Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 09 April 2016

ANALISIS–Menag: “Hanya Presiden yang Berwenang Menyesatkan Aliran”


Masih segar dalam ingatan kita, pernyataan dan himbauan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin akhir Februari 2016 lalu, saat menghadiri Kongres Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta.

Dalam kesempatan itu, di hadapan hadirin termasuk di antaranya Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal, Imdadun Rahmat, dan Putri Almarhum Gus Dur, Yenny Wahid, Menag menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang, hanya Presiden yang berhak menyatakan aliran tertentu dari suatu agama atau kepercayaan itu sesat atau tidak sesat.

Demi menjaga kerukunan antar umat beragama, dalam kesempatan yang sama Menag juga mengimbau agar masyarakat tidak gegabah menghakimi sesat secara sepihak sebuah aliran agama atau kepercayaan yang berkembang di tengah mereka.

Pernyataan dan himbauan Menag Lukman cukup beralasan. Sebab di antara 250 juta penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim ada begitu banyak keragaman dalam menyikapi persoalan agama beserta segenap paham dan alirannya. Dan usaha lembaga tertentu, sebesar apapun dan membawa nama apapun, untuk memonopoli tafsir dan pemahaman terkait masalah ini ternyata bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Sebagai warganegara yang sudah selayaknya taat hukum dan undang-undang, ada baiknya jika masyarakat mencermati lebih jauh apa yang termaktub dalam Undang-Undang terkait persoalan kehidupan keberagamaan di Indonesia.

Selain Undang Undang No. 1/PNPS tahun 1965 yang selama ini cenderung menimbulkan pro-kontra, ada lagi Undang-Undang yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya juga mengatur persoalan agama. Undang-Undang itu adalah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, yang dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa: Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Lalu apakah yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan absolut” dalam Undang-Undang tersebut?

Jawabannya ada pada Pasal 10 ayat (1) yang dengan jelas merincinya, bahwa: Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) tersebut meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

Maka jelaslah bahwa dalam hal ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1), bahwa urusan agama merupakan urusan pemerintahan yang sifatnya absolut dan menjadi kewenangan penuh dari Pemerintahan Pusat untuk mengaturnya, sebagaimana halnya urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, juga moneter dan fiskal nasional.

Mungkin hal itulah yang dimaksud Menag bahwa hanya Presiden lah yang berhak menyatakan aliran tertentu dari suatu agama atau kepercayaan itu sesat atau tidak sesat, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang.

Jika tidak, maka urusan agama—seperti halnya urusan pertahanan dan keamanan, juga urusan absolut lain menyangkut kepentingan dan kemaslahatan orang banyak—dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang berujung dengan disintegrasi, seandainya semua orang atau banyak pihak merasa berwenang sama dengan kewenangan Kepala Negara untuk mengaturnya. Apalagi bila pemberian kewenangan dimaksud tidak berdasarkan pada Undang-Undang yang berlaku dan diakui keabsahannya oleh negara kita.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *