Satu Islam Untuk Semua

Friday, 10 January 2014

AKHLAK OPLOSAN


seewhatmitchsee/Photos.com

Tewasnya 17 orang pada malam pergantian tahun baru di Mojokerto masih menjadi obrolan seru di lapak Sate Padang Ajo Rantau yang petang itu didatangi para pembeli setia seperti Boyon, Toro, Frans dan Tan Leman.

            “Kok masih ada saja orang dungu yang sia-sia membuang nyawa karena miras oplosan,” ujar Tan Leman sambil membaca berita koran yang ada di meja. “Jumlah korban seluruhnya 29 orang, 17 orang tewas dan 500 liter miras disita aparat kepolisian.”

            “Baguslah,” timpal Toro sambil membuka sebuah kantung plastik keripik balado. “Makin banyak orang dungu yang mati seperti itu, makin berkurang parasit di masyarakat. Biarkan saja oplosan merajalela,” lanjutnya dengan dialek Jawa yang meletup-letup.

            “Lho, kok aneh sekali pendapatmu?” sergah Boyon sambil mengintip-intip Ajo Rantau yang masih sibuk mengipas sate.

            “Di mana anehnya?” jawab Toro. “Kalau yang mati itu orang baik-baik karena keracunan makanan, kita boleh sedih. Tapi untuk orang-orang seperti itu kita justru bersyukur. Orang normal untuk minum alkohol saja akan berpikir seribu kali. Tanyalah sama Frans yang dari Papua ini.”

            “Betul itu Pomo. Di tempatku itu orang kalau sudah minum, hilang akal sehatnya. Di dekat pulau Namatotta di daerah Kaimana, ada pengusaha perikanan yang mempunyai anak buah semuanya orang Papua, baik sebagai nelayan atau yang bekerja di bagian pemrosesan dan pengalengan. Dia bilang semua yang bekerja pada saya rajin-rajin kecuali kalau ada yang sampai minum dan mabuk. Kalau ketahuan orang seperti itu akan langsung saya keluarkan,” papar Frans.

            Ajo Rantau mulai membagikan satenya yang terkenal di seantero Pasar Kranggan. Wangi kuah sate membuat rasa lapar bertambah tiga kali lipat. “Daging sate Ajo ini asli sapi atau dioplos seperti heboh daging bakso yang dicampur daging tikus?” ujar Tan Leman dengan maksud berkelakar.  Tapi karena urat senyum di wajahnya sudah lama tak digunakan, tak pelak Ajo Rantau tersengat mendengar pertanyaan itu. “Astaghfirullahal adzim.  Meski Ajo hanya tukang sate, tapi Ajo tahu mana yang hak mana yang batil, dan keduanya tak boleh dicampur aduk seperti firman Allah Wala talbisul haqqa bil bathili,” jawabnya agak sewot.

            “Sudahlah Jo, Tan Leman kan hanya bercanda,” timpal Toro sambil mengunyah sate pertamanya. “Sekarang ini oplosan itu bukan hanya pada minuman dan makanan, tapi juga masuk ke ruang tamu semua rumah di Indonesia.”

            “Hah? Oplosan apa maksudmu?” ujar Ajo terkejut.

            “Itu goyang oplosan berjamaah,” jelas Toro. “Meski lirik lagunya bermaksud bagus: Tutupen botolmu tutupen oplosanmu/emanen nyowomu ojo mbok terus teruske/mergane ora ono gunane (Tutuplah botolmu tutuplah oplosanmu/ sayangi nyawamu jangan kau terus teruskan/karena tidak ada gunanya), masak tiap malam dibuat siaran langsung goyang berjamaah? Apalagi sering ada ibu-ibu tua disuruh gaya macam-macam. Katanya pada yakin bahwa surga di bawah kaki ibu, kok ibunya dibiarkan jadi obyek guyonan di teve nasional!” kecam Toro sambil mendesis kepedasan.

            “Soal goyang oplosan berjamaah itu ambo masih bisa maklum,” ujar Ajo Rantau. “Daripada goyang di tempat umum, kan ada baiknya orang-orang miskin seperti ambo sekeluarga goyang di rumah mengikuti acara televisi. Kalau capek, tinggal minum air putih, bukan arak oplosan,” katanya sambil berdiri dan memeragakan beberapa gaya goyang oplosan yang membuat semua tertawa, termasuk Tan Leman.

            “Tapi Ajo keliru kalau bilang goyang seperti itu hanya jadi hiburan orang miskin,” timpal Frans. “Aku diajak seorang kawan menghadiri acara Old & New di sebuah hotel mewah. Tahu apa acara bagi anak-anak yang hadir?”

            “Lomba goyang berjamaah?” tebak Boyon yang diam-diam sudah menghabiskan porsi satenya. “Pasti itu.”

            “Betul,” jawab Frans terkekeh-kekeh. “Tapi kebayang nggak kalau anak-anak peserta itu banyak yang anak-anak ekspat? Karena lomba pun dijelaskan dalam bahasa Inggris!”

            “Astaga?” Ajo Rantau terkejut. “Ciyus, Toro? Miapah?” katanya mencoba bergaya bahasa anak muda. Tapi tak ada yang tertawa.

            “Ada oplosan berjamaah lain yang lebih berbahaya bagi bangsa kita,” ujar Boyon dengan gaya caleg sedang kampanye. “Kalau oplosan itu juga berarti mencampuradukkan yang hak dan batil seperti dijelaskan Buya Ajo Rantau tadi,” katanya sambil menekankan kata Buya, “maka perilaku koruptor kita adalah contoh akhlak oplosan dalam bentuk paling gamblang. Bayangkan saja, jika itu tersangka koruptor perempuan, mendadak langsung pakai hijab ketika kasusnya terbongkar. Jika tersangka koruptor itu laki-laki, dari sebelumnya berkomentar sekeras geledek bahwa dia tak bersalah, hanya korban fitnah, sampai berani menanggung risiko dihukum di muka umum, eh giliran dipanggil KPK saja langsung menyiapkan seribu dalih dan mendadak lebih licin dari belut sawah di musim hujan. Benar, nggak?”

            “Astaghfirullahal adzim. Benar juga pendapatmu, Yon,” ujar Ajo Rantau. “Berarti akhlak oplosan ini ada di setiap lapisan masyarakat ya?”

            “Itulah sebabnya mengapa negeri ini sulit maju, karena para pejabat yang berpendidikan tinggi saja banyak yang tidak bisa menjadi teladan kebaikan,” kecam Tan Leman. “Semoga nanti saat kau menjadi atasan, kau terhindar dari akhlak oplosan itu, Boyon.”

            “Amin,” Ajo Rantau menengadahkan tangannya. “Ajo berdoa semoga kalian yang muda-muda ini nanti, apakah dari Sumatra, Jawa, Papua, ketika giliran sudah tiba untuk menjadi pemimpin, menjadi atasan, bisa menegakkan keadilan yang sebenarnya.

            “Saya tidak mau menjadi atasan,” ujar Boyon dengan serius sambil menggebrak meja, membuat orang-orang di sekitarnya terkejut.  “Saya mau jadi bawahan saja.”

            “Lho kenapa? Kalau anak-anak muda idealis sudah tak ingin menjadi atasan, bagaimana nasib negeri ini nanti?” sahut Tan Leman.

            “Harga atasan itu di Tanah Abang cuma dihargai seribu tiga, Saudara-saudara,” senyum jahil mengembang di bibir Boyon. “Masih lebih mahal harga bawahan, bisa 10 ribu sepotong.”

            “Ah, kalau itu setuju ambo,” ujar Ajo Rantau tergelak. “Ada-ada saja kau, Boyon.” []

*) Akmal Nasery Basral

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *