Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 04 February 2014

12 Tahun dalam Kebaikan


foto:hendijo

Kisah seorang Muslim yang secara ikhlas menjadi penjaga vihara

 

Waktu dzuhur baru saja tiba di Magelang dan sekitarnya. Suara adzan bersipongan dibawa angin yang meniup dedaunan sejumlah pohon  beringin besar yang ada di sekitar kompleks Candi Mendut. Di sebuah vihara tepat di depan candi, seorang lelaki sepuh bergegas turun dari pos penjagaan. Ia melangkah tenang ke arah mushola yang ada di kompleks vihara yang dihiasi oleh beberapa stupa tersebut.

Kendati seorang Muslim, sudah 12 tahun lamanya Sartono bekerja sebagai penjaga keamanan merangkap penerima tamu di Vihara Mendut. Namun demikian, secara pribadi ia sendiri menolak istilah “bekerja” dan lebih menyukai sebutan “mengabdi” untuk aktifitasnya di tempat ibadah umat Buddha itu. “Saya ini tidak menerima gaji. Uang honor  paling banyak Rp 300.000,- perbulan memang ada, tapi itu sesungguhnya untuk biaya ongkos pulang pergi dari rumah ke sini dan bayar langganan koran,”ujar lelaki kelahiran Kebumen pada Juli 1941 tersebut.

Sartono pun menyatakan enggan untuk pergi dari Vihara Mendut. Berapapun ia diming-imingi untuk pindah,  tak akan ia lakukan. Alih-alih orang lain, empat anaknya sendiri tak sanggup menyuruhnya berhenti dari aktifitasnya sekarang. “Mereka bilang kasihan kepada saya karena sudah tua, sudah waktunya istirahat. Ya tapi gimana, namanya pengabdian orang pasti senang menjalaninya,”kata orang tua yang tiap hari harus menempuh 8 km demi pengabdiannya itu.

Kebaikan para bikhu menjadi salah satu sebab Sartono rela menghabiskan sisa-sisa masa tuanya di Vihara Mendut.Meskipun berbeda keyakinan, mereka tak segan memperlakukan Sartono laiknya orang tua sendiri dan selalu berbicara lembut kepadanya.

Ada suatu kebiasaan para bikhu (terutama pimpinan mereka Bikhu Sri Pannyavaro) yang tak akan pernah dilupakan oleh Sartono. Setiap datangnya waktu shalat mereka selalu mengingatkan Sartono untuk segera ke mushola jika terlihat masih nongkrong di pos penjagaan. “Malah saat belum dibangun mushola, Bhante (sebutan hormat untuk para bikhu) Pannyavaro sendiri yang menghamparkan sajadah menghadap kiblat untuk saya melakukan ibadah shalat,”kenang putra dari seorang pejuang Lasykar Hizbullah itu.

Kebaikan Bikhu Pannyavaro dan para muridnya juga terlihat jika bulan Ramadhan tiba. Selain selalu mengingatkan waktunya berbuka, dengan tangan sendiri mereka pun menyiapkan makanan dan minuman berbuka bagi para pembantu di Vihara Mendut yang beragama Islam. ” Di luar para bikhu, Vihara Mendut memiliki 10 pembantu: sembilan Muslim, dan satu Katholik,”kata kakek dari 10 cucu itu.

Awal persinggungan Sartono dengan para bikhu di Vihara Mendut sendiri berawal dari adanya ajakan seorang kawan lamanya yang sesama pensiunan tentara. Sang kawan yang mafhum akan kegandrungan Sartono pada meditasi (sehari-hari ia pun suka membaca buku-buku tassawuf), mengajaknya untuk belajar ilmu meditasi dari para bikhu.

Pucuk dicinta ulam tiba, Vihara Mendut ternyata juga saat itu lagi memerlukan seorang penjaga keamanan. Tanpa banyak pikir, Sartono lantas mengajukan diri dan langsung diterima. “Saat itu saya sama sekali tak menanyakan berapa gajinya, wong saya ingin mengabdi kok,”katanya lugu.

Waktu dzuhur baru saja tiba di Magelang dan sekitarnya. Suara adzan bersipongan dibawa angin yang meniup dedaunan sejumlah pohon  beringin besar yang ada di sekitar kompleks Candi Mendut. Di sebuah mushola kecil dalam lingkungan vihara, seorang sepuh berbatik coklat baru saja menamatkan shalatnya. Usai salam, mulutnya berbisik menyebut asma-asma Allah dan lantas mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Tentunya untuk segala kebaikan yang tengah ia lakukan secara ikhlas.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *