Satu Islam Untuk Semua

Friday, 14 February 2014

At Tirmidzi dan Guru Khidzir a.s.


Apa yang dikatakan Nabi Khidzir as. terhadap At-Tirmidzi?

 

Konon, pada waktu remaja, At-Tirmidzi ingin sekali menuntut ilmu di tempat nun jauh bersama teman-temannya. Selain bertujuan untuk mencari pengetahuan di tanah rantau, ia juga ingin sekali mendapat pengalaman yang jauh lebih luas dibanding di desanya yang kecil dan kumuh.

Namun, saat mereka hendak pergi, ibu At-Tirmidzi menjadi sangat sedih.

Sang ibu, yang sebelumnya mengizinkan anak kesayangannya itu pergi, kini merasa pilu, dan berkata, “Wahai belahan jiwaku, aku adalah seorang wanita tua renta yang lemah dan tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Selama ini engkaulah yang merawatku. Jika engkau pergi, siapa yang akan merawat wanita kesepian dan lemah ini?”

Kata-kata ibunya ini sangat menyentuh hati At-Tirmidzi. Akhirnya, dengan berat hati, ia pun memutuskan untuk membatalkan niat agungnya itu. Sedangkan para sahabatnya, pamit pergi dalam pencarian pengetahuan.

Waktu pun berlalu. Kehidupan At-Tirmidzi dicurahkan seluruhnya untuk mengurus sang ibu. Menemaninya dalam senang maupun duka. Bahkan saking sibuknya, At-Tirmidzi tak memiliki sedikit pun waktu untuk sekadar bermain bersama temannya yang lain.

Hingga pada suatu hari, saat ibunya tidur terlelap. Ia memilih untuk duduk di depan rumahnya. Membayangkan nasibnya yang pedih karena tidak sanggup mencari ilmu. Tak terasa, bulir air mata pun sedikit demi sedikit berjatuhan. Ia menangis pilu, dan berkata, “Aduhai nasibku, aku tinggal di sini. Terabaikan dari kewajibanku menuntut ilmu. Kini aku bodoh sekali menjadi seorang manusia. Sungguh malang nasibku, sementara para sahabatku akan kembali, menjadi ulama yang mumpuni.”

Tak lama kemudian, datanglah seorang kakek tua di hadapannya. Orang itu bertanya, “Anakku, mengapa engkau menangis?”

At-Tirmidzi menceritakan keadaannya.

Orang tua itu kembali bertanya, “Maukah engkau jika aku mengajarimu satu pelajaran setiap harinya, agar engkau dapat melampaui para sahabatmu itu?”

“Tentu, aku mau,” jawab At-Tirmidzi girang.

At-Tirmidzi mengisahkan, “Maka setiap hari ia datang ke gubukku dan mengajariku satu pelajaran, hingga tiga tahun pun berlalu. Aku telah menulis beragam buku. Tapi, setelah sekian lama aku belajar padanya, tak pernah sedikit pun terlintas untuk bertanya, siapakah gerangan ia, guruku itu. Dan, suatu ketika aku bermimpi, bahwa ia yang menjadi guruku adalah Nabi Khidzir as. Dalam mimpi itu, ia berkata bahwa aku mendapat anugerah ini dikarenakan abdiku pada ibu.”

——

Fariduddin Athtahr bercerita tentang salah seorang pemikir kreatif terkemuka dalam mistisisme Islam, Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu ‘Ali ibnu al Husain al Hakim at Tirmidzi.

Konon, At-Tirmidzi lahir di Tirmidz, dan hijrah ke Nisyabur pada tahun 285 H/898 M untuk berdakwah.

Selain dikenal sebagai seorang sufi, ia pun dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Karya-karyanya tentang ilmu jiwa mempengaruhi Imam Al Ghazali. Sedangkan teori kesuciannya diadopsi dan dikembangkan oleh Ibnu ‘Arabi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *