Satu Islam Untuk Semua

Friday, 16 October 2015

ANALISIS- Riyadh Bergerak Menuju Mata Badai


Akhir Sepetember lalu, The Guardian mempublikasikan dua surat yang dilaporkan telah beredar di kalangan petinggi kerajaan Saudi. Surat dari seorang pangeran yang tidak ingin disebut namanya karena alasan keamanan iti, telah di-share lebih dari 15 ribu kali. Salah satu cucu pendiri Kerajaan Saudi ini mengungkap apa yang menjadi kekhwatiran internal keluarga kerajaan atas kepemimpinan Raja Salman. Bagi penulis surat, jika tidak segera dilakukan ‘reformasi kepemimpinan’, Riyadh akan menghadapi badai masalah yang sangat serius.

“(Sejauh ini) ada empat atau lima dari paman saya yang ingin bertemu dan membahas surat ini, ” katanya ke The Guardian, 28 September 2015.

Selain mendapat dukungan dari sebagian keluarga kerajaan, sang pangeran mengklaim bahwa warga Saudi pun banyak yang risau dengan situasi yang diciptakan oleh kepemimpinan pasca Raja Abdullah bin Abdul Aziz ini. “Mereka (warga Saudi) mengatakan pada saya, Anda harus melakukan sesuatu atau negeri ini akan menghadapi bencana,” kata salah satu pangeran yang termasuk senior ini.

Konflik Keluarga

Perpecahan dalam keluarga Kerajaan Saudi mungkin bukan hal yang baru di telinga dunia. Sembilan tahun yang lalu, ketika masa Raja Abdullah bin Abdul Aziz, Putera Mahkota adalah Nayif bin Abdul Aziz. Adapun Wakil Putera Mahkota adalah Sultan bin Abdul Aziz, Salman bin Abdul Aziz dan yang paling muda Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz. 

Lima tahun kemudian, Nayif meninggal mendahului Raja Abdullah. Pangeran Sultan pun naik tahta sebagai Putera Mahkota dan Salman menjadi wakilnya. Setahun kemudian, Putera Mahkota Sultan meninggal yang membuat Salman didaulat sebagai Putera Mahkota.

Sembilan bulan yang lalu (23/1), Raja Abdullah menghembuskan nafas terakhir dan jadilah Salman bin Abdul Aziz sebagai Raja ketujuh di Saudi. Tidak lama setelah menunjuk Muhammad bin Nayif sebagai Wakil Putera Mahkota, Raja Salman mendepak Pangeran Muqrin dari kursi Putera Mahkota. Jadilah Muhammad bin Nayif sebagai Putera Mahkota. Dia sekaligus menunjuk putranya, Muhammad bin Salman, sebagai Wakil Putera Mahkota.

Perpecahan dalam kerajaan memang sudah menjadi rahasia umum, tapi apa yang menjadi keresahan sebagian keluarga kerajaan akhir-akhir ini mungkin tidak boleh dianggap enteng oleh sang raja.  Tuntutan lengsernya Raja Salman dari berbagai  pihak memiliki sejumlah alasan kuat dimana jika dibiarkan, Riyadh akan menghadapi badai yang membahayakan masa depannya.

“Kerajaan tidak dalam kondisi stabil dan dalam kenyataannya anak raja (Muhammed bin Salman) yang memerintah kerajaan,” tulis sang pangeran yang segenerasi dengan Muhammad bin Salman.

Meski masih berusia 30 tahun, tidak sedikit pangamat yang melihat Raja Salman, seperti biasanya, mempersiapkan karpet merah bagi anaknya itu menjadi penggantinya kelak. Kini, Pangeran Muhammad bin Nayif yang juga menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri menghadapi masalah serius terkait dua tragedi yang menelan ribuan jamaah haji tahun ini.

Sejumlah media mengabarkan konvoi Pangeran Muhammad bin Salman menjadi pemicu tragedi di Mina. Meski kabar ini dibantah oleh otoritas Saudi, hasil dari proses investigasi  yang sangat tertutup itu hingga kini belum diumumkan. “Berita konvoi pejabat VIP sebagai pemicu malapetaka di Mina itu menyesatkan…” kata Muhammad bin Nawaf Al Saud, Duta Besar Kerajaan Arab Saudi, di London.

Tragedi di Musim Haji

Walhasil, dua tragedi ‘horor’ musim haji ini menjadi catatan hitam bagi Raja Salman yang belum cukup setahun berkuasa. Malapetaka yang menelan seribu lebih korban jiwa ini membuat sejumlah negara yang mengirim warganya ke tanah suci itu gusar. Selain tidak adanya transparansi, lambatnya proses investigasi, sulitnya akses indentifikasi korban, pihak kerajaan hingga kini belum menyatakan permohonan maaf.

Saudi akhirnya menjadi sasaran cemooh dan kritik dari dunia internasional. Saudi dianggap ‘keras kepala’ yang tidak mau membuka diri untuk bekerja sama dengan negara lain demi kenyamanan dan keselamatan jamaah haji. Di Indonesia, sejumlah tokoh Islam mengkritik Saudi yang dianggap ceroboh dalam mengelola event suci yang berskala international itu.

“Dua tragedi Crane Makkah dan tragedi Mina ini, sesungguhnya merupakan pelajaran dan peringatan yang nyata kepada pemerintah Kerajaan Saudi Arabia. Proyek dan pembangunan kota suci ini jauh dari yang digambarkan menjadi pusat peradaban Islam dunia,” kata Helmy Faishal Zaini,Sekretaris Jenderal PBNU,

Blunder Kebijakan

Belum padam kritik yang dilayangkan oleh sejumlah tokoh Islam, tragedi Mina ini akhirnya menggiring Riyadh ke medan konflik yang semakin tajam dengan Tehran. Iran, yang 400 lebih jamaah hajinya wafat terinjak-injak di Mina, memberikan peringatan keras pada Saudi yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya.

“Republik Islam Iran hingga kini menunjukkan kesabaran, menjaga etika islami dan kehormatan persaudaraan di dunia Islam, akan tetapi mereka harus tahu bahwa kekuatan Iran di atas banyak pihak dan memiliki fasilitas lebih banyak dan jika diperlukan akan menunjukkan reaksi di hadapan anasir-anasir pengganggu dan pengusik. Kondisi mereka akan buruk dan mereka tidak akan bisa sebanding dalam setiap konfrontas,” kata pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, dalam pidatonya di depan lulusan Akedemi Militer Iran (30/9)

Memicu kemarahan Iran yang selama ini menjadi seteru di kawasan tiada gunanya, bahkan merugikan Riyadh. Belum juga memetik kemenangan bersama koalisinya di Suriah dan Yaman, Riyadh dianggap blunder sehingga ‘memancing’ Tehran terlalu dini ke medan laga. Peringatan keras Tehran menjadi alarm bagi Riyadh untuk bersiap menanggung beban lebih berat lagi di Suriah maupun Yaman. Bertahannya rakyat Yaman hingga kini dari gempuran berlebihan, semakin memperlihatkan kadar kemampuan militer Saudi di depan musuh utamanya. Pangeran yang menggugat Kerajaan itu pun menyatakan bahwa orang-orang Saudi muak melihat negara Arab terkaya membombardir negara termiskin, secara berlebihan. Sekali lagi, anak Raja yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan dinilai blunder menyikapi Yaman.

“Pangeran Muhammad bin Salman telah membuat onar di Yaman tanpa strategi atau opsi yang matang. (Sedemikian sehingga) telah menguras banyak dana dan korban jiwa, krisis kemanusiaan dan datangnya kritik dari dunia internasional”

Defisit Anggaran

Mahalnya ongkos perang atas tetangganya, Yaman, semakin memperburuk ekonomi Saudi. Ketika anggaran belanja 2015 disahkan, Riyadh mematok harga minyaknya 75 dollar per barel. Namun sejak Juni lalu, Saudi bermain dengan harga minyak sehingga memicu anjloknya harga minyak dunia hingga 50% dari 75 dollar per barel. Saat itu, Saudi percaya diri mengingat persediaan cadangan devisa 765 miliar dollar untuk beberapa bulan ke depan.

Yang menjadi masalah, menurut laporan situs Al Iqtishadiah, pendapat Arab Saudi tahun fiskal 2015 sebesar 715 miliar Riyal (US$ 190.700 miliar). Adapun belanja pemerintahan sebesar 860 miliar riyal (US$ 229.300 miliar). Dengan demikian, sesuai pengunguman Raja Salman, bahwa defisit anggara sebesar 145 miliar Riyal (US$38,6 miliar). Inilah defisit anggaran terbesar yang menjadikan badai bagi istana kerajaan semakin menakutkan. Riyadh tentunya tidak bisa membiarkan situasi ini mengingat anggarannya hanya bertumpu pada minyak.

Menyikapi situasi yang semakin memburuk ini, Raja Salman menarik dana US$ 70 miliar yang ada di luar negeri. Pada 28 September 2015, sang raja mengintruksikan jajarannya untuk menghentikan semua proyek baru, menghapus pembayaran kompensasi bagi properti, menghentikan pembelian mobil, furnitur dan sejumlah barang baru lainnya termasuk perjanjian penyewaan. “Saudi belum kehabisan dana saat ini. Mereka hanya belanja amat boros lebih dari pendapatan mereka miliki,” kata Steffen Hertog, pengamat ekonomi-politik di London.

Anjloknya harga minyak yang dinilai untuk memukul ekonomi Rusia dan Iran sepertinya menjadi bumerang bagi Saudi. Kini saatnya negara-negara Barat, yang selama ini menaruh harapan pada Saudi untuk kepentingan ‘bisnis’ di Timur Tengah, turut cemas. Instabilitas ekonomi Saudi ini semakin memperbesar badai politis yang mendesak reformasi kepemimpinan dalam tubuh kerajaan. Mengabaikan tuntutan internal dan serius ini semakin membuka kemungkinan peristiwa Raja Saud yang diturunkan paksa oleh Raja Faisal pada 1964 terulang kembali. Bahkan mungkin, Raja Salman bisa saja senasib Raja Faisal yang dibunuh oleh keponakannya sendiri.

 

Edy/IslamIndonesia/dari berbagai sumber 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *