Satu Islam Untuk Semua

Friday, 06 December 2013

Al-Rashafat: Percikan Minuman Ma’rifa dalam Syair


Tarekat ‘Alawiyya dan ‘Irf an Ibn ‘Arabi
Al-Syaikh Abu Madyan Syu‘ayb bin Abu Hasan At-Tilmisaniy Al-Maghriby, yang pada saat itu sedang berada di Tilmisan, Al-Jazair, mengutus muridnya yang bernama As-Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad Al-Maq‘ad, seraya bertitah:

“Sesungguhnya kami mempunyai seorang sahib di Hadramawt (Tarim), pergilah engkau menemuinya, dan pakaikanlah khirqa ini kepadanya. Sesungguhnya aku melihatmu akan menemui ajal di tengah perjalanan. Bilamana hal tersebut akan terjadi, maka titipkanlah jubah ini kepada orang yang engkau percayai.”

 Kemudian pergilah Al-Syaikh Abdurrahmanari Tilmisan ke Hadramawt. Ketika sampai di Kota Makkah, ia pun disergap sakratulmaut. Maka, kemudian diserahkannya jubah tadi kepada muridnya, yaitu Al-Syaikh Abdullah Al-Salih al-Maghriby seraya berpesan agar menyampaikannya kepada yang berhak. Hingga Syaikh Abdullah sampai ke Tarim dan menyerah-terimakannya kepada Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali, sebagaimana yang diamanahkan Abu Madyan.

Al-Faqih al-Muqaddam (1176–1264) kemudian dikenal sebagai founding father aliran tasawuf yang biasa disebut sebagai Tarqa ‘Alawiyya di kalangan komunitas ‘Alawiyyin—yakni, anak-keturunan ‘Alwi bin ‘Ubaydillah, cucu Imam Ahmad bin ‘Isa al-Muhajir (820–924), sang pemuka keturunan Nabi yang kali pertama hijrah ke Hadramawt. Syaikh Abu Madyan (1126–1198) adalah salah seorang guru terpenting Ibn ‘Arabi—yang dipanggilnya dengan penuh penghormatan sebagai Syaikh al-Mashayikh (Syaikhnya Para Syaikh). Menurut catatan, pemberian khirqa dari Syaikh Abu Madyan kepada al-Faqih al-Muqaddam merupakan awal tenggelamnya beliau dalam suluk (perlancongan spiritual), mujahadah (upaya keras menundukkan nafsu rendah) dan riyad}ah (latihan-latihan spiritual) yang menjadi tonggak-tonggak tasawuf.

Imam Idrus bin Umar al-Habsyi, salah seorang ulama besar dalam tarekat ini, menulis: “Sesungguhnya tarekat ‘Alawiyya, lahiriahnya adalah ilmu-ilmu agama dan amal, sedangkan batiniahnya adalah mewujudkan maqamat (stasiun-satasiun spiritual yang merupakan hasil upaya meraihnya dan bersifat tetap) dan ahwal (keadaan-keadaan spiritual) tak permanen berian Tuhan). Adabnya adalah menjaga rahasia-rahasianya dan cemburu terhadap penyalahgunaannya. Jadi, lahiriahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali, adalah (kepemilikan) ilmu dan beramal menurut cara yang benar. Sedangkan batiniahnya, seperti yang diterangkan oleh asy-Syadzili, adalah mewujudkan hakikat dan memurnikan tauhid.” Definisi Imam Idrus memang tak menyebut Ibn ‘Arabi mengingat, dalam lingkungan tarekat ini, ajaran Ibn ‘Arabi dibatasi aksesnya hanya pada kaum elite spiritual (khawash) saja. Bagaimanapun, sebagai sebuah ajaran tasawuf, prinsip cinta dan metode dakwah damai menjadi ciri utama tarekat ini. 

Tarekat ‘Alawiyya di Nusantara
Para pengikut tarekat ‘Alawiyya—yang umumnya dimotori oleh kaum haba’ib (tunggal: habib)—inilah yang, melalui diaspora mereka, kemudian berperan penting dalam penyebaran Islam ke seluruh dunia, khususnya ke Afrika dan Asia Timur Jauh, termasuk Nusantara. Hampir merupakan suatu kesepakatan bahwa warna Islam NU yang bersifat “tradisional” adalah warisan dari tarekat ‘Alawiyya ini. Bahkan, menurut salah satu versi, delapan dari sembilan Wali Songo melacak silsilahnya kepada Azhamat Khan, seorang tokoh dari lingkungan ‘Alawiyyin yang berakar di Hadramawt.

Yang menarik—sebagaimana disimpulkan dari berbagai penelitian, termasuk oleh Azyumardi Azra—perkembangan ‘irfan (gnostisisme Islam) Ibn ‘Arabi di Nusantara terutama dibawa oleh para pemikir dari lingkungan ini atau murid-murid mereka. Termasuk di dalamnya Hamzah Fansuri (1550–1605) dan, muridnya, Syamsuddin Sumatrani (w.1630), Abdul Ra’uf Sinkili (1024–1105), Syaikh Yusuf Makassari (1037–1111), Abdul Shamad al-Palembani (1704–1785), Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710–1815), bahkan juga Syaikh Nuruddin al-Raniri (1068–1658).

Al-Raniri pernah belajar ke Hadramawt dan disebut-sebut sebagai pengikut tarekat al-‘Aidrusiyah. Gurunya ketika di India adalah Abu Hafs ‘Umar bin Abdullah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhrami yang juga dikenal sebagai Sayid Umar al-‘Aydrus (atau al-‘Aydrusi pengikut tariqa ‘Aidrusiyah?), yang berada dalam satu rantai perguruan dengan Ahmad al-Qushashi. Al-Qusyasyi sendiri adalah murid beberapa ulama tarekat ‘Alawiyya lainnya termasuk, Sayid Ali al-Qab’i, Sayid Abi al-Ghayts Syajr, dan Sayid As’ad al-Balkhi. Pada gilirannya, al-Qushashi merupakan guru dari para ulama tarekat ‘Alawiyya yang, antara lain, menjadi guru-guru al-Raniri.

Abd al-Ra‘uf Sinkili, adalah murid Al-Qushashi, guru dari para ulama dari tarekat ‘Alawiyya, dan Ibrahim al-Kurani, murid al-Qushashi. Al-Kurani dikenal luas sebagai penulis It-haf al-zaki, sharah atas al-Tuhfah al-mursalah ila ruh al-nabiy karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanfuri, yang dianggap bertanggung jawab atas penyebaran pikiran-pikiran ‘Irfa>n Ibn ‘Arabi di Nusantara. Kepada Al-Kurani juga silsilah Syaikh Yusuf Makassari bersambung. Selain al-Kurani, di antara guru-guru al-Makassari ini termasuk Umar bin Abdullah Ba Syaiban, yang juga guru al-Raniri, dan Sayid ‘Ali al-Zabidi atau Ali bin Abi Bakr dari tarekat ‘Alawiyya. Abdul Shamad al-Palembani bahkan adalah seorang ‘a>lim Sayid keturunan Yaman. Ayahnya adalah Syaikh Sayid Abdul Jalil—ada yang mengatakannya bin Abdullah atau bin Abdurrahman—bin Syaikh Abdul Wahhab al-Mahdani. Pada gilirannya, Muhammad Arsyad al-Banjari adalah murid dari al-Palembani.

Seperti disinggung sebelumnya, sebagai suatu metode tasawuf, tarekat ‘Alawiyya mempromosikan jalan akhlak, cinta, dan perdamaian. Inilah persis yang mencirikan berbagai kegiatan dakwah di lingkungan tarekat ‘Alawiyya. Selain sifat apolitis dan pilihan tema-tema yang cenderung menekankan pada penyucian hati lewat pembinaan akhlak dan ritual, dakwah tarekat ‘Alawiyya juga bersikap toleran dan inklusif, tak membeda-bedakan audience dari segi status sosial atau keagamaan. Seperti juga kita lihat pada kiprah para Habib di Nusantara sejak dulu sampai sekarang, tak jarang pengajian mereka dihadiri para (mantan) preman, pejabat—yang mungkin diragukan integritasnya—artis, bahkan tak jarang pengikut agama lain. Hal ini, antara lain, terungkap dari hasil penelitian para pengamat asing, seperti Mark Woodward (Arizona State University, penulis Islam in Java) dan Engseng Ho (Duke University, penulis The Graves of Tarim), yang berbicara dalam Seminar “Dakwah Damai ‘Alawiyyin/Habaib di Nusantara”, 14–15 Agustus 2012 tahun lalu, di Jakarta. 

Peran puisi atau syair dalam ‘Irfan 
Penggunaan puisi dalam tasawuf adalah sesuatu yang sudah lumrah. Ada beberapa fungsinya. Yang pertama, sebagaimana terjadi juga dalam ilmu-ilmu keislaman lainnya, puisi berfungsi untuk meringkas pelajaran yang panjang-panjang, agar tak terlalu memakan waktu dalam mendarasnya dan, kadang juga, untuk keperluan memudahkan hafalan. Contoh yang populer adalah buku pelajaran tata bahasa Arab berjudul Alfiyah, karya Ibn Malik yang menjadi buku standar di pesantren-pesantren kita. Namun, ada juga contoh lain di bidang ilmu filsafat, yaitu Syarh al-manzhumah karya Syihabuddin Suhrawardi.

 

Kedua, puisi tentu juga berfungsi untuk menyematkan keindahan pada tulisan-tulisan prosa biasa yang “kering”. Dengan memilih puisi, tulisan bermakna sama terkadang terasa lebih enak dan menarik untuk dikonsumsi. Terkait dengan ini, ada juga fungsi puisi untuk lebih menyentuh emosi/hati. Umumnya puisi bertujuan begini sedikit banyak menyentuh juga kandungan sufistik. Contoh, lagi-lagi yang populer, adalah bacaan maulid Nabi berjudul Simth al-durrar karya Habib ‘Ali al-Habsyi, yang banyak dibaca di negeri kita, khususnya pada malam Jumat. Dengan cara ini, meski mungkin tak semua kandungan tersampaikan, memilih format puisi terkadang lebih efektif. Yang lebih serius dari itu semua adalah, puisi juga memiliki kelenturan jauh lebih besar untuk menampung kandungan-kandungan pengertian yang tidak sepenuhnya bersifat rasional-logis. Yang relevan dengan pembahasan kita ini adalah peran puisi dalam menampung dan menyampaikan kandungan pengalaman imajinal (estetik) dan keagamaan (mistikal). Bahasa biasa yang diikat erat dengan tata bahasa terlalu rigid untuk dapat menampung pengalaman psikologis-religius yang sangat cair dan tak memiliki batas-batas dan “plot” yang jelas. Dengan mudah kita bisa mengambil Mathnawi-e Ma’nawi karya Jalaluddin Rumi, atau karya-karya Hafizh, Jami’, bahkan al-Hallaj (Diwan al-hallaj) dan Ibn ‘Arabi (Diwan syamsi tabrizi), dan tentu saja puisi-puisi sufi Ibn Faridh sebagai contoh-contohnya. Bersama fungsi terakhir puisi yang akan segera saya sebutkan setelah ini, inilah saya kira alasan utama para sufi memiliki preferensi atau, setidaknya, merasakan urgensi memanfaatkan puisi. Nah, fungsi terakhir puisi adalah sebagai alat untuk menyamarkan (encrypt) kebenaran-kebenaran esoteris (batin, rahasia) yang ditangkap kaum elite (khawwash), yang tak boleh sembarangan dibagikan kepada orang awam.

 

Seperti kita ketahui, sebagian sufi malah secara eksplisit membagi karya-karyanya berdasarkan tingkat kesiapan konsumennya. Imam Ghazali, misalnya, menyatakan bahwa Bidayah al-hidayah dia tulis untuk orang awam, sementara Mishkat al-anwar untuk khawash. Tampaknya, meski semua alasan yang disebut di atas berlaku, tiga fungsi terakhir inilah juga yang kiranya menjadi alasan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih, penulis buku ini, untuk menggunakan puisi atau syair dalam bukunya. Kandungan esoteris al-Rashaf?t jugalah saya kira yang menjadi penyebabnya. Dan, di bawah ini akan saya sebutkan beberapa indikasinya.

Kandungan ‘Irf?n dalam al-Rashaf?t
Meski boleh jadi akan lebih tampak di percikan-percikan selanjutnya—yang akan terbit secara bertahap menyusul bagian pertama ini—sudah tampak beberapa indikasi pengaruh tasawuf Akbarian dalam buku yang ada di tangan pembaca ini, khususnya di “Percikan IV”. Meski tak pelak dominan pengaruh umum tasawuf filosofis atau gnostisisme Islam (‘irfan), termasuk di dalamnya pemikiran Abdul Karim al-Jilli, tentu Imam Ghazali, dan sebagainya, bukannya absen, saya merasa pengaruh Ibn ‘Arabi terasa paling kuat. Di antara berbagai tema yang penting adalah gagasan tentang kewalian (wilayah), emanasi Ilahi (al-fayd} al-Ilahi) dari Tuhan Yang Satu kepada makhluq yang jamak (beragam), dan gagasan tentang al-Insan al-kamil (Manusia Paripurna) sebagai penampung sempurna sifat-sifat/rahasia-rahasia-Nya—di Nusantara masuk ke dalam salah satu martabat tujuh wujud, baik dalam bentuk martabat Wah{dah (Nur Muh{ammad) maupun martabat Insan Kamil itu sendiri. Terkait dengan itu, juga disingung-singgung gagasan tentang manusia sebagai mikrokosmos (al-‘alam al-shaghir) vis a vis alam semesta sebagai makrokosmos (al-‘alam al-shaghir). Meski, sekali lagi, boleh jadi pengaruh bisa datang dari ‘a>rif lain, yang pasti ia tak datang hanya dari al-Ghazali atau para sufi “ortodoks” lainnya.

Nah, jika benar begitu, kemungkinan (salah satu) alasan pemanfaatan syair dalam buku ini sebagai semacam penyamaran kebenaran-kebenaran esoteris di hadapan orang awam menjadi lebih mungkin. Pasalnya, para pemimpin, termasuk para sufi dari kalangan mereka—tak terkecuali Habib Abdullah Ba ‘Alawi al-Haddad, guru penulis al-Rashaf?t ini—tidak menganjurkan orang-orang awam yang tak punya dasar cukup untuk mempelajari pemikiran Ibn ‘Arabi. Tentu karena kompleksitas yang justru dapat menyebabkan kesalahpahaman, bahkan kesesatan. Atau, setidaknya, justru merendahkan Ibn ‘Arabi karena pemahaman mereka yang dangkal.

Hal ini, antara lain, disebutkan oleh Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (l. 1849 M)—yang dikenal sebagai Habib (Keramat) Empang, Bogor—yang menegaskan bahwa larangan hanyalah berlaku untuk orang-orang yang tidak mendalami pemikiran-pemikiran (‘irfan) seperti ini. Menurut beliau, bagi yang benar-benar mendalaminya—dan dengan niat yang ikhlas untuk mendapatkan kebenaran—tak ada lain kecuali manfaat berlimpah yang bisa dihirup darinya. Tidak hanya bagi kaum elite (khawash) yang mempunyai akses kepadanya, tetapi juga bagi kaum awam yang akan dapat ikut menikmati buah pencerahan-pencerahan lewat ajaran mereka, baik dalam bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dapat melahirkan pemahaman diri, pengembangan kehambaan (‘ubdiyya) kepada Allah Subhana-Hu wa Ta’ala, ataupun pemilikan akhlak mulia yang merupakan dampak pemahaman diri dan kesadaran kehambaan (‘ubudiyya). (Agar akhirnya), persis seperti kata hadis: “Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa Rabbahu” (Siapa yang mengenali dirinya, mengenali Rabb-Nya).

Akhirnya, saya mendapatkan kesan bahwa penulis sharah yang piawai ini, Ismail Fajrie Alatas, tetap berusaha setia kepada tradisi tarekat ‘Alawiyya ini. Meski di sana sini tak pelak ia mengutip pandangan sebagian sufi dan pemikir esoteris, terasa dorongan untuk tetap memelihara pemahaman atas kandungan al-Rashaf?t sedemikian, agar terus accessible untuk pembaca pada umumnya. Mabruk, ya Ustaz Ajie. Jazakumullah khayr kathir telah bersusah payah membawakan karya penting ini ke hadapan masyarakat. Kita semua menunggu lanjutan karya ini—dan terjemah karya-karya pemikir tasawuf lain dari kalangan tarekat ‘Alawiyya, yang belum banyak diketahui—dengan penuh antusiasme. Bi ‘awni-Hi Ta’ala.

    

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *