini lebih lebih siap dalam menangani bencana, umpamanya, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi secara sungguh-sungguh, potensi bencana akan jauh lebih mudah dideteksi, diperkirakan besaran dan dampaknya, dan dengan itu semua tindakan preventif dapat dilakukan secara lebih baik. Bahkan di daerah-daerah yang rawan bencana, di mana terdapat semacam ‘siklus’ yang bahkan bisa dideteksi secara awam, sebenarnya terdapat rentang waktu yang lebih dari cukup untuk bersiap-siap, melengkapi segala macam kebutuhan menghadapi bencana dan melatih para sukarelawan atau bahkan masyarakat.

Kembali meminjam metafor Mari Matsuda, negara dan bangsa ini entah bagaimana dipimpin dan diurus oleh orang-orang yang tak punya kehendak politik (political will) yang berdasar hati nurani dan kesadaran kebangsaan yang murni. Lebih menyedihkan lagi, ketika masyarakat sipil diteorikan dalam buku-buku teks politik sebagai watchdog untuk memastikan supaya para pengurus negara bertindak benar secara politik dan konstitusional, mereka justru mengalami disorientasi dan ketidakcukupan sumber daya untuk berbuat sebagaimana mestinya. 

Maka berlakulah kemudian hukum rimba: ‘the winners take all and losers are left behind’—bahwa negara dan bangsa ini, meskipun di tengah bencana yang maha dahsyat sekalipun, tak lebih dari sekadar lahan subur bagi mereka yang berkuasa secara ekonomi, politik atau ideologis. Jadilah para korban bencana, yang sejak lama sudah jatuh-bangun dengan berbagai kepahitan hidup, ditimpa lagi oleh banjir yang menenggelamkan harapan, longsor yang menghanyutkan mimpi, atau aliran lahar yang secara ironis menyudahi penderitaan mereka dengan kematian.

Sementara itu, di kantor-kantor pemerintahan, dalam ruang-ruang sidang wakil rakyat atau di lapangan-lapangan golf yang mahal kita dapati bahwa business is running as usual—bahwa semua sama saja pada hari ini, kemarin atau besok. Bencana alam, dengan korban puluhan maupun ribuan, bagi birokrasi negara yang mengalami inersia dimaknai tak lebih dari peluang untuk kunjungan lapangan, kunjungan kerja atau kesempatan untuk tampil di depan publik dan media. Simpati dan empati adalah persoalan gestur, retorika dan kalau perlu air mata—sebuah repertoar tindakan teatrikal kemunafikan.

                Namun demikian, di tengah badai fakta-fakta yang menyakitkan ini, kita tentu tak boleh berputus asa. Betapapun ironisnya, dengan segala macam kepahitan yang dibawanya, terjadinya berbagai bencana alam ini bisa juga dilihat secara positif sebagai sebuah momentum menjelang Pemilihan Umum pada April 2014. 

Pertama-tama, ini merupakan saat di mana kita bisa mengingatkan diri bahwa sebagai bangsa,   setelah Era Reformasi 1998 dengan segala harapan yang digantungkan di sana, telah terjadi stagnasi atau bahkan regresi reformasi demokrasi (Dave McRae, 2013). Menjelang Pemilihan Umum di bulan April 2014, oleh karena itu, ini adalah waktu untuk berdaya-upaya memastikan supaya berlangsung proses demokrasi yang sehat—paling kurang  sebagai bentuk pemanfaatan salah satu mekanisme terpenting dari demokrasi yang sudah tersedia. 

Lebih kongkrit, rangkaian bencana yang terus terjadi ini bisa dijadikan momentum untuk menyadarkan kita supaya keluar dari disilusi politik—kekecewaan yang berujung pada ketidakpercayaan dan ketidakpedulian. Situasi bencana ini hendaknya menjadi jendela untuk melihat betapa kita  membutuhkan lembaga legislatif yang lebih baik dan para pemimpin politik yang qualified, di mana  keduanya hanya dapat diwujudkan dengan adanya partisipasi politik secara sadar. 

                Kedua, seiring dengan momentum ‘bencana’ di atas, sejak lebih kurang satu tahun lalu terdapat fenomena yang menerbitkan harapan, yang disebut oleh Dave McRae sebagai ‘efek Jokowi’—yakni fakta bahwa calon alternatif berhasil memenangkan kompetisi kepemimpinan berhadapan dengan incumbent atau kandidat lain dengan dukungan ideologis, politik atau ekonomi yang lebih besar. Paling kurang, karena efek ini ternyata tidak meluas seperti yang diharapkan—ketika ternyata sangat sulit bagi calon alternatif untuk memenangkan pemilihan—wacana ini mesti diteruskan dan dikuatkan. Sebab efek Jokowi ini senafas dengan cita-cita reformasi dan sejauh ini, khususnya dalam survei-survei politik, berpengaruh cukup signifikan dalam menaikkan elektabilitas dirinya untuk kepemimpinan nasional dan memarakkan diskursus politik alternatif.

 Penguatan dan pengembangan wacana alternatif dengan adanya ‘efek Jokowi’ tersebut, secara teoritis, paling mungkin dilakukan oleh masyarakat sipil. Namun, ini tentu dengan catatan bahwa persoalan utama masyarakat sipil, yakni kualitas militansi dan orientasi aksi, bisa teratasi. Sebab seperti yang kita tahu, masyarakat sipil terlihat seperti macan ompong ketika dibandingkan atau berhadapan dengan kelompok-kelompok sosial pro-kekerasan atau organisasi masyarakat yang berhaluan radikal. Dalam konteks politik praktis, kita tahu bahwa masyarakat sipil tidak mampu ‘memaksa’ DPR untuk secara konsisten menghasilkan produk legislasi yang pro-reformasi dan dalam jumlah yang signifikan serta memastikan kemenangan kandidat-kandidat alternatif dalam pemilihan kepala daerah.

Terkait dengan penguatan diskursus kepemimpinan alternatif di atas, saat ini sebenarnya terdapat media yang sangat efektif: keberadaan media massa cetak dan online dalam jumlah yang signifikan dan teknologi komunikasi yang membuat aliran informasi bergerak massif dan sangat cepat.  Kekuatan media komunikasi yang sulit dibendung ini, kecuali dengan sensor super ketat atau model sentralisasi informasi seperti di Korea Utara, di berbagai belahan dunia telah terbukti mampu menggerakkan perubahan dan menggalang dukungan massa.

Hanya saja, saat ini, jika dibandingkan dengan media-media yang dimiliki kelompok keagamaan radikal atau pro-kekerasan misalnya, media yang digerakkan oleh masyarakat sipil di Indonesia yang mengusung demokrasi dan perdamaian terlihat belum mampu bersaing. Hal ini bisa dibuktikan, umpamanya, dengan melihat jumlah pengunjung atau pengunduhan pada media online atau dengan melihat jumlah media cetak dan oplahnya.

Terakhir, ketika banjir dan bencana lainnya tengah menghantam Indonesia, ini juga merupakan momentum untuk secara langsung melihat siapa, kelompok atau partai apa yang memang betul-betul peduli. Secara sederhana, kita mungkin melihat itu sebatas dalam bentuk sumbangan, bantuan, kunjungan atau janji-janji politik.  Akan tetapi, dalam rentang waktu bencana yang tak singkat ini, berbagai bentuk komunikasi politik yang semakin intensif serta harapan supaya kecerdasan politik masyarakat semakin meningkat akan memungkinkan lebih banyak peluang untuk membedakan antara ‘emas dan tembaga’. Di samping itu, tentu saja, kita juga tak boleh putus berharap bahwa rangkaian bencana yang terjadi akan sedikit banyak menyentuh hati para politisi dan pejabat negara, bahwa banyak yang salah di negeri ini, di mana sampai taraf signifikan merupakan akibat ulah mereka.

                Ini semua, tentu saja, merupakan bagian dari upaya kita memastikan apa yang disebut oleh Mari Matsuda sebagai ‘the story of resistance’ tetap menjadi wacana, menjadi bagian dari kehidupan dan sekecil apapun bisa menjadi kenyataan. Sebab repertoar resistensi seperti ini merupakan benteng pertahanan terakhir bagi masyarakat manapun juga supaya tetap bisa bertahan di tengah hantaman bencana. []

 *) Khairil Azhar adalah lulusan Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, sedang menempuh pendidikan master pada Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah, Jakarta.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *