Satu Islam Untuk Semua

Monday, 14 April 2014

(Adam) yang Telantar


www.bekamsteriljakarta.com

Bagaimana Islam memandang perihal bayi telantar dan orang-orang lemah lainnya?

 

Kasus penelantaran bayi atau anak-anak di bawah umur, tampaknya tak bisa dianggap enteng. Betapa tidak, meski undang-undang negara maupun agama telah memberi aturan tersendiri terkait perlindungan anak, namun kenyataannya penelantaran dan kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan.

Sepanjang 2013, berdasarkan data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Pusaka Indonesia, setidaknya 236 anak di Sumatera Utara (saja) menjadi korban kekerasan. Sementara menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sekitar 48 % dari 2.637 kasus ditangani Komnas PA. Sepanjang 2012, Komnas PA mencatat terjadi 162 kasus pembuangan bayi di Indonesia.

“82 Kasus di aliran sungai, 26 kasus di tempat sampah, 18 kasus di halaman rumah, 7 kasus di rumah sakit, 10 kasus di semak-semak, 2 kasus masing-masing di terminal dan pasar, 13 kasus di selokan dan 2 kasus di pemakaman,” ujar Samsul akhir tahun lalu seperti dikutip Kompas.com.

Bahkan, dalam satu bulan terakhir, beberapa kasus terkait penelantaran bayi ini pun sempat menggemparkan masyarakat. Karesidenan Banyumas dikagetkan dengan pembuangan bayi yang dilakukan orangtuanya, warga Dusun Danasri Desa Jeruklegi Kulon Kecamatan Jeruklegi.

Tak berselang lama, Cilacap kembali digegerkan dengan kasus serupa. Bayi berjenis kelamin perempuan ditemukan seorang warga, Sunarto. “Ketika habis sahur dan hendak ke belakang rumah, tiba-tiba ada suara tangisan bayi. Kemudian saya mendekat, ternyata itu bayi beneran. Saya pun langsung memanggil tetangga sekitar,” kata Sunarto.

Bukan hanya di Cilacap, kasus yang sama juga terjadi di Jakarta, ketika seorang pedagang asongan dititipkan seorang bayi perempuan oleh seorang laki-laki. Belakangan diketahui bahwa laki-laki tersebut merupakan pacar sang ibu bayi, yang merasa terganggu dengan kehadiran sang bayi dalam hubungan percintaan mereka.

Tak pelak lagi, terjadinya sederet kasus penelantaran terhadap bayi ini, mengingatkan kita semua pada “perjuangan” hidup Adam, saat konon dikeluarkan dari surga.

Ya, Adam as. membutuhkan waktu dan perjuangan yang begitu panjang hingga akhirnya bisa berjumpa dengan Hawa. Adam, Bapak para penghuni bumi ini lah yang merupakan cikal bakal adanya manusia-manusia selanjutnya para penghuni dunia. Bahkan, ada pula yang mengatakan, berkat jasa Adam inilah kita bisa menikmati indahnya alam dunia.

Sayangnya, saat ini, berapa banyak (Adam-Adam) di bumi ini yang justru hidup telantar dan tidak “dikehendaki” untuk hadir di bumi-Nya? Lantas, apa yang (mungkin) dirasakan Adam, Sang Bapak Pertama, ketika melihat anak cucunya sedemikian tidak terurus saudaranya sesama keturunan bani Adam?

Pandangan Islam terhadap bayi telantar dan orang-orang lemah lainnya.

Yang kurang beruntung dalam masyarakat mendapat tempat khusus dalam Islam. Nabi Saw. memberikan contoh yang tak terhitung tentang bagaimana memperlakukan orang yang kurang beruntung.

Ajaran Islam mendorong produktivitas dan kemandirian, mereka juga memberikan penekanan kuat pada konsep amal dan kebajikan.

Allah telah menjanjikan manfaat besar kepada mereka yang memenuhi kebutuhan orang-orang miskin, anak yatim, janda lemah, pengungsi dan korban kelalaian atau penyalahgunaan.

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya; kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada tuhannya.” (QS Al Isra: 26-27).

Rasul, Saw. bersabda, “Barangsiapa memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.” (HR Turmudzi).

“Aku dan pemelihara anak yatim, akan berada di syurga kelak” (H.R. Bukhari), ujar Rasul sambil mengisyaratkan dan mensejajarkan kedua jari tengah dan telunjuknya.  

Dalam hadis lain, Rasul bersabda, “Sebaik-baik rumah tangga Muslim ialah yang di dalamnya ada anak yatim yang dilayani dengan baik” (H.R. Ibnu Majah).

Bukhari dan Muslim ra. meriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa Nabi Saw. bersabda, “Sekiranya aku sedang shalat dalam bacaan ayat yang panjang, namun kudengar tangisan bayi, aku dekati sang bayi itu karena mengetahui betapa gelisah hati ibunya”

Rasul pun gemar mengusap-usap dan membelai rambut kepala atau menciumnya, kata Aisyah ra., bahwa Nabi Saw. menciumi Al-Hassan dan Al-Husin, di hadapan Al’aqra bin Habis lalu berkata:

“Ya Rasulullah , saya mempunyai sepuluh anak, tak seorangpun yang pernah kucium seperti engkau ini,” maka Rasulullah Saw. dengan tajam memandangnya, seraya bersabda “Siapa yang tidak memiliki rasa rahmat dalam hatinya, tidak akan dirahmati Allah Swt.”

Aisyah ra. juga meriwayatkan, “Datang seorang Badwi kepada Rasul : Kalian suka benar menciumi anak, sedang kami tidak pernah melakukan yang demikian itu. Maka Rasul segera membalas, ‘Apakah yang hendak kukatakan bila rahmat sudah hilang tercabut dari seseorang?’”

Al-Imam Ibnu Suniy dan Al-Imam At-Thabrani ra. meriwayatkan, “Rasul selalu menggembirakan hati anak-anak, dan bila datang seorang membawa bingkisan, berupa buah-buahan misalnya, maka yang pertama diberinya, ialah anak-anak kecil yang kebetulan ada di majlis itu.”

Senada dengan yang dicontohkan Nabi, para Sahabat pun ikut berlomba-lomba satu sama lain untuk mengadopsi anak yatim dan memenuhi kebutuhan miskin tersebut. Begitulah bagaimana periode Islam awal—yang begitu hati-hati dalam hal memelihara dan merawat kaum lemah dengan penuh bijaksana.

Minim Penghargaan 

Sayangnya, hari ini kita hidup di dunia kekejaman dan ketidakpedulian. Penyalahgunaan, kelalaian, pembiaran bayi, dan banyak masalah sosial lainnya. Beberapa di antaranya tidak bisa dibayangkan nenek moyang kita di masa lalu—yang kini kondisinya sedang mengalami peningkatan.

Sebagian besar kita senang berbicara tentang kekayaan yang terus meningkat, kemajuan ilmu pengetahuan dan pengetahuan tetapi kita diam-diam menderita penyakit egoisme, apatis dan pandangan dunia materialistik.

Ketika seseorang menghabiskan uang pada pesta ulang tahun mewah atau liburan mewah di Eropa misalnya, kita mengangguk setuju dan merasa itu merupakan hal yang biasa, wah, keren, hebat, dan bahkan menganggap mereka sebagai orang yang beradab. Namun, orang-orang yang berkorban untuk membantu orang di sekitar mereka kadang sering dilupakan dan minim penghargaan, atau bahkan tidak dihargai sama sekali.

Dr Mustafa Kamal Noradlina misalnya. Ia merupakan seorang dokter muda yang bekerja di Departemen Neurosurgical Rumah Sakit Kuala Lumpur. Di usianya yang masih sangat muda dan lajang, ia memutuskan untuk mengadopsi seorang bayi yang ditinggalkan pasien di rumah sakit tempatnya bekerja itu.

Tak ayal, keputusannya ini pun menimbulkan pro dan kontra. Dia menghadapi tantangan stigma sosial dari masyarakat setempat. Ia juga harus menghadapi kebimbangan antara mengejar ambisi karir dan mengabdikan dirinya untuk sang anak.

Beruntung, berkat dukungan ibu dan adiknya, niatnya pun semakin bulat. Ia mengadopsi bocah mungil yang diberi nama Adam Firhan oleh petugas Departemen Kesejahteraan Sosial, sejak 2010 lalu.

Berbagai Sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *