Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 17 September 2014

Adakah Islam Indonesia itu?


Mesjid Baiturrahman

Belakangan ini wacana agama banyak diwarnai dengan kekhawatiran menguatnya eksklusivisme legal-tekstual dan juga gagasan tentang Islam transnasional yang cenderung bermusuhan dengan budaya dan produk-produknya. Masih belum hilang ingatan kita kepada Talibanisme yang menghancurkan patung Budha di Bamiyan, Afghanistan, ketika sekarang kita dihadapkan pada gejala NI (Negara Islam, di Irak dan Syam) yang jauh lebih radikal, puritan, dan brutal di banding pendahulunya, bahkan di banding Alqaidah yang merupakan akar-awalnya. Bukan saja memusuhi dan mebantai semua kelompok yang berbeda dengannya, tak peduli Muslim atau bukan, kelompok ini menampilkan permusuhan luar biasa terhadap manifestasi-manifestasi budaya (lokal). Kita pun dikagetkan oleh isyarat-isyarat bahwa tawaran puritanisme NI ini ternyata seperti mendapatkan penerimaan  di kalangan umat Islam, tak terkecuali di negeri kita.

Di sisi lain, dengan menguatnya gejala globalisasi yang berakibat pada gejala derasnya arus homogenisasi-hegemonik “budaya Barat” – kalau ia bisa disebut sebagai budaya Barat – atas bangsa-bangsa, ada kekhawatiran memudarnya nasionalisme generasi muda kita, sekaligus kekhawatiran rentannya mereka terhadap pengaruh negatif/eksesif “budaya” luar itu. Karena itu menjadi penting revitalisasi wacana agama dan budaya demi memperbarui keyakinan kita mengenai kongruensi agama dan budaya, bahkan jika dilihat dari sudut pandang agama itu sendiri.

Ada beberapa cara yang dapat dipakai dalam memandang hubungan agama dan budaya, hubungan antara keberagamaan dan kebudayaan. Pertama, melihat agama sebagai menghargai budaya. Dalam Islam, kebangsaan dan etnisitas – yang menjadi lokus budaya — dilihat  secara positif sebagai sumber  kearifan (wisdom). “Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan suku-suku agar kamu dapat saling belajar kearifan (li ta’arafu). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu adalah yang paling sadar-Tuhan (bertakwa).” (Al-Qur’an 49:13).

Kedua, Tuhan juga mengakui relevansi bangsa-bangsa ketika menyatakan: “Bagi tiap-tiap umat seorang Rasul.” (Al-Qur’an 10:47), sehingga dikatakan dalam sebuah sabda Nabi bahwa jumlah seluruh nabi yang pernah diutus Tuhan adalah tak kurang dari 124.000 orang. Dari sini sebagian ahli menyatakan bahwa sesungguhnya peninggalan budaya – selama bisa dibuktikan tak bertentangan dengan aturan agama yang pasti keberadaan (qath’iy al-wurud) dan pemahannya (qath’iy al-dilalah) — sedikit atau banyak adalah peninggalan nabi. Dengan demikian, bukan saja ia boleh dianut, budaya memiliki tempat yang absah (legitimate), kalau tak malah memiliki tingkat kesakralan tertentu.

Dengan ungkapan berbeda,  dipandang dari perspektif syariah-diam — yang di dalamnya syariah dipercayai hanya mengatur sebatas tertentu domain kehidupan dan bersikap diam pada yang lainnya — budaya adalah bukanlah domain  (langsung) agama. Budaya masuk dalam “urusan-urusan dunia” (umur dunya) yang profan saja dan kembali kepada asal-hukum, yakni boleh-boleh (mubah) saja. Jika dipandang dari sisi syariah-liberal — bahwa syari’ah memiliki sifat keluwesan yang memungkinkannya menginklusi hal-hal yang tak secara spesifik dicakupnya — budaya bahkan (dapat) masuk dalam domain agama ketika pertimbangan kemaslahatan diutamakan. Di sini kemudian terlibat wacana tentang tujuan-tujuan – lebih tinggi/puncak – syari’ah  (maqashid syari’ah) yang lebih berorientasi pada kemaslahatan tersebut, sebagai berbeda dari tujuan langsung (legal-tekstual).  Inilah kurang lebih dasar pemikiran sebagian orang yang berupaya menunjukkan kesejajaran budaya dan agama, sebagaimana KH. Abdurrahman Wahid dengan gagasan pribumisasi Islam atau Tariq Ramadan dengan gagasannya tentang Muslim-Eropa.

Masih terkait dengan 2 ayat yang di kutip di awal pembahasan, dipandang dari sudut disiplin ‘irfan (tasawuf teoretis), budaya justru dapat memiliki tempat yang sakral dalam keberagamaan. Dalam ‘Irfan, Tuhan dipercayai sebagai Wujud Transenden yang, pada saat yang sama, ber-tajalli (bermanifestasi, mengejawantah) dalam ciptaan-ciptaannya. Sehingga, dalam konteks ini, Tuhan memiliki 2 sifat-paradoksal sekaligus, sifat transenden (tanzih) dan sifat imanen (tasybih) terhadap ciptaannya. Dalam kaitan ini, setiap ciptaan, sesuai dengan sifat-sifat-bawaannya (kesiapan, predisposisi, isti’dad-nya) merupakan wadah (mazh-har atau lokus) pengejawantahan Tuhan. Nah, Tuhan bermanifestasi bukan hanya pada ciptaan fisik, yakni fisik alam dan manusia,melainkan juga pada ciptaan-ciptaan non-fisiknya, termasuk hukum-hukum alam, hukum-hukum kemanusiaan (psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan sebagainya), termasuk budaya. Beragam budaya yang ada, dengan segala keunikannya, adalah lokus-lokus unik dari manifestasinya. Dengan kata lain, budaya adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan. Maka, sebagaimana mempelajari diri manusia dan alam semesta dapat memberi kita pengetahuan dan kedekatan dengan Tuhan, maka belajar dan menghayati budaya merupakan sumber pengetahuan dan penghayatan terhadap agama itu sendiri. Sebagai orang Indonesia, Muslim bukan hanya dapat  memeluk, melainkan wajib memelihara budaya Indonesia.

Kita bersyukur bahwa Islam yang masuk ke Indonesia, dan masih memelihara dominasinya saat ini di negeri kita, adalah Islam yang sejalan dengan pemahaman-pemahaman seperti yang diuraikan sebelumnya, khususnya Islam yang bersifat tasawuf (‘irfan).  Jenis Islam seperti inilah yang bisa dengan aman kita sebut sebagai Islam Indonesia, sebagaimana Islam dalam konteks budaya lain dapat disebut sebagai Islam dengan atribut yang berbeda. Dalam nilai-nilai-“pasti/fixed” (qath’iy)-nya Islam-Islam  itu memiliki kesamaan, tapi dalam hal budaya dapat bersifat beragam.

Karenanya, upaya krusial bagi revitalisasi penghayatan kebudayaan Indonesia dalam lingkup keberagamaan sesungguhnya jauh lebih mudah – meski sama sekali tak mudah melihat besarnya tantangan yang menghadang. Maka, sudah waktunya bagi seluruh komponen bangsa untuk mengerahkan semua sumber daya dan sarana yang ada untuk melakukan kerja besar yang akan sangat menentukan keberlangsungan bangsa kita sebagai kelompok manusia yang berdaulat dan beradab, yang mampu memberikan kontribusi positif bagi kemanusiaan, di masa-masa yang akan datang. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *