Satu Islam Untuk Semua

Monday, 24 February 2014

Belajar dari Yasmin Ahmad


foto:google.com

Satu episode dari hidup seorang sutradara religius asal negeri jiran


Jika kita pernah menonton film-film arahan sutradara Malaysia Yasmin Ahmad (wafat 5 Juli 2009), sepertinya akan sulit untuk melupakan gaya ceritanya yang sederhana namun mengalir lancar, disertai humor dan komentar sosialnya yang terkadang pedas tapi “bergizi”.  Siapakah Yasmin Ahmad?

Yasmin adalah seorang penulis skenario (yang semuanya ia tulis di Sayan, Bali), sutradara film dan iklan. Semua karyanya rata-rata mendapat sambutan di Malaysia sekaligus diterima di berbagai festival kelas dunia. Ia merupakan pemenang Best Asian Film Award di Tokyo (2005) dan iklan Percintaan Tan Hong Ming, mendapatkan Gold Winner di Cannes Lions International Advertising Festival 2008, sementara Mukhsin mendapat International Jury of Generation Kplus – Grand Prix of the Deutsches Kinderhilfswerk for Best Feature Film dan Generation Kplus Children’s Jury Awards – Special Mention di Berlinale, 2007. Terakhir, ia dianugerahi sutradara terbaik atas film Muallaf di Asia Pacific Film Festival, 2010. Ia sendiri diberikan program retropektif di Tokyo International Film Festival, Oktober 2006. Intinya, Yasmin tidak hanya sukses di ajang  komersial dan festival saja. 

Soal persetasi-prestasinya tersebut, kepada saya (saat  mewawancarainya pada 2007), ia menyatakan tak memiliki formula yang khusus  terkait hal itu. “Saya membuat film agar manusia merasakan sesuatu,” ujarnya, seraya mengutip Pablo Neruda: “I want my poetry to be like bread, everybody can eat it”, dan Shintaro Tanikawa: “aku tak mau pembaca karya-karyaku menganalisa puisiku . Aku mau puisiku seperti makanan buat mereka dan aku berharap mereka menikmatinya saat mencicipinya.”  Yasmin memang  bersandar pada keduanya. Ia menganggap  mereka “…lebih hebat dari pembuat film seni yang membosankan”.

Dalam banyak kesempatan,ia acap bilang bahwa sineas hendaknya tidak membuat film khusus untuk festival film.  “Jika niat Anda murni, jika Anda menerapkan keterampilan Anda dengan maksud untuk mengamati kemanusiaan dan, pada akhirnya, Tuhan,  seringkali membuat sesuatu yang kuat akan muncul”.

Yasmin, yang dibuatkan doodle-nya oleh Google Malaysia di hari lahirnya 5 Januari lalu itu, lantas menggarisbawahi pentingnya kejujuran di atas ambisi mendapatkan penghargaan dan memenuhi selera juri festival bergengsi. Di satu kesempatan, ia berkata :”lakukan apa yang kamu yakini.Penghargaan akan datang dengans sendirinya sebagai balasannya….”.

Kepada   saya, Yasmin pun menyatakan punya tigatujuan membuat film: Agar lebih memahami Tuhan, agar lebih memahami diri sendiri, dan untuk menghibur orang tua dan teman-temannya.Karena itulah, untuk alasan pertama, ia selalu mengawali setiap filmnya dengan tulisan: bismillahirromanirrohim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)

Hal lain  yang ia nyatakan penting adalah memosisikan diri sebagai pengamat kemanusiaan. “Barangkali, pada akhirnya, tidak ada yang namanya orang kreatif. Yang ada hanyalah para pengamat yang tajam dengan hati yang sensitif”. Di lain tulisan, ia menyatakan bahwa ia tidak benar-benar kreatif, tapi “…hanya mengumpulkan memori sendiri dan ingatan orang lain”.Walau memosisikan dirinyas ebagai tukang cerita (storyteller),tapi kemampuan observasi dengan hati adalah kuncinya.  Ia menegaskan: “Cara untuk mulai menulis adalah sama sekali bukan dengan mulaimenulis, tapi dengan hidup”.

Kembali ke soal ucapan bismillah, tentu saja, semangat religiusitasnya, yang terpancar lewata khlak kesehariannya yang ramah dan rendah hati, juga menjadi bagian penting dari proses kreatifnya. Penafsirannya terhadap nilai-nilai agama yang kadang berbeda sering kali dianggap kontroversial dan membuatnya dicerca beberapa kelompok Islam di sana. Namun,  jika ia merasa tidak salah, dia akan percaya diri dan berani untuk terus menyuarakannya. Dan, rupanya ia tidak ambi lpusing dan larut dalam debat kusirmembela karyanya kepada yang anti filmnya,  baik kepada kritikus film atau kelompok islam tertentu di negeri jiran itu.

Saat ada seorang Muslimah yang menyuratinya karena resah terhadap isu dilarangnya yoga, ia menjawab:

“Saya tak tahu mau berkata apa. Andai saja saya tahu apa yang Rasulullah SAW akan katakana tentang yoga dan film-film  saya. Seseorang menulis di blog saya bahwa saya tidak boleh mengucapkan “alhamdulillah” karena saya tidak memakai hijab. Saya bilang ke mereka, kalau saya tak boleh mengucapkannya, lantas saya tak akan bisa membaca al-Fatihah, dan jika saya tak bis amembaca al-Fatihah, lantas saya tak bisa shalat, dan jika saya tak bisa shalat, saya akan sangat sangat sedih dan tersesat/kehilangan.

Mengapa mereka menghakimi orang dengan mudahnya? Apakah mereka berpikir bahwa mereka akan mendapatkan kesenangan dari Allah jika mengutuk sesama Muslim sepert iitu? Dan mengapa mereka harus berkomentar tanpa nama?

Oh, well, Allah MahaTahu.  

Pernah, dalam sebuah konperensi pers, ia ditanya seorang kritikus film. “Anda jelas tidak tahu bahasa film. Apakah Anda tahua apa itu ‘Cinema 1′,  apa itu   ‘Cinema 2′ dan ‘Cinema 3?,”ujarnya. Demi menjawab pertanyaann menyerang itu, Yasmin hanya berkata: “Satu-satunya  ‘Cinema 1′, ‘Cinema 2′ dan ‘Cinema 3′ yang saya tahu ada di TGV and GSC.”, jawab Yasmin  santai seraya menyebut dua jaringan bioskop di sana.

Setiap filmnya mengandung semangat multikulturalisme, pembauran, dan kebersamaan. Misalnya, karakter Orked dalam trilogi Sepet-Gubra-Mukhsin digambarkan senang dengan budaya Cina dan bersekolah di sekolah Cina, karena “…saya sudah bisa bahasa Melayu”. Atau di Talentime dan Mukhsin yang diperkaya budaya dan bahasa Hindi. Yasmin juga melakukan otokritik terhadap bangsanya sendiri. Misalnya, di Muallaf, ada adegan seorang datuk yang mabuk tapi  tidak mau bersentuhan dengan anjing—kritik keras terhadap standar ganda: anjing dianggap najis tapi miras tidak? Atau tokoh protagonis dan keluarganya yang selalu digambarkan disfungsi dan aneh oleh sekelilingnya namun bahagia—dan sebaliknya, di Mukhsin, tetangganya yang sering bergunjing menjelek-jelekkan keluarga Orked rupanya diam-diam ditinggal suaminya menikah lagi.

Spritualitas Yasmin terpancar dalam keseharian dan film-filmnya. Dari dua kali bertemu langsung, yang terakhir saat ia menjadi juriseksi Generation di Berlinale Film Festival 2008, terasa ia mendengarkan dan menghormati lawan bicaranya dan menganggapnya sejajar dengannya. Bahkan saat saya ke Kuala Lumpur dan tak sempat bertemu dia, Yasmin sendiri yang menelpon saya. Di film, ia beberapa kali mengutip Rumi, misalnya, di Gubra, ia menutupnya dengan kutipan “Lampunya berbeda, tetapi cahayanya satu”.

Saat ke Jepang, ia menyempatkan diri ke makam Yasujiro Ozu, sutradara favoritnya sepanjang masa.  Di batu nisan sutradaraTokyo Story itu, ia menemukan karakter Cina, “Wu” yang artinya “ketiadaan” (“nothingness”).  Ia lantas menulis di blognya: jika kita “nothing”, kita bisa menjadi bagian dari  “everything”.  Dan beberapa bulan sebelum wafat, Yasmin memakai foto batu nisan ini sebagai screen saver di komputernya. Untuk almarhumah, Alfatihah.

 

Catatan:

Iklan terkenal Yasmin: Percintaan Tan Hong Ming :http://www.youtube.com/watch?v=J8cGKY9U46Q

Funeral :http://www.youtube.com/watch?v=Nw0s4C0g5SM (darithe Ministry of Community Development, Youth and Sports, Singapore)

 

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris Raya

 

Sumber:  Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *