Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 30 November 2016

Ahmad Baso: Masukkan Aksara Jawi, Pegon dan Hanacaraka ke Kurikulum Pendidikan Kita


islamindonesia.id – Ahmad Baso: Masukkan Aksara Jawi, Pegon dan Hanacaraka ke Kurikulum Pendidikan Kita

 

seminar-inventarisasi-karya-pemuka-dan-tokoh-agama

Saat hadir dalam Seminar Inventarisasi Karya Pemuka dan Tokoh Agama yang dinisiasi Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dan berlangsung di Bekasi pada hari Rabu sampai Jumat (23-25/11/2016) yang lalu, penulis buku-buku pesantren dan ke-NU-an, Ahmad Baso mengajukan wacana agar instansi dan pejabat pemerintah yang menangani bidang pendidikan memasukkan aksara Jawi, Pegon dan Hanacaraka ke dalam kurikulum pendidikan. Menurutnya, hanya dengan cara itu pelajar madrasah dan mahasiswa IAIN akan dapat kembali membiasakan diri dalam mengenal khazanah keilmuan Islam di luar buku-buku referensi beraksara Latin.

Setelah katalogisasi dan digitalisasi karya ulama Nusantara, kata Baso, tugas utama Kemenag lebih lanjut adalah melakukan substansialisasi kurikulum bacaan untuk para pelajar di sekolah-sekolah. Hal ini dimaksudkan agar, setidaknya mereka dapat mengakses karya ulama terdahulu seperti karya-karya para Sunan atau Walisanga. Sayangnya, selama ini mereka tidak bisa membaca karya para ulama yang ditulis dalam aksara Jawi, Pegon, dan Hanacaraka, karena mereka hanya diperkenalkan pada kitab atau buku-buku beraksara Latin.

“Bahan bacaan buku agama anak-anak kita selama ini hanya beraksara Latin, bukan bahan bacaan beraksara Arab, Pegon, Jawi, dan Hanacaraka,” kata Baso.

[Baca: BUDAYA – Mengenal Aksara Arab Pegon: Simbol Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara]

Lalu bagaimana cara mengembalikan aksara Jawi, Pegon, dan Hanacaraka ke bangku sekolah?

Beberapa hal yang dapat ditempuh, masih kata Baso di antaranya, dengan secara massif menjadikan semua karya beraksara Jawi, Pegon dan Hanacaraka ini sebagai bahan ajar di sekolah. Di saat yang sama, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kemenag juga mesti menempuh upaya sinkronisasi dengan instansi pendidikan lain yang terkait seperti Pendis dan lainnya.

“Selama ini anak-anak kita justru terbiasa membaca buku-buku di luar karya ulama Nusantara seperti Wahabi, atau karya ulama Timur Tengah lain seperti Yusuf Qardhawi atau Wahbah Az-Zuhayli. Padahal wajah Islam Nusantara tampak dari karya para ulama Nusantara itu. Ini semua bisa digali lewat karya mereka yang antara lain berbahasa Jawi, Pegon, Hanacaraka, dan aksara lokal Indonesia lainnya,” pungkas Baso.

Apa yang disampaikan Baso memang beralasan. Karena faktanya, saat ini aksara Jawi, Pegon dan Hanacaraka itu tak lagi dikenal oleh masyarakat Islam secara luas. Padahal, menurut sejarahnya, semua aksara tersebut telah digunakan secara luas oleh para penyiar agama Islam, ulama, penyair, sastrawan, pedagang, hingga politikus di kawasan dunia Melayu pada masa lalu.

Tak dapat dipungkiri bahwa peran penjajah juga mempunyai pengaruh dalam menggerogoti berkurangnya pemahaman tentang aksara-aksara tersebut. Sebab, pada masa penjajahan dalam pemerintahannya, tulisan yang digunakan untuk urusan negara adalah dengan menggunakan aksara Latin. Sedangkan aksara Jawi, Pegon dan Hanacaraka justru terisolir dari masyarakat, khususnya di dunia pesantren. Keadaan ini jauh berbeda dengan sebelum penjajah menginjakkan kakinya di bumi Nusantara.

Tak heran, pada tahun 2007, saat diselenggarakan Kongres Ijtima Ulama Nusantara ke-2 di Malaysia, ada ulama asal Indonesia, yakni KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) telah menyampaikan betapa kelestarian tradisi salaf sedang berada dalam tahap kritis. Beberapa ajaran salaf mulai terlupakan, salah satunya adalah aksara Jawi dan Pegon. Penggunaan aksara-aksara itu, dalam penulisan karya-karya keilmuan Islam, mulai ditinggalkan secara perlahan.

Untuk itulah Mbah Moen dalam banyak kesempatan tak henti-hentinya memotivasi beberapa pihak untuk senantiasa mentradisikan salaf, termasuk menghidupkan kembali penggunaan aksara Jawi, Pegon dan lain-lain dalam pengajaran Islam bagi para pelajar di sekolah dan bagi para santri di pesantren-pesantren di Tanah Air.

Agar tercipta generasi Islam masa kini yang tak mudah melupakan sejarah, dan agar mereka mampu mengakses khazanah keilmuan Islam dan karya-karya ulama salaf Nusantara berupa ratusan kitab klasik yang bernilai tinggi, maka sudah selayaknya harapan ulama dari dua generasi ini diperhatikan pihak pemerintah, dalam hal ini khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *