Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 25 February 2014

Abu Nawas Merayu Tuhan


http://beranekawarna.blogspot.com

Mungkinkah Tuhan kita rayu?

 

Abu Nawas melakukan aktivitas seperti biasa. Mengajar murid-muridnya, dan diakhiri dengan sesi tanya jawab.

“Ada yang mau bertanya?” Ujar Abu Nawas sebelum menutup kelas pengajaran.

Tak lama kemudian, salah seorang murid membuka mulut, “Guru, manakah yang lebih utama, orang yang melakukan perbuatan dosa besar atau orang yang melakukan perbuatan dosa kecil?” Tanyanya.

“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas enteng.

“Mengapa begitu,” kata orang pertama, tak puas.

“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas menjelaskan. Sang murid pun manggut-manggut, terlihat sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.

Murid selanjutnya unjuk gigi, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” Tanyanya, mengulang pertanyaan yang sama.

“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa demikian?” Tanya murid kedua, penuh keingintahuan.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas.

Sang murid kedua pun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.

Heran dengan jawaban gurunya yang terdengar plin-plan, murid berikutnya kemudian mengajukan pertanyaan yang sama pula, “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” Tanyanya, penasaran.

“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.

Tak puas dengan jawaban sang guru, ia pun memprotes, “Mengapa Guru memberi kami jawaban yang beda dari satu pertanyaan yang sama? Bukankah itu menunjukkan jika Guru plin-plan?”

Sambil tersenyum, Abu Nawas menjawab, “Untuk pertanyaanmu, pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem.

“Lantas?” Cecar sang murid.

“Manusia terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.

“Apakah tingkatan mata itu?” Tanya murid, serempak.

“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak di matanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.

“Lalu apakah tingkatan otak itu?” Tanya salah seorang murid, lagi.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.

“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya murid lainnya.

“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah Swt.,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

Semua murid dalam majelis ilmu itu pun mengerti. Tapi ada salah seorang murid kemudian mengajukan pertanyaan lagi, “Wahai Guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.

“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.

“Bagaimana caranya?” Tanya sang murid.

“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.

“Kalau begitu, ajarkanlah aku doa itu!” Ujar sang murid antusias.

Ilahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).

——

Abu Nawas merupakan salah seorang penyair terbesar sastra Arab klasik. Ia bukan hanya dikenal sebagai pujangga yang mampu menciptakan karya jenaka nan berkualitas, pintar dan penuh akal dalam menyelesaikan segala sesuatu. Tapi juga dinilai berbagai kalangan sebagai seorang sufi.

Ia lahir pada tahun 145 Hijriah atau 756 M dan meninggal 814 M di Kota Ahvaz, Persia (Iran). Konon, sastra merupakan salah satu alat bagi Abu Nawas dalam melakukan perjalanan panjang guna “menggapai” Tuhannya.

Beberapa literatur sejarah mencatat bahwa laki-laki yang memiliki nama asli Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami ini telah hidup pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid (Dinasti Abbasiyah). Ibunya bernama Jalban, wanita asal Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sementara ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *