Satu Islam Untuk Semua

Monday, 03 March 2014

Abah Anom; Kewalian, Tarekat hingga Sikap Politik


foto: Noura Books

Pemilik nama lengkap, KH. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin, atau yang lebih dikenal dengan Abah Anom diyakini banyak orang merupakan seorang wali yang muncul diabad 21. Sifat-sifat ke-wali-annya terlihat  sejak beliau muda. Alkisah,  dia menikah dalam usia 23 tahun dan mendapat “hadiah” dari ayahnya, Abah Sepuh,  pergi ke tanah suci, Makkah Al Mukaromah, tahun 1938 dengan menumpang kapal laut “Semprong Bulao”  milik perusahaan Belanda.  Selama tujuh bulan di Makkah, beliau banyak melakukan perjalanan spiritual, termasuk belajar dari Syaikh Romli yang memiliki majelis diskusi tasawuf (ribath naqsyabandi) yang terletak di Jabbal Qubais.  Dua kitab tasawuf karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani; Sirr Al-Asrar dan Ghunyah Al-Thalibin, pun “dilahap” habis, belum lagi kitab tasawuf lainnya.  Perjalanan panjang itu memberinya pengalaman dan pengetahuan dalam berbagai bidang, meliputi tafsir, haids, fiqih, kalam (teologi), dan tasawuf.

Sekembalinya dari tanah suci, Abah Anom mengembangkan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, hingga menjadi tarekat dengan jumlah pengikut paling banyak di Nusantara, karena  tersebar diberbagai  pulau, bukan hanya di Jawa, tapi juga di Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Luar Negeri, seperti di Singapura, Malaysia, Brunei, Amerika, Jepang, Jerman, Australia, Belanda dan negeri lainnya.

Tidak sedikit yang mau belajar dari Abah Anom termasuk para petinggi negara ini. Mantan Presiden Suharto pada tahun 1995 pernah datang ke pesantren Suryalaya didampingi Mensesneg, Moerdiono. Dalam sebuat tulisan, penulis dan ilmuwan Belanda, Martin Van Bruinessen, mengatakan bahwa Abah Anom memiliki kedudukan khusus di mata Suharto. Kabarnya, Abah Anom-lah yang “mengislamkan” kembali Suharto yang sebelumnya menganut penghayatan “Kejawen”. Via Abah Anom juga Suharto belajar banyak tentang Islam dan dinamika keagamaan, termasuk “konsultasi” Suharto menjelang kejatuhannya.

Tidak hanya Suharto, mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau yang dikenal Gus Dur pun pernah “sowan” ke kediaman Abah Anom. Menurut cerita salah seorang pengurus pesantren Suryalaya, K.H. Zainal Abidin Anwar, Gus Dur rela antri menunggu bertemu dengan Abah Anom. Dan selama menunggu, Gus Dur menginap di kediamannya, yang terletak berdekatan dengan pesantren. Suatu ketika,Gus Dur juga pernah bikin heboh dengan membawa L.B Moerdani keliling pesantren dan menghampiri Suryalaya. Peristiwa ini sempat membuat “heboh” umat Islam, karena sikap politik LB Moerdani yang pernah merugikan umat Islam malah dibawa keliling pesantren.  

Saat menerima L.B. Moerdani, Abah Anom menunjukkan sikap kenegarawanan sekaligus sikap politiknya yang tidak tersekat perbedaan agama dan etnis. Pangersa (sebutan untuk Abah Anom) tidak ingin larut dalam arus kebencian yang tanpa ujung, tidka ingin tersekap dalam pusara sentimen perbedaan agama yang jika terus dipupuk akan menciptakan disintegrasi dan merusak kebhinekaan yang telah dibangun pendiri bangsa.

Banyak kisah menarik dalam buku karya Dr. Asep Salahudin  yang diterbitkan Noura Books (PT Mizan Publika). Selain seperti yang diceritakan diatas, juga ada cerita tentang ulama besar Indonesia, yaitu Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (atau yang dikenal  dengan HAMKA).  Hamka yang juga dikenal sebagai sastrawan dengan salah satu karya yang cukup fenomenal, “Tenggelamnya Kapal Var Der Wick”, tokoh Muhammadiyah sekaligus ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ternyata merupakan ikhwan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN).

Kembara intelektual ilmu dan ke-Islaman Hamka berlabuh di TQN  tahun 1981 melalui proses Talqin oleh Abah Anom.  Seorang ulama Singapura, H. Saleh Khan, menuturkan kesaksiannya bahwa ketika proses talqin hendak dilakukan, Abah Anom mengajak Buya Hamka memasuki ruangan keluarga yang tertutup. Ini dilakukan untuk memuliakan Buya Hamka sebagai ulama besar yang sangat berpengaruh agar proses talqin tidak dilihat orang banyak.

Dalam sebuah disertasi di Mc Gill University, Montreal Canada, yang berjudul “The Educational Role of The Tariqa Qodiriyya Naqsyabandiya with Special Reference to Suryalaya, disebutkan bahwa Buya Hamka sendiri pernah berujar bahwa dirinya bukanlah Hamka, tapi “Hampa”.

Selain pemaparan tentang ajaran dan filosofi Tarekat, buku setebal  234 halaman ini juga mengurai keterlibatan Abah Anom dalam politik. Ya, Abah Anom memang dikenal sebagai  tokoh partai Golkar yang dimasukinya saat berdirinya partai ini. Keberdaan Abah Anom di Golkar bukan sebagai praktisi politik, melainkan sebagai pribadi yang mengemban politik “nilai”. Salah satu ijtihad politiknya adalah etos dakwah dari dalam, dan tidak bertujuan untuk meraih jabatan. Golkar, kata Abah,  bukan hanya menjadi partai politik, namun juga pengemban “Golkir” (Golongan Zikir).

Yang hebat, meski dekat dengan kekuasaan, Abah Anom tidak kehilangan legitimasi umat. Abah Anom menjadi rujukan moral dan mata air keteladanan. Tidak mengherankan ketika setiap hari ratusan orang dari berbagai mahzab, bahkan lintas agama berbondong-bondong datang kekediamannya untuk silaturahmi. “Ditangannya, agama dan negara diakrabkan  tanpa saling menafikan. Keduanya diposisikan dalam medan yang setara,” ujar sang penulis buku ini.

Misi besar Abah Anom membesarkan TQN adalah upaya menjadikan pesantren berkiprah diarena global. Dari pesantren diharapkan muncul etika global, yang bukan hanya memberikan solusi atas berbagai masalah ke-umatan, tapi juga memperingatkan ketika masyarakat terjebak dalam kutuh ekstem, saat mereka tersekap kekerasan yang mengatasnamakan agama, politik, sosial, kebudayaan, ataupun kekerasan yang bersifat simbolik. [Sutono, Pewarta dan Inisiator Gerakan IslamDamai]

Judul: Abah Anom, Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya
Penulis: Dr Asep Salahudin
Penerbit:  Noura Books (PT Mizan Publika)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *