Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 12 February 2017

Abdillah: Adakah Jaminan Gubernur Muslim Pasti Menguntungkan Mayoritas Muslimin di Jakarta?


islamindonesia.id – Abdillah: Adakah Jaminan Gubernur Muslim Pasti Menguntungkan Mayoritas Muslimin di Jakarta?

 

 

Di antara acara dalam aksi 112 di Masjid Istiqlal kemarin ialah sumpah untuk memilih pemimpin Non-Muslim menyusul pemungutan suara untuk Pilgub DKI tidak lama lagi. Hadir Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath yang memimpin ribuan massa aksi 112 untuk bersumpah.

“Aku bersumpah, demi Allah Yang Maha Agung, aku siap berjuang mengorbankan jiwa dan harta untuk bela Allah, bela Rasul, bela ulama, bela Quran, bela Islam,” katanya membuka sumpahnya.

Selanjutnya, mereka bersumpah untuk berjuang bersama para ulama di bawah komando imam besar umat Islam Habib Rizieq Shihab, siap untuk memenangkan gubernur yang sesuai dengan kriteria fatwa Majelis Ulama Indonesia.

“Yaitu pemimpin Muslim yang beriman dam bertakwa pada Allah SWT. Semoga Allah jadi saksi atas apa yang aku ucapkan,” katanya. 

Tidak hanya itu, aksi 112 juga diwarnai dengan spanduk dan poster yang menyatakan wajibnya memilih pemimpin Muslim dan haram untuk memilih pemimpin yang kafir.

Memang, tak setiap umat Islam memiliki pandangan seragam tentang makna dan defenisi terkait istilah “kafir” dan “Muslim”. Dari perbedaan ini, tak setiap Muslim juga memiliki pendapat yang sama soal boleh tidaknya pemimpin yang dinilai Non-Muslim atau Kafir di ibukota seperti Jakarta.

Lepas dari perdebatan itu, pengamat sosial-politik yang juga cendekiawan Muslim Abdillah Toha mencoba mengajak warga DKI yang beragama Islam untuk bagaimana seharusnya menempatkan diri dalam situasi perpolitikan Jakarta yang diikuti sentimen-sentimen primordial yang cenderung tidak rasional.

 Pertama, kita lebih dahulu harus sadar bahwa Jakarta sebagai bagian dari Indonesia memiliki Dasar Negara dalam bentuk Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan ideologi Pancasila,” kata salah satu pendiri Partai Amanat Nasional ini.

Dasar Negara yang kita sepakati ini, lanjut Abdillah, memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada seluruh warga negara, antara lain untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, tidak pandang bulu apa agama yang dianutnya atau darimana asal sukunya. Untuk melarang non-Muslim menjadi gubernur atau bahkan presiden, kita harus lebih dahulu mengubah konstitusi kita.

“Seperti contohnya di Argentina dimana konstitusi negeri itu menetapkan bahwa presiden hanya boleh dijabat oleh warga negara yang beragama Katolik,” jelasnya.

Kedua, kata eks pengurus ICMI dan HMI ini, kita harus berpikir dengan jernih dan tenang, gubernur seperti apakah yang kita dambakan untuk Jakarta. Apakah gubernur yang seagama dengan kita atau seideologi dengan kita atau bearasal dari suku yang sama dengan kita, tidak peduli kualifikasi dan karakternya.

“Atau seorang gubernur yang jujur, terbuka, dan berakhlak, yang kita percayai mampu memperbaiki nasib warga Jakarta?”

Ketiga, sebagai Muslim, apa aspirasi dan kekhawatiran Anda yang utama menyangkut kehidupan di Jakarta. “Apakah Anda khawatir gubernur yang terpilih akan merugikan kepentingan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya di Jakarta atau Anda lebih khawatir gubernur baru nanti tidak mampu mengatasi masalah kemacetan, banjir, sampah, dan sejenisnya?”

Keempat, sebagai warga Muslim biasa, bagaimana kita melihat posisi seorang gubernur. Apakah kita memandangnya sebagai pemilik Jakarta atau pemimpin yang sepenuhnya harus kita ikuti apa maunya dan menentukan segala sisi kehidupan kita termasuk kehidupan beragama.

“Atau kita memandang gubernur sekadar sebagai pelayan masyarakat atau sopir sebuah kendaraan yang bernama Jakarta dimana kita duduk sebagai penumpangnya untuk masa waktu kontrak tertentu?” kata jebolan Asia Pacific Center for Security Studies (APC-SS), Honolulu, Hawai ini.

Kelima, adakah jaminan bahwa gubernur yang Muslim pasti akan menguntungkan umat Islam sedang gubernur non Muslim pasti akan merugikan umat Islam yang mayoritas di Jakarta? “Bukankah bisa juga terjadi sebaliknya dimana seorang gubernur acuh terhadap kepentingan umatnya yang seagama tetapi justru lebih peka terhadap kepentingan warga yang tidak seagama dengannya, apalagi bila jumlahnya mayoritas?”

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas cukup beralasan untuk mengatakan bahwa sebagai Muslim barangkali kita akan menyesal di belakang hari bila kita salah langkah dan salah memilih seorang gubernur disebabkan oleh pertimbangan yang tidak rasional karena yang akan menanggung akibatnya juga mayoritas warga Jakarta yang kebetulan juga Muslim.

Namun demikian, semua itu tidak berarti bahwa warga Muslim Jakarta tidak boleh mencari calon gubernur Muslim. Justru sebaliknya. Bila hati nurani atau keyakinan agamanya teguh menghendaki adanya gubernur Muslim maka, atas dasar survei kekuatan Ahok saat ini, untuk menang tidak bisa hanya mengandalkan keislaman sang calon semata tetapi harus juga mengajukan lawan yang bisa menandingi popularitas, elektibilitas, dan kualitas Ahok.

Bila benar bahwa Ahok saat ini lebih unggul dari lawan-lawannya, dan fakta bahwa mayoritas warga DKI adalah Muslim, berarti sebagian besar pendukungnya adalah juga Muslim yang tidak suka menentukan pilihan atas dasar agama calon gubernur. Karenanya, lawan Ahok yang Muslim akan mengambil langkah yang keliru bila untuk mencuri suara pendukung Ahok dia tidak rasional dengan menonjolkan keislamannya.

“Ahok akan sangat bergembira bila hal ini terjadi karena justru yang demikian akan menjamin kemenangannya.”

Sebaliknya, bila lawan Ahok yang Muslim bertindak rasional dengan menghindar dari kampanye primordial, dia akan tetap mendapat dukungan suara primordial dan sekaligus peluangnya lebih terbuka untuk “mencuri” suara pendukung Ahok yang memandangnya sebagai lawan yang rasional.

“Pada waktu bersamaan, pilkada yang tidak dipanaskan oleh retorika agama akan berjalan lebih damai dan demokrasi kita menjadi lebih sehat,” katanya.

 

YS/ islam indonesia

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *