Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 11 May 2016

ANALISIS—Mengapa Hizbullah Menang Pilkada Lebanon?


analisis mengapa hizbullah menang pilkada lebanon

Islamindonesia.id— Mengapa Hizbullah Menang Pilkada Lebanon?

Politik Timur Tengah tak pernah sederhana. Selalu saja rumit, berjalin berkelindan dengan faktor-faktor ekonomi dan geopolitik global. Tapi satu hal yang pasti: Lebanon sejak lama telah jadi barometer. Negara multi etnik dan multi sekte yang terletak di wilayah Laut Tengah ini sejak lama jadi pusat perebutan kekuasaan global, bahkan sejak di masa Romawi dulu.

Perang saudara yang berlangsung 15 tahun di negeri Kahlil Gibran itu pun telah membelalakkan mata dunia. Negara kecil dengan populasi setara D.I Yogyakarta ini telah kehilangan hampir separuh penduduknya akibat perang itu—sebagian tewas dan sebagian terbesar lain mengungsi. Perang saudara yang melibatkan berbagai kekuatan dunia itu telah melahirkan banyak studi tentang sektarianisme, rasisme, regionalisme, segregasi dan dampak-dampak psikososial konflik terhadap suatu masyarakat. Dan menariknya, seperti kata sejumlah peneliti, perang saudara sedahsyat itu ternyata dipantik oleh peristiwa yang demikian kecilnya sehingga mereka bingung mana yang sebenarnya jadi pemicu utamanya.

Pendek kata, selain jadi pusat pencucian uang negara-negara petrodolar melalui sindikat pelacuran dan perjudian, negeri Cedar (sejenis pohon cemara) ini juga dikenal sebagai pintu masuk memprediksi masa depan politik Timur Tengah. Ahli-ahli strategi geopolitik paham betul bahwa apa yang terjadi di Lebanon bakal bergaung kemana-mana.

Lantaran sebab-sebab di atas, pemilihan umum di Lebanon tak pernah sekedar urusan domestik. Banyak kepentingan yang bermain di sana, terutama di antara negara-negara di kawasan. Dan karena sebab-sebab itu pula, sekedar urusan undang-undang pemilu dan pemilihan presiden dapat tertunda selama bertahun-tahun, menunggu kesepakatan berbagai faksi politik domestik dan para pendukung regional dan globalnya.

Sejak 2014 silam, kursi presiden di negeri ini kosong. Puluhan kali sidang parlemen yang ditetapkan untuk memilih presiden selalu berakhir ompong. Semua aspek kehidupan di sini sudah terlalu politis, sehingga adagium politik tidak ada teman abadi menemukan contoh terbaiknya. Dua kubu yang dahulu sangat dekat tiba-tiba dapat berpisah jalan dan saling bermusuhan. Dan sebaliknya: yang dulu musuh bebuyutan bisa saling mendukung dan merasa sehidup semati.

Contohnya tentu adalah antara kekuatan politik terbesar Kristen Maronit di bawah komando Jenderal Michel Aoun dan Hizbullah. Tahun 1980-an, jenderal gaek pemimpin Free Patriotic Movement itu dulu mati-matian berperang melawan pasukan Suriah di bawah pimpinan Hafez Assad. Tapi kini, akibat ancaman kelompok ISIS dan sejenisnya serta dukungannya terhadap intervensi militer Hizbullah ke wilayah perbatasan Suriah, dia justru paling dekat dengan Hizbullah dan pemerintah Assad.

Walhasil, Lebanon memang sumber keunikan dan kerumitan. Tidak sedikit jurnalis yunior atau pengamat politik dadakan bakal tersesat di belantara kerumitan perpolitikan negeri ini. Mengamati perpindahan kekuatan politik dan pergeseran aliansinya di sini ibarat mencari jarum di tengah tumpukan jerami. Dan barangkali karena itu banyak pengusaha dunia dan penulis besar lahir dari rahimnya, seperti juga banyak skripsi, tesis dan disertasi yang bisa ditulis tentangnya.

Nah, sepekan lalu, setelah pertarungan politik yang alot, sebuah kesepakatan setengah hati tercetus di antara berbagai kubu yang berseteru untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Mereka bersepakat menguji kekuatan politik di lapangan.

Hasilnya, hari Minggu awal Mei kemarin, dua rival utama dalam politik Lebanon, yakni kubu pro Barat dukungan Saudi pimpinan Saad Hariri dan kubu Hizbullah dukungan Suriah dan Iran sama-sama mengklaim kemenangan. Namun, secara statistik, kemenangan kubu Hizbullah lebih besar dari sisi suara dan lebih luas dari sisi cakupan daerah pemilihan. Sementara kubu Hariri secara simbolik memenangkan daerah pemilihan ibukota Beirut—yang anehnya menggandeng faksi Amal yang juga merupakan sahabat politik Hizbullah di berbagai dapil lain. Di Beirut, sayangnya, pemilih hanya mencapai 20 persen, sementara di daerah-daerah yang dimenangkan kubu Hizbullah, jumlah pemilih di kisaran antara 30-40 persen, yang artinya menunjukkan perseteruan lebih sengit.

Wakil Sekjen Hizbullah, Syekh Naim Qassem Senin pagi waktu setempat, menyatakan bahwa kubunya telah memenangi semua kursi kepala daerah di 80 dapil dari 143 yang diperebutkan di wilayah Lembah Bekaa.

“Ini adalah kemenangan telak,” kata Qassem setelah melihat hasil penghitungan suara di Baalbek dan Brital, yang berbatasan dengan Suriah.

Kemenangan ini, menurut sejumlah analis, menunjukkan kemampuan Hizbullah merawat basis massanya dan mempertahankan dukungan mereka atas pilihan-pilihan politiknya selama ini. Terutama pilihan terberatnya untuk memasuki kancah Suriah yang diklaimnya sebagai upaya preventif mencegah masuknya para jihadis ke dalam Lebanon dan menciptakan kembali perang saudara yang berkepanjangan.

Berdasarkan analisis di atas, kiranya sudah tepat pilihan Pemerintah Indonesia menolak labelisasi teroris atas Hizbullah pada sidang OKI di Istanbul bulan lalu. Pilihan cerdas Pejambon yang berpijak pada prinsip politik luar negeri yang bebas aktif itu telah menyelamatkan Indonesia dari pusaran rivalitas dengan berbagai kekuatan yang sedang bertarung dan menjadikannya berpeluang sebagai mediator yang kredibel untuk meramu resep rekonsiliasi. Ikut-ikutan melabelisasi Hizbullah yang suka tidak suka mempunyai dukungan massa konkret sebagai organisasi teroris hanya akan menjadikan Indonesia bagian kecil dari perseteruan, sementara menolak pilihan itu justru akan membuka peluang baginya sebagai pemain yang disegani di Timur Tengah.

Baca juga: Hizbullah Puji Diplomasi Indonesia

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *