Satu Islam Untuk Semua

Friday, 28 February 2014

Bapak Kos Para Pejuang


foto:wikipedia.org

Namanya memiliki posisi penting dalam kancah pergerakan  Indonesia. Dari tangannya muncul  manusia-manusia  besar yang menentukan alur sejarah  bangsa ini. Salah satunya bernama Soekarno

 

Ketika melukiskan  tentang sosok HOS.Tjokroaminoto, Prof. Hamka menyebut laki-laki itu sebagai, pemilik mata yang bersinar dan kumis yang melentik ke atas. Badannya tegak dan gerak-geriknya penuh keagungan. “Segala wajah mesti tunduk kepadanya, dalam arti tunduk penuh cinta…” tulis Hamka dalam Keadilan Sosial dalam Islam.

Kharisma Tjokro  memang terpancar terang seperti cahaya matahari.Tidak cukup hanya dikenal sebagai  laki-laki yang berwibawa, Tjokro pun memiliki keluasan pengetahuan yang seolah tak berbatas. Dia bukan saja memiliki minat  mempelajari sejarah Islam, tapi juga dikenal sebagai pelahap karya-karya Socrates, Plato dan Marx. Pengetahuannya akan berbagai gerakan kelas pekerja di Eropa sangat mengagumkan.

Mungkin itulah yang menyebabkan rumahnya yang terletak di Gang 7 Peneleh Surabaya, tak pernah sepi dari anak muda. Beberapa mahasiswa dan pemuda yang sedang mengalami keresahan intelektual dan spiritual tanpa bosan menyambanginya dan bahkan menjadi anak kost di rumahnya. Tanpa henti dan mengenal waktu mereka kerap mengajak Tjokro untuk berpetualang di alam ide, mencoba membongkar keresahan akan situasi bangsa.  Para pemuda itu diantaranya bernama Soekarno, Kartosoewirjo dan Moesodo.

Tjokro sangat mafhum, diantara anak-anak muda yang sering menyambanginya, kelak akan ada yang menjadi penentu jalannya sejarah bangsa. Mengingat itu, dia tak ragu-ragu memberikan ilmunya kepada mereka, menumpahkan segala yang dia tahu tentang modal hidup bernama perjuangan.  Diskusi melahirkan ide dan dari ide juga mereka bergerak: Soekarno mendirikan PNI, Kartosoewirjo aktif di PSII dan Moesodo melawan Belanda lewat jalur sosialisme.

Soekarno pernah  menuturkan kenangan akan guru sekaligus bapak kost-nya itu. Walau dia seorang  ketua Syarikat Islam dan terpandang di masyarakat, tak  satupun  prilaku angkuh menempel dalam hidupnya. “Bahkan saat menjalankan hidupnya sehari-hari, dia sama melaratnya dengan kami anak-anak kost,”ujar sang proklamator itu.

Karena kedekatannya dengan semua orang, Tjokro tak lelah menjadi penyambung lidah mereka. Meminjam kata-kata Taufik Abdullah, baginya perjuangan untuk membebaskan negeri ini dari cengkraman penjajah bangsa lain adalah sebuah panggilan, bukan sebuah misi politik. Tak heran jika seorang Alimin dan Tan Malaka, yang secara ideologis “bersebrangan” dengan dia,  tetap menghormati  Tjokro sebagai orang jujur yang  tetap konsisten dengan keyakinan: Belanda harus pergi !

Keyakinan itu dianutnya selama hidupnya, sampai suatu pagi di Bulan Desember 1934, dia menggerakan matanya untuk terakhir kali. 

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *