Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 18 March 2014

Anjing dalam Tradisi Islam dan Alam (Bagian 2)


www.kaskus.co.id

Kebanyakan ahli fikih menolak hadis-hadis yang memerintahkan pembunuhan anjing secara rekayasa (tanpa sebab yang diperbolehkan) karena, mereka beralasan, perilaku tersebut ialah penyia-nyian kehidupan.

Para ahli fikih ini menyatakan bahwa ada presumsi yang melarang perusakan alam, dan mewajibkan perhormatan terhadap semua ciptaan. Setiap bagian dari alam tidak boleh dihancurkan tanpa alasan, dan tidak ada kehidupan yang boleh dibunuh tanpa sebab. Bagi sebagian besar ahli fikih, meskipun konsumsi anjing sangat dilarang dalam Islam, tidak ada alasan untuk membantai anjing.

Selain persoalan membunuh anjing, para ahli hukum Islam juga tidak bersepakat tentang kebolehan memiliki anjing. Banyak ahli fikih membolehkan kepemilikan anjing untuk tujuan melayani kebutuhan manusia, seperti menggembala, bertani, berburu, atau demi keamanan.

Mereka juga melarang kepemilikan anjing untuk alasan sembrono, seperti menikmati penampilan mereka atau sekadar ingin pamer. Sebagian ulama merasionalisasi ketentuan hukum ini dengan menyatakan bahwa anjing membahayakan keselamatan tetangga dan para pejalan.

Bagi mayoritas ahli fikih, betapapun, soalan penting dalam hal ini bukan apakah halal hukumnya memiliki anjing, tetapi status kenajisan anjing. Mayoritas berpendapat mengenai persoalan apakah tubuh dan air liur anjing itu suci atau tidak. Jika anjing sebenarnya tidak suci maka mereka tidak bisa dimiliki kecuali ada kebutuhan serius untuk melakukannya.

Adapun mengenai masalah kesucian, titik utama perdebatannya adalah apakah ada dasar rasional dalam perintah mencuci wadah jika disentuh atau dijilat oleh anjing. Mayoritas ahli hukum menyatakan bahwa tidak ada dasar rasional untuk perintah ini, dan bahwa anjing, seperti babi, dianggap najis semata untuk menghormati teks agama. Namun demikian, cukup banyak ahli fikih yang tidak setuju dengan sikap ini.

Para ahli fikih, terutama dari mazhab Maliki, berpendapat bahwa segala sesuatu yang ditemukan di alam dianggap suci kecuali terbukti sebaliknya, baik melalui pengalaman atau teks. Dengan menentukan bahwa hadis-hadis yang disebutkan di atas tak cukup bisa diandalkan keasliannya sehingga mengatasi prinsip hukum asal kesucian, mereka berpendapat bahwa anjing adalah hewan yang suci. Oleh karena itu, mereka bersikukuh bahwa anjing tidak membatalkan salat atau kesucian ritual seorang Muslim.

Ahli fikih lain berpendapat bahwa perintah mensucikan bejana dengan dicuci beberapa kali dimaksudkan sebagai langkah pencegahan demi kesehatan. Ahli fikih ini berargumen bahwa hadis Nabi tentang masalah kenajisan itu hanya berlaku untuk anjing yang beresiko terinfeksi virus rabies.

Dengan demikian, jika anjing tidak membawa kemungkinan rabies, ia dianggap suci. Sejumlah kecil ahli fikih membawa logika ini lebih lanjut dalam menyatakan bahwa anjing di pedesaan itu suci, sedangkan anjing di perkotaan itu najis karena anjing perkotaan sering mengkonsumsi sampah.

Kelompok ahli fikih lain berpendapat bahwa kesucian anjing tergantung pada tempat tinggalnya: anjing perumahan dianggap suci karena manusia memberi makan dan membersihkan mereka, sementara anjing yang hidup di alam liar atau di jalan-jalan kota boleh jadi membawa penyakit dan, oleh karena itu, dianggap najis.

Hal ini tampak jelas dari evolusi wacana ini: bahwa saat alam kian terhadapkan pada pemahaman rasional, makhluk yang berpotensi berbahaya, seperti anjing, tak lagi jadi ancaman menurut para ahli fikih.

Selain dalam diskursus hukum, anjing menempati posisi yang rumit dipahami dalam budaya Muslim. Di satu sisi, anjing dalam kesusastraan Arab sering digambarkan sebagai simbol kebajikan yang sangat terhormat seperti pengorbanan diri dan loyalitas.

Misalnya, Ibn al-Marzuban menulis sebuah risalah menarik berjudul “Keutamaan Anjing Dibanding Mereka yang Mengenakan Pakaian”, yang mengontraskan loyalitas dan kesetiaan anjing dengan pengkhianatan dan keplin-planan manusia (setelah saya googling, judul asli dalam bahasa Arab dari risalah Ibn al-Marzuban itu ialah “Fadhl al-Kilab ‘ala Katsirin min Man Labisa at-Tsiyab” –AAF). Anjing juga banyak digunakan untuk perlindungan, menggembala domba, dan berburu.

Di sisi lain, anjing sering digambarkan sebagai instrumen penindasan di tangan para penguasa lalim dan tidak adil. Serupa dengan praktek abad pertengahan Eropa, di wilayah Timur Tengah pra-modern, sebagai ungkapan penghinaan, terkadang anjing-anjing digantung atau dikubur bersama mayat para pembangkang atau para pemberontak.

Lebih jauh, dalam budaya populer, tidak seperti kucing, anjing dianggap hewan najis yang tidak seharusnya berbagi ruang hidup yang saleh nan religius. Purbasangka budaya anti-anjing ini bertahan hingga masa modern, dan sebagai imbasnya, kepemilikan anjing masih terus tak disukai.

Di dunia Muslim kontemporer, kepemilikan anjing hanya umum di kalangan Badui, para penegak hukum, dan orang-orang kelas atas yang kebarat-baratan. Sebagai sebuah kenyataan, agak mengejutkan bahwa, di dalam sangat banyak persoalan, umat Islam modern tidak menyadari determinasi hukum pra-modern yang membenarkan kesucian anjing.

Di era pra-modern, hukum Islam berkembang sebanding dengan kemajuan yang dicapai pengetahuan manusia tentang alam. Tapi saat lembaga hukum Islam telah didekonstruksi oleh kolonialisme Eropa, dan dengan munculnya gerakan-gerakan puritan dalam Islam kontemporer, hukum Islam telah berhenti dari forum berpikir kreatif atau interaksi dinamis dengan luasnya semesta alam. [LS]

 

Sumber: azisaf.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *