Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 10 June 2018

Analisis – Peluang Kudeta Raja Salman di Arab Saudi


islamindonesia.id – Peluang Kudeta Raja Salman di Arab Saudi

 

Beberapa pekan yang lalu (23/05), seorang pangeran Arab Saudi, Khaled bin Farhan, yang hidup di Jerman karena suaka politik menyerukan kudeta terhadap Salman, Raja Arab Saudi saat ini. Dia meminta kepada pamannya, Ahmed bin Abdulaziz (saudara kandung Salman) dan Muqrin bin Abdulaziz (saudara tiri Salman) untuk menggunakan pengaruh mereka di kalangan anggota Kerajaan dan militer Saudi untuk melakukan kudeta.

Pertanyaannya, sejauh mana kemungkinan itu bisa terjadi? Stig Stenslie dalam jurnal The Washington Quarterly edisi Spring 2018, mengatakan bahwa konstruksi kerajaan Saudi bergantung terhadap empat pilar, yaitu: pertama, persatuan anggota keluarga Saud, kunci bertahannya keluarga Saudi adalah karena kemampuan mereka untuk menyatukan berbagai klan di dalam keluarga kerajaan.

Kedua, legitimasi Wahhabi, cabang aliran Islam ini telah memberikan legitimasi kekuasaan selama berabad-abad terhadap keluarga Saud; ketiga, minyak, hasil dari penjualannya yang besar digunakan oleh keluarga Saud untuk “menghidupi” para pendukungnya; dan keempat, hubungan dengan Amerika Serikat (AS). Dalam situasi di Timur Tengah yang serba tidak menentu, AS telah memberikan jaminan keamanan kepada Saudi (Stig Stenslie: 2018).

Salman, sejak dari awal pengangkatan dirinya menjadi raja pada 2015 sudah diragukan oleh beberapa pangeran lainnya karena dia menderita demensia. Selain itu, di bawah pemerintahannya dia memberikan porsi yang sangat besar kepada Muhammad bin Salman (MbS), putra favoritnya. MbS diangkat menjadi Menteri Pertahanan, Ketua Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan, dan Wakil Perdana Menteri.

MBS juga diyakini menjadi tokoh utama di balik agresi Arab Saudi ke Yaman dan perseteruan Arab Saudi dengan Qatar. Selain itu, dia juga yang mencetuskan konsep ekonomi Arab Saudi dalam jangka panjang yang disebut dengan Visi 2030, sebuah cetak biru konsep ekonomi Saudi yang ambisius. Sepanjang sejarah Saudi, tidak pernah ada seorang pangeran pun yang memegang kekuasaan sebesar ini. Singkat kata, karena MbS mempunyai peran yang sangat banyak dalam pemerintahan, maka secara de facto, dia lah raja yang sesungguhnya.

Kemudian pada 21 Juni 2017, Salman menunjuk MbS menjadi putra mahkota, menggantikan Muhammad bin Nayef (sepupu MbS). Hal ini belum pernah terjadi sepanjang sejarah suksesi raja-raja turunan Abdulaziz bin Saud (pendiri Arab Saudi). Biasanya penerus tahta dilanjutkan kepada adik laki-laki, baru di era Salman saja, tahta akan diberikan kepada generasi cucu dari Abdulaziz.

 

Perombakan Pilar Negara

Di atas tadi kita telah singgung tentang empat pilar Saudi. MbS sebagai putra mahkota telah—terkecuali pilar keempat—merombaknya secara besar-besaran. Pilar ketiga telah dia gantikan dengan Visi 2030; dan pilar keempat tetap dia pertahankan, hal ini bisa dilihat dari keakraban dia dengan Donald Trump dan pemimpin-pemimpin negara Barat lainnya. Kita tidak akan bahas pilar ketiga dan keempat lebih jauh.

Sekarang kita akan membahas mengenai pilar pertama dan kedua, jauh hari sebelum Arab Saudi berdiri pada tahun 1932, keluarga Saudi telah mempunyai sejarah panjang. Pada tahun 1744, Muhammad bin Saud, anak penguasa padang pasir di Diriyah (sekarang menjadi Riyadh), menikahi putri dari seorang pendiri aliran Wahhabi, Muhammad bin Abdul Wahhab. Di kemudian hari Wahhabi menjadi paham yang paling dominan di Arab Saudi (Eamon Gearon: 2016).

Hasil pernikahan ini kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Arab Saudi modern. Singkat cerita, para anak keturunan mereka terus berkembang sampai tercipta berbagai klan-klan. Dengan berbagai variannya, faktanya klan-klan inilah yang menjadi kunci bertahannya Dinasti Saudi berabad-abad. Pada pertengahan tahun 1970-an, anggota keluarga klan-klan ini diperkirakan mencapai sekitar 20.000 orang.

Beberapa klan besar yang memiliki pengaruh kuat di antaranya adalah Al Saud Al Kabir, Bani Jiluwi, Al Turki, Thunayyan, dan Al Farhan. Di luar itu ada aI-Sheikh, yaitu sebuah klan keturunan dari garis Muhammad bin Abdul Wahhab. Secara tradisional aI-Sheikh selalu menghasilkan Ulama yang seringkali menempati posisi penting di bidang hukum dan pendidikan, baik sebagai menteri maupun anggota dewan agama tertinggi kerajaan. Ibu dari Raja Faisal (Raja Arab Saudi ke-3, berkuasa 1964-1975) juga merupakan seorang aI-Sheikh.

Klan besar lainnya adalah Al Sudairi. Pendirinya,  Ahmad bin Muhammad Al Sudairi adalah pendukung Abdulaziz bin Saud di awal-awal pembentukan Kerajaan Arab Saudi. Ahmad Al Sudairi menikahkan putrinya Hassa dengan Abdulaziz. Darinya, lahir tujuh anak lelaki, yang mana dua di antaranya menjadi Raja Arab Saudi, mereka adalah Fahd (berkuasa 1982-2005), dan Salman (berkuasa 2015-sekarang).

Tujuh anak lelaki ini selengkapnya adalah: Fahd, Sultan, Abdurrahman, Nayef, Turki, Salman, dan Ahmed. Mereka terkenal dengan sebutan “Sudairi Tujuh”. Di dalam keluarga Saudi, Sudairi Tujuh menjadi faksi tersendiri yang sangat kuat, terbukti Sultan dan Nayef sempat menjadi putra mahkota (tidak sampai menjadi raja karena lebih dahulu meninggal) , dan Fahd dan Salman menjadi raja. Sementara anggota keluarga keturunan Al Sudairi lainnya sampai hari ini menempati berbagai posisi penting di pemerintahan (Simon Henderson: 1995).

 

Peluang Kudeta

Semenjak MbS menjadi putra mahkota, jelas-jelas dia telah menggoncang struktur lama Saudi. Secara agresif dia menangkapi pangeran-pangeran lainnya, termasuk di antaranya Walid bin Talal, orang terkaya di Timur Tengah, dan Mitab bin Abdallah, komandan 100.000 pasukan al-Ḥaras al-Waṭanī, divisi militer khusus pelindung kerajaan.

Selain itu, dia juga menangkapi ulama Wahhabi yang dia beri label sebagai ekstremis. MbS telah menangkap lebih dari 20 imam, Imam terkemuka Salman al-Odah dan Awad al-Qarni termasuk di antara mereka yang dilaporkan ditahan sejak awal September 2017.

Kembali kepada seruan pangeran Khaled bin Farhan di Jerman yang menginginkan kudeta. Dia paham dengan struktur keluarga Saudi. Satu sisi dia melihat peluang kudeta itu ada, karena dia melihat perilaku MbS yang telah melukai pangeran-pangeran lainnya dan kelompok ulama. Namun dua orang yang diminta Khaled, yakni Ahmed bin Abdulaziz dan Muqrin bin Abdulaziz juga bukan orang yang cukup kuat untuk mengganggu MbS.

Ahmed termasuk Sudairi Tujuh, artinya dia adik kandung Salman, namun sejak awal dia bukan orang dominan. Ahmed bahkan tidak pernah menjadi putra mahkota. Lalu bagaimana dengan Muqrin? Meskipun dia pernah menjadi putra mahkota, namun asal-usulnya dipertanyakan.

Ibu Muqrin merupakan orang Yaman, dan ini berarti dia bukan berasal dari keturunan Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal lainnya, status Ibu Muqrin sebagai istri sah pun dipertanyakan, beberapa pendapat mengatakan bahwa dia sama sekali tidak dinikahi, indikasinya mengarah bahwa dia hanya sebatas selir atau budak (Simon Henderson: 2013).

Sementara itu, di kubu aI-Sheikh, dengan banyaknya anggota keluarga mereka yang tergabung dalam struktur pemerintahan, maka itu membuat independensi mereka menjadi berkurang. Hal ini dapat dilihat ketika Salman memberikan izin mengemudi dan mendatangi stadion kepada perempuan, pihak ulama hanya berdiam diri saja. Padahal sebelumnya itu dianggap melanggar ajaran Wahhabi.

Kesimpulannya, jalan menuju kudeta Salman dan MbS masih cukup panjang dan sulit. Terkecuali ada suatu peristiwa besar yang terjadi. Dan dulu ini memang pernah terjadi, Raja Faisal dibunuh oleh keponakannya sendiri pada tahun 1975. Na’udzubillahi mindzalik.

 

PH/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *