Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 12 March 2017

Begini Kesaksian Warga Setiabudi Terkait Berita Miring Jenazah Nenek Hindun


islamindonesia.id – Begini Kesaksian Warga Setiabudi Terkait Berita Miring Jenazah Nenek Hindun

 

Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan meyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah, baik dalam hal hukum maupun kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.

Tabayyun adalah akhlak mulia yang merupakan prinsip penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Hadis-hadis Rasulullah saw dapat diteliti keshahihannya antara lain karena para ulama menerapkan prinsip tabayyun ini. Begitu pula dalam kehidupan sosial masyarakat, seseorang akan selamat dari salah paham atau permusuhan bahkan pertumpahan darah antar sesamanya karena ia melakukan tabayyun dengan baik.

Sebagaimana Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu tabayyun dalam menghadapi berita yang disampaikan kepadanya agar tidak meyesal di kemudian hari, maka demikian pula seharusnya umat Islam. Khususnya warga Jakarta yang saat ini kerap menjadi sasaran penyebaran berita bohong akibat adanya politisasi isu Pilkada demi keuntungan pihak tertentu yang sedang berlaga. Sudah selayaknya mereka menelusuri fakta yang sebenarnya di lapangan sebelum terlanjur menghukumi dan menyebar berita bohong soal apapun, tak terkecuali soal berita jenazah Nenek Hindun, yang dikabarkan tak dishalatkan hanya karena yang bersangkutan dan keluarganya memilih paslon petahana, Ahok – Djarot.

Benarkah demikian?

Berikut beberapa fakta yang diungkap warga Setiabudi, Jakarta Selatan, menanggapi berita miring yang selama ini beredar di media.

Syamsul Bahri adalah salah satu warga yang ikut serta menyalatkan jenazah Hindun (78) di Setiabudi, Jaksel. Karena itu dia bersedia memberikan kesaksian dan penjelasan gamblang mengenai peristiwa pada Selasa (7/3/2017) lalu itu.

Dia menegaskan, sama sekali tidak benar kalau jenazah Nenek Hindun ditolak warga untuk dishalatkan di mushalla. Kata Syamsul, saat itu sebenarnya yang paling utama adalah agar jenazah lekas dikuburkan karena hari sudah gelap.

“Cuaca waktu itu sudah gelap mau hujan besar. Kalau kita ke mushalla lagi itu akan memakan waktu, jangan sampai ke kuburan itu malam. Akhirnya inisiatif Ustaz dan tokoh-tokoh abis mayat ditutup langsung dishalatin di situ (rumah). Kebetulan kalau di mushalla jemaah kita belum pada pulang kerja, ada yang berdagang,” beber Syamsul di Setiabudi, Sabtu (11/3/2017).

Menurutnya, selesai shalat jenazah sekitar pukul 18.00 WIB, kemudian jenazah langsung dibawa dengan ambulans.

“Biar nggak kemaleman, sesudah di ambulans pas perjalanan di Kuningan macet, sampai di Kuningan hujan besar itu jam 18.30 WIB, sampai selesai jam 19.00 WIB kurang. Ada warga yang ikut ada yang nggak ikut, karena ada yang punya keperluan,” beber dia.

“Jadi saya klarifikasi, warga pada ikut, tokoh-tokoh juga ikut termasuk Ustaz Syafi’i dan pengurus mushalla. Kalau Ustaz Syafi’i nggak peduli enggak mungkin diurus, tapi ini diurus. Bapak Saimin Azis tokoh mushalla satu lagi dia mendukung dan membantu sampai selesai,” lanjutnya.

Syamsul juga menyampaikan ketika Nenek Hindun meninggal, berita duka disebar di mushalla di RW 05.

“Itu pergerakan secara otomatis kalau warga RW 05 itu untuk berita duka cepat gotong royongnya. Saya bersama pengurus masjid, Ustaz Syafi’i, langsung ambil pemandian mayat di masjid lainnya, kita sorong, kita siapkan, kita hubungin pemandi mayat. Pemandi mayat orang PKS, tapi mereka nggak lihat pilihan,” beber dia.

Ambulans yang dipakai menyalatkan juga dari Timses Anies-Sandi karena hanya dari mereka ambulans bisa tersedia.

“Bahwa mushalla tidak mau menshalati itu salah. Karena kita waktu itu, soal mepetnya waktu aja yang membuat seperti itu. Kenapa? Meninggal pukul 13.30 WIB. Pemandian jam 17.00 WIB, pemandiannya, rempah-rempahnya itu butuh waktu. Abis dari pemandian selesainya jam 17.30 WIB, masuk ke rumah, karena kebetulan rumahnya gangnya sempit. Warga nyelawat langsung pulang, karena kalau tidak langsung pulang rumahnya penuh. Sampai situ mandiin, kafanin, doain, keluarga cium itu ada proses waktu. Kira-kira selesainya jam 18.00 WIB kurang,” terang Syamsul.

Senada, berikut penjelasan yang disampaikan Ustaz Syafi’i, nama yang disebut Syamsul dalam kesaksian sebelumnya.

Di depan pintu masuk kediaman Muhammad Syafi’i di kelurahan Karet Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, terdapat tumpukan barang yang bagian atasnya terdapat wadah yang berisi potongan daun kelor atau merunggai (Moringa oleifera).

Saat ditemui di kediamannya, Jumat (10/3/2017), Muhammad Syafi’i yang merupakan Ustaz di wilayah tersebut sekaligus pengurus mushalla Al Mukmin, mengatakan bahwa dia yang memotong daun kelor tersebut untuk membantu pemakaman Hindun bin Raisan (78), Selasa (7/3/2017) lalu.

“Saya bilang (ke Neneng) ini diusapin (ke tubuh Hindun), biar ilmunya hilang,” ujar Muhammad Syafi’i memulai kesaksiannya.

Kejadian tersebut bermula saat hari Selasa lalu. Sunengsih alias Neneng (47) putri bungsu Hindun mendatangi kediamannya dan menggedor-gedor pintu sembari memberitahukan bahwa sang ibunda dalam kondisi gawat.

Setelah mendengar cerita Neneng, ia lalu membuatkan ramuan untuk Hindun.

Perempuan 78 tahun yang sudah beberapa bulan tidak bisa jalan karena penyakit pengkapuran dan darah tinggi itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

“Setelah ibunya meninggal, saya bilang ke Neneng, sudah nggak usah nangis, mending kita urusin,” katanya.

Muhammad Syafi’i pun lalu ikut mengurus segala sesuatunya terkait jenazah tersebut. Mulai dari mengumumkan di mushalla, hingga pemandian jenazah almarhumah Hindun.

Namun saat Neneng minta sang ibunda dishalatkan di mushalla, ia menyarankan agar shalat jenazah dilakukan di rumah saja. Alasannya, karena kondisi yang kurang memungkinkan.

“Karena waktu itu hujan deras, bukan karena apa-apa, dan waktu itu sudah sore, anak-anak (warga) tidak ada, jadi shalatnya di rumah saja, saya yang ikut mengurus, saya tanggungjawab,” ujarnya.

Muhammad Syafi’i juga ikut membantu mencarikan ambulans agar jenazah bisa dibawa dengan aman ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo.

Ia juga ikut sampai ke pemakaman, dan memimpin doa di tempat peristirahatan terakhir Hindun.

“Itu juga ambulansnya ambulan Anies – Sandi, bukan ambulans dari RT sini,” katanya.

Ternyata bantuan dari sang Ustaz dan warga sekitar ditanggapi lain oleh Neneng.

Putri bungsu almarhumah bahkan menganggap Ustaz Syafi’i menyarankan agar sang ibunda tidak dishalatkan di mushalla, karena sang ibunda adalah pendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat.

Muhammad Syafi’i mengaku kecewa atas tuduhan tersebut.

“Seumur-umur saya baru kali ini (dituduh). Padahal sebelumnya almarhum bapaknya (Neneng) saya juga yang mengurus, saya juga jadi bingung, sekarang banyak (wartawan) yang mencari saya,” katanya.

“Tidak betul (tuduhan Neneng), kewajiban orang Islam (terhadap jenazah) itu mendoakan, menshalatkan dan memakamkan,” tandas Ustaz Syafi’i.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *